Oleh: Rifdah Reza Ramadhan, S.Sos., M.I.Kom.
Beberapa waktu lalu Bupati Karawang Aep Syaepuloh menyampaikan harapannya pada sejumlah organisasi wanita untuk dapat memberikan manfaat dan ikut serta dalam pembangunan daerah, termasuk dalam pemberdayaan masyarakat.
"Kami sangat mendukung peran serta perempuan dalam pembangunan, khususnya untuk GOW (Gabungan Organisasi Wanita)," kata bupati di sela-sela pelantikan pengurus Bunda PAUD, Bunda GenRe, Bunda Literasi, GOW, dan Forum Peningkatan Konsumsi Ikan Karawang, di Karawang. (megapolitan.antaranews.com, 13/10/2025).
Hal ini secara permukaan terlihat sebagai langkah yang bagus untuk mengukuhkan pembangunan dan meningkatkan partisipasi perempuan di berbagai sektor termasuk di dalamnya pendidikan, literasi, kesehatan, dan lainnya. Namun, dalam kacamata komunikasi politik, tidaklah bisa dipandang sesederhana itu. Peristiwa semacam ini bisa disebut sebagai produksi wacana. Yaitu, negara dan strukturnya tidaklah sebatas mengukuhkan organisasi, melainkan pun mengukuhkan narasi terkait siapa perempuan, apa perannya, dan untuk apa proyek peradaban yang mana seluruh jawabannya sudah diarahkan.
Wacana pemberdayaan, terlebih disampaikan melalui forum formal dapat mengarah pada kepentingan kekuasaan. Atas itu, timbul pertanyaan yaitu: wacana pemberdayaan ini sedang bekerja untuk siapa dan menuju peradaban yang seperti apa? Apalah perempuan betulan diberdayakan atau hanya diposisikan sebagai ornamen legitimasi dari pembangunan dalam sistem yang arahnya sudah ditentukan sedari awal?
Pemberdayaan yang Terkungkung Paradigma Kapitalis
Wacana pemberdayaan perempuan dalam sistem kapitalisme sebetulnya lahir di atas landasan yang amat jelas yaitu manfaat ekonomi, produktivitas, dan stabilitas publik. Perempuan dinarasikan sebagai “pilar pembangunan”, tetapi poin kritisnya adalah hal ini tidak dikarenakan visi peradaban, melainkan karena sistem membutuhkan tenaga, citra kemajuan, dan legitimasi moral. Nancy Fraser (2016) mengungkapkan bagaimana kapitalisme co-optation memandang isu gender seolah mendukung perempuan, tetapi sebetulnya menariknya pada logika pasar.
Dalam kacamata komunikasi politik, hal ini adalah bagian dari policy framing, yaitu negara membungkus kepentingan sistem dengan narasi pemberdayaan. Perempuan menjadi tampak diberikan ruang, padahal ruang itu sudah dibatasi oleh kepentingan ekonomi-politik kapitalisme. Dengan itu, pemberdayaan yang lahir tidak bersifat peradaban, melainkan hanya fungsional semata yang akhirnya menguntungkan sistem dan tidak mengangkat martabat ideologis perempuan.
Perempuan Dijadikan Agen Stabilitas, Jauh dari Arah Peradaban
Wacana pemberdayaan sering menaruh posisi perempuan sebagai aktor sosial yang dibutuhkan negara guna melindungi masyarakat. Hanya saja dalam realitas politik justru perempuan jarang diberi ruang untuk mengubah sistem. Sylvia Walby (2011) mengungkapkan bahwa negara modern memajukan perempuan namun nyatanya memperluas kapasitas sistem untuk mempertahankan kekuasaannya.
Jurnal Wijaya (2025) terkait opini publik mengungkap pula bahwa narasi yang sering diulang negara dapat membentuk persepsi seolah pembangunan adalah solusi yang final. Padahal itu hanya untuk konstruksi makna yang justru menjaga penerimaan publik pada kebijakan tertentu. Lalu, perempuan menjadi bagian dari “mesin wacana” yang aktif bergerak, tetapi tidak betulan berdaya dan jutsu terkungkung oleh kendali paradigma sekuler-kapitalis.
Inilah titik kehilangan besar dalam wacana pemberdayaan modern, yaitu perempuan digerakkan, tetapi tidak diantarkan pada peradaban yang hakiki. Program demi program kian ramai dan aktif, tetapi nihil dari orientasi syar’i. Padahal tanpa Islam sebagai ideologi, pembangunan hanya sebuah kegiatan administratif, yaitu sibuk tetapi tidak membawa umat pada perubahan hakiki.
Wacana pemberdayaan perempuan berada dalam vacuum of meaning, yaitu sibuk memproduksi kegiatan, namun gagal dalam mendefinisikan arah. Dengan itu, lahir perempuan yang terlihat maju, padahal hanya bergerak dalam lingkaran setan kapitalisme dan memperkokoh status quo. Arah peradaban Islam yang seharusnya menjadi landasan pada transformasi sesungguhnya hilang dari percakapan.
Pembangunan Perempuan harus Berlandas pada Paradigma Islam
Islam menegaskan bahwa seluruh pembangunan hendaknya tunduk pada syariat dan orientasi akidah di dalamnya. Maka, pemberdayaan perempuan diarahkan pada dakwah, pendidikan bermakna, pembentukan generasi, serta kontribusi peradaban. Islam amat menolak pemberdayaan yang menjadikan perempuan sebagai komoditas politik dan agen kapitalisme.
Perempuan pada masa Islam awal mempunyai otoritas ilmiah dan peran signifikan. Islam tidak meminggirkan perempuan, yang meminggirkannya justru adalah sistem modern yang keji memotong peran perempuan dari akarnya, yaitu peradaban Islam.
Dengan demikian, solusi sistemik adalah dengan mengembalikan pemberdayaan ke arah peradaban Islam. Islam menawarkan model pembangunan yang menyatukan antara fungsi sosial, moral, dan peradaban. Pemberdayaan bukanlah dipatok dari indeks ekonomi, melainkankan dari dampaknya pada generasi, ilmu, dan pemurnian masyarakat. Mekanisme negara berlandaskan Islam kafah akan memastikan perempuan dapat berperan dalam tanpa terkungkung dalam eksploitasi pasar.
Dalam perspektif komunikasi politik tentu pun akan terdapat pergeseran narasi, yaitu dari “wacana citra” semata menuju proyek peradaban. Perempuan menjadi subjek yang mampu menentukan arah masyarakat, sama sekali tidak seperti hari ini yang dijadikan sebagai objek pameran sistem.
Selama sistem yang menjadi landasan pemberdayaan masih berasaskan kapitalisme, maka selama itu pula perempuan akan menjadi “ikon pemberdayaan” tanpa arah. Maka, Islam menyediakan struktur politik, sosial, hingga pendidikan yang mampu mengembalikan peran perempuan kepada fungsi peradabannya. Negara berlandaskan Islam kafah menjalankan kepengurusan dan bukan seperti hari ini yang malah mengeksploitasi.
Perlu kita pahami pula, bahwa peradaban tidaklah lahir tanpa sistem yang konsisten dengan ideologinya. Maka, arah pemberdayaan perempuan hanya bisa menjadi jelas jika sistem Islam diterapkan menyeluruh, sama sekali bukan sebagian atau sebatas program semata.
Pada akhirnya, wacana pemberdayaan perempuan tidak boleh berhenti hanya pada seremoni, program, atau narasi manis yang justru menjadikan perempuan sibuk di dalam sistem yang tidak pernah berpihak pada mereka. Saat ini yang dibutuhkan adalah pergantian paradigma yang mendasar, yaitu perubahan sistemik yang dapat menentukan arah.
Sebab, jika kapitalisme terus dijadikan kerangka besar dalam proses pembangunan peradaban, maka selama itu pula perempuan hanya menjadi pilar pendukung yang semu. Islam memberikan arah yang berbeda, yaitu menempatkan perempuan sebagai subjek peradaban dengan di dalamnya tertuang nilai, struktur, serta aturan yang akan memastikan dengan aman martabat, peran, dan kontribusi perempuan berjalan dalam kerangka terbaik, yaitu kerangka ilahi yang amat jelas.
Lantas beranikah kita kembali membangun peradaban dengan standar yang benar? Tidakkah kita melihat bagaimana Allah SWT dengan sistem peraturannya memayungi seluruh aspek kehidupan dengan menyeluruh termasuk soal pembangunan perempuan?
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
opini