Tragedi Sumatera 2025: Bukti Gagalnya Pengelolaan Lingkungan dalam Sistem Kapitalisme




Oleh: Endah Fitri Lestari, S. Pd. 



Di penghujung tahun 2025, bumi Pertiwi kembali berduka. Kita saksikan bersama, sejak akhir November 2025, banjir bandang dan longsor melanda wilayah Sumatera, menghancurkan perkampungan dan infrastruktur di tiga provinsi utama: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Menurut data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sedikitnya 631 jiwa telah meninggal, 2.600 jiwa luka-luka, sekitar 472 jiwa masih hilang, dan lebih dari 1000.000 jiwa terpaksa mengungsi (Pusdatin BNPB, Selasa 2/12/25). Tragisnya, kerusakan ini tak melulu menimpa manusia. Seekor Gajah Sumatera ditemukan tewas tertimbun kayu dan lumpur di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Hal ini tentunya menjadi sebuah pengingat pahit bahwa kekayaan alam dan kelestarian habitat pun ikut menjadi korban dari bencana ini.

Fenomena ini lantas memicu kegaduhan dan kemarahan publik. Banyak warga menilai bahwa bencana ini bukan sekadar peristiwa alam, tetapi akibat dari ulah tangan-tangan manusia rakus yang terus merusak lingkungan. Penilaian ini bukan tanpa alasan, sebab di tengah banjir besar itu warga melihat kayu-kayu gelondongan terbawa arus, yang diduga berasal dari penebangan hutan secara masif. Temuan itu semakin menguatkan kecurigaan masyarakat bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini bukan hanya kelalaian, tetapi hasil dari eksploitasi alam yang dibiarkan berjalan terlalu jauh.

Publik kemudian kembali menyoroti pernyataan Prabowo Subianto yang disampaikan dalam acara Musrenbangnas RPJMN 2025–2029 pada tahun 2024. Dalam pidatonya, ia menyampaikan keinginan untuk memperluas perkebunan kelapa sawit dan menegaskan bahwa masyarakat “tidak perlu takut deforestasi”. Ia berpendapat bahwa sawit tetaplah pohon yang menghasilkan oksigen dan menyerap karbon, sehingga menganggap tidak masuk akal jika ekspansi sawit disamakan dengan deforestasi. Pernyataan ini kini kembali dikritik, karena dinilai melemahkan urgensi menjaga kelestarian hutan dan lingkungan.

Di sisi lain, alih-alih menyinggung kemungkinan adanya eksploitasi dan kerusakan lingkungan, sejumlah pejabat pemerintah dan lembaga teknis justru menegaskan bahwa penyebab utama banjir besar ini semata-mata adalah curah hujan ekstrem dan pengaruh siklon tropis. BMKG, misalnya, menjelaskan bahwa hujan sangat tinggi akibat siklon dan pola monsun menjadi faktor pemicu banjir dan longsor di wilayah utara Sumatra. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun menyampaikan hal senada, menyebut intensitas hujan yang meningkat sebagai penyebab utama bencana, tanpa menyinggung peran pembukaan lahan dan degradasi hutan. Sementara itu, masyarakat mendesak agar bencana ini ditetapkan sebagai bencana nasional agar penanganan dan mobilisasi bantuan dapat dilakukan lebih komprehensif. Namun pemerintah memilih tetap menggunakan status darurat daerah, keputusan yang memicu kekecewaan karena dianggap tidak sepadan dengan besarnya skala tragedi dan mengesampingkan tanggung jawab terhadap korban maupun kerusakan alam yang terjadi.

Sistem Kapitalisme, Dalang dari Segala Kerusakan

Menurut data World Resources Institute (WRI) tahun 2024, Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan kehilangan hutan tropis primer terbesar di dunia. Total kehilangan hutan primer Indonesia mencapai sekitar 10,7 juta hektare, angka yang berada di bawah Brasil yang kehilangan 33,5 juta hektare (goodstats.id). Data ini menunjukkan bahwa meskipun laju deforestasi Indonesia sempat menurun dalam beberapa tahun terakhir, dampak kerusakan kumulatifnya tetap sangat besar. Hilangnya jutaan hektare hutan primer berarti hilangnya ekosistem penting yang menyimpan keanekaragaman hayati dan berperan dalam menjaga kestabilan iklim. Karena itu, posisi Indonesia dalam daftar WRI menegaskan bahwa upaya perlindungan hutan masih harus diperkuat secara serius.

Kerusakan hutan di Indonesia merupakan ironi besar, sebab hutan primer tropis bukanlah sumber daya yang dapat pulih dalam waktu singkat. Untuk kembali berfungsi seperti semula, ekosistem hutan primer membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun. Padahal, dengan luasnya kawasan hutan Indonesia, ekosistem ini memiliki potensi signifikan dalam membantu meredam krisis iklim global melalui penyerapan emisi karbon dalam jumlah besar.

Sementara itu, alih fungsi hutan yang terus berlangsung membawa dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Masyarakat kehilangan ruang hidupnya dan harus menanggung bencana seperti banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, suhu ekstrem, hilangnya keanekaragaman hayati, dan lainnya. Dalam situasi ini, rakyat kembali menjadi pihak yang paling dirugikan, sementara pada saat yang sama kelompok pemilik modal terus memperoleh keuntungan dari praktik perusakan hutan tersebut.

Para penguasa dalam sistem kapitalisme-demokrasi pada akhirnya hanya berperan sebagai fasilitator yang memudahkan kepentingan para oligarki. Negara yang seharusnya mengurus rakyat justru berubah seperti alat yang bekerja untuk korporasi. Tidak heran jika banyak kebijakan lebih menguntungkan pengusaha dibanding menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat.  Pembangunan yang terjadi pun sering kali tidak membawa manfaat bagi rakyat, malah menimbulkan bencana. Inilah ciri pembangunan kapitalistik yang berorientasi pada keuntungan segelintir elit. Akibatnya, kerusakan alam dan penderitaan manusia terus berulang.

Kenyataan hari ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme membawa banyak kerusakan. Hal itu tidak lepas dari asasnya, yaitu sekularisme, yang memisahkan kehidupan dari ajaran agama. Padahal agama, adalah pedoman bagi manusia untuk menjaga diri dan alam. Ketika aturan kapitalisme diterapkan, yang terjadi justru kerusakan lingkungan dan berbagai persoalan hidup akibat pengelolaan yang hanya mengejar keuntungan. Allah Ta’ala berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41).  Parahnya kondisi lingkungan dan bencana yang terus terjadi adalah bukti bahwa manusia perlu meninjau kembali sistem yang mereka terapkan.

Islam Mencegah Kerusakan

Islam tidak memberikan ruang bagi kebebasan tanpa batas, termasuk dalam urusan kepemilikan tanah dan sumber daya. Setiap tindakan manusia wajib tunduk pada aturan syariat (halal dan haram) dan hal ini juga berlaku dalam pengaturan kepemilikan. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga: milik pribadi, milik umum, dan milik negara. Hutan termasuk kategori milik umum, masyarakat boleh memanfaatkannya, tetapi tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok mana pun. Rasulullah saw. menegaskan dalam hadis sahih bahwa kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Karena itu, pengelolaan hutan menjadi tanggung jawab negara, dan hasilnya wajib dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Maka jelas, haram hukumnya bagi siapa pun untuk menguasai kekayaan alam yang tergolong milik umum.

Dengan prinsip ini, negara memikul tanggung jawab besar untuk melindungi dan mengatur seluruh aset publik. Setiap kebijakan terkait kekayaan umum harus ditimbang secara cermat berdasarkan hukum syariat dan dampaknya bagi masyarakat. Jika sebuah kebijakan bertentangan dengan syariat atau berpotensi merusak lingkungan dan kehidupan rakyat, negara wajib menolaknya. Sebab negara seharusnya menjadi penjaga dan pelindung umat, bukan pemberi jalan bagi kerusakan.
Siapa pun, baik individu maupun perusahaan yang merusak hutan atau melakukan penebangan liar akan dikenai sanksi tegas dalam bentuk hukuman takzir. Hukuman tersebut dapat berupa penjara, pengasingan, denda, atau bentuk lain yang ditetapkan negara. Ketegasan ini diperlukan agar pelanggar jera dan kelestarian hutan tetap terjaga.
Komitmen serius Khilafah dalam menjaga hutan tidak hanya melindungi kepentingan rakyat, tetapi juga berdampak luas bagi kelestarian bumi. Jika lingkungan terjaga, maka keberkahan bagi seluruh makhluk dapat terwujud. Wallahu a’lam bis-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak