Oleh : Ummu Aimar
Hafizh (19) masih ingat pertama kali diperkenalkan aplikasi judol dari teman sebangkunya di sekolah. Kejadian itu sekitar dua tahun lalu, ketika ia masih duduk di bangku kelas 2 SMK salah satu sekolah di Kabupaten Bogor.
Usai momen itu, Hafizh keranjingan judol hingga menjual barang-barang pribadi milik orang tuanya. Ia sempat menjual tabung gas 3 kg, monitor komputer, bahkan sepeda miliknya. Hal ini sempat membuat Hafizh sering cekcok dengan keluarganya.
“Baru setahun uring-uringan saya putusin udeh nggak bisa lagi, kudu setop. Saya mau lulus,” cerita Hafizh, yang mengaku kepada Tirto sudah tidak lagi bermain judol, ketika dihubungi via telepon, Selasa (28/10/2025)
(https://tirto.id/)
Ada ironi ketika mendengar fenomena pelajar atau anak-anak terjerat aktivitas judi online alias judol, terus merebak. Fenomena ini menunjukkan bahwa ancaman generasi masa depan bangsa berada dalam genggaman mereka sendiri. Kehadiran negara melindungi anak-anak dan pemuda dari judol menjadi urgensi yang tak bisa ditawar lagi.
Banyak anak terjerat pinjol dan judol menunjukkan bahwa ada yang sangat keliru dalam cara mendidik dan membimbing generasi muda. Lemahnya pengawasan di era gitalisasi.
Saat ini anak anak sangat mudah mengakses konten judol. Ini karena konten judol menyisip ke situs-situs pendidikan, game online, dan media sosial.
Akibatnya, permasalahan tidak berhenti pada judol. Setelah mengakses situs judol, anak akan butuh uang untuk melakukan deposit/top up. Ketika tidak ada uang, cara paling cepat adalah mengajukan pinjol. Proses pengajuan pinjol yang sangat mudah pun menjadikan anak leluasa mendapatkan uang dari pinjol. Setelah itu, uang dari pinjol akan didepositkan ke judol.
Lingkaran setan ini terus berlangsung hingga anak bisa melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, hingga bunuh diri. Artinya, begitu anak menggunakan judol, mereka sulit untuk keluar. Bahkan, anak yang sudah telanjur kecanduan judol, butuh terapi khusus untuk menyembuhkannya.
Anak yang terjerat judol dan pinjol tidak terjadi begitu saja. Namun, ada fungsi pengawasan yang tidak berjalan. Pihak yang seharusnya menjaga dan melindungi anak dari perilaku negatif, termasuk judol dan pinjol adalah individu orang tua, sekolah/masyarakat, serta negara. Dan hampir semua benteng pelindung anak ini jebol dan tidak berfungsi.
Para orang tua ini saat ini memberikan pendidikan sekuler yang menjauhkan agama dari materi ajar di sekolah. Kalaupun ada mata pelajaran Pendidikan Agama Isam dan Budi Pekerti, durasinya sangat minim dan muatannya sangat sekuler seiring dengan program moderasi beragama. Semua itu menjadikan orang tua tidak berperan mengawasi anak.
Negara pun hanya berperan sebagai regulator, yaitu pembuat regulasi. Setelah regulasi ada, seolah-olah tugas pemerintah sudah paripurna, tanpa ada upaya serius untuk memberantas judol hingga tuntas.
Lebih-lebih lagi sistem hukum kita juga lemah. Hukum sekuler tidak mampu memberi sanksi tegas yang menjerakan pada pelaku judol. Bandar judol bahkan jauh dari jangkauan hukum. Mereka seolah-olah kebal hukum karena kekuatan uang yang mereka miliki.
Harus ada perubahan cara pandang terhadap judol. Saat ini di bawah sistem kapitalisme, judol dianggap sebagai solusi cepat untuk memperoleh kekayaan dan keluar dari kemiskinan tanpa harus kerja keras. Meski judol sudah jelas diharamkan agama dan melanggar aturan negara, tetap saja judol merajalela.
Hal ini karena sistem sekuler kapitalisme menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama, sedangkan halal/haram (aturan agama) diabaikan. Selama sistem kapitalisme ini masih diterapkan, judol dan pinjol akan terus merajalela dan generasi menjadi korbannya. Saat ini sejatinya masa depan bangsa dan negara sedang dipertaruhkan.
Berdasarkan asas akidah islam, individu, sekolah/masyarakat, dan negara akan memandang pinjol dan judol sesuai pandangan syariat, yaitu bahwa keduanya haram. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Maidah [5]: 90).
Berdasarkan ayat ini, judi hukumnya haram, baik online (judol) maupun offline.
Allah Taala juga berfirman,
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
“Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS Al-Baqarah [2]: 275).
Berdasarkan ayat ini, pinjol jelashukumnya juga haram. Baik pinjol legal maupun ilegal hukumnya sama-sama haram karena sama-sama mengandung riba.
Kesadaran terhadap keharaman judol dan pinjol tidak bisa dibiarkan terwujud secara alami, tetapi negara harus serius mewujudkannya di tengah masyarakat. Langkah yang negara (Khilafah) tempuh adalah menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga menghasilkan generasi yang bertakwa.
Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Strategi pendidikan adalah membentuk pola pikir islami (akliah islamiah) dan jiwa yang Islami (nafsiah islamiah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut.
Selain pendidikan di sekolah, anak-anak juga mendapatkan pendidikan dari orang tuanya di rumah. Orang tua bertanggung jawab menanamkan akidah, ketakwaan, dan akhlak mulia pada anak-anaknya.
Negara akan melakukan langkah hukum yang menjerakan terhadap bandar judol, pemilik usaha pinjol (legal maupun ilegal), serta aparat negara yang terlihat judol dan pinjol. Masyarakat yang terlibat juga akan diberi sanksi tegas. Dengan demikian akan terwujud rasa jera. Sanksi bagi pelaku dan bandar judi adalah takzir.
Bagi pelaku judol yang masih anak-anak (belum balig), mereka tidak dihukum, tetapi tetap akan dinasihati agar jera. Negara akan memanggil orang tuanya dan memberi sanksi kepada orang tuanya karena melalaikan pendidikan anak.
Demikianlah Khilafah memberi solusi sistemis untuk melindungi generasi dari jeratan judol dan pinjol. Dengan demikian, negara akan memiliki generasi calon pemimpin yang cemerlang.
Tags
opini