By : Ummu Al Faruq
Peran seorang ayah dalam mendidik anak sama pentingnya dengan peran ibu karena keduanya memiliki kontribusi untuk saling melengkapi dalam perkembangan anak. Namun sayangnya, di Indonesia seperlima anak tumbuh dalam kondisi fatherless.
Isu fatherless sempat menjadi trending di media sosial. Ini dipicu oleh hasil penelitian yang menyebut Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia.
Fatherless adalah sebuah fenomena ketidakhadiran peran ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun secara psikologs. Fatherless tidak dapat dianggap sebagai masalah yang sepele.
Masalah fatherless disebabkan banyak hal, di antaranya karena ayah harus berjauhan dengan anak lantaran tuntutan pekerjaan sehingga peran pengasuhan anak menjadi terbatas.
Selain itu, budaya patriarki yang masih kental di Indonesia menganggap bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab ibu. Gerakan ayah mengantar anak di hari pertama sekolah merupakan salah satu upaya mengikis isu fatherless di Indonesia.
Isu fatherless yang terjadi di Indonesia, sebagian disebabkan karena faktor ekonomi. Meski, mungkin, kesadaran bahwa pengasuhan anak adalah kewajiban orang tua dan bukan hanya ibu, namun sulit dimungkiri bahwa desakan kebutuhan ekonomi kerap kali memaksa orang tua bekerja lebih keras hingga menyita waktu.
Data yang dirilis Kompas, dari 15,9 juta anak yang tumbuh fatherless, 4,4 juta di antaranya tinggal di keluarga tanpa ayah.
Tapi yang mengejutkan, angka lebih besar, yaitu 11,5 juta anak, sebenarnya tinggal bersama ayah yang memiliki jam kerja lebih dari 60 jam per pekan atau lebih dari 12 jam per hari. Artinya, seorang ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada bertemu anak di rumah. Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyebut jam kerja formal maksimal tujuh jam per hari atau 40 jam per minggu.
Dwi Surya, psikolog di Pontianak, Kalimantan Barat, menegaskan, ayah yang waktu kerjanya berlebihan membuat anak tidak merasakan kehadiran ayah.
Berdasarkan hasil survei kualitatif terhadap 16 psikolog klinis, perceraian menjadi penyebab pertama seorang anak mengalami fatherless. Sementara 11 psikolog menjawab ayah bekerja di luar kota, kekerasan dalam rumah tangga, serta tidak ada kedekatan ayah dan anak.
Ayah yang bekerja di luar kota membuat anak kehilangan peran ayah. Hal ini terlihat adanya korelasi kuat antara data anak berpotensi fatherless dan data ayah yang tinggal di luar kota, yang diwakili jumlah tenaga kerja laki-laki yang tidak terserap di pasar kerja lokal.
Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan, jumlah pencari kerja laki-laki di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 28.855 orang. Namun jumlah tenaga kerja laki-laki yang terserap 1.208 orang. Itu artinya, 27.647 pencari kerja laki-laki di NTB tidak terserap di provinsi tersebut. Angka ini merupakan yang tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jawa Barat (107.356 pencari kerja laki-laki tidak terserap) dan Jawa Tengah (57.557 jiwa).
Pekerja laki-laki yang tidak bekerja di pasar kerja lokal bisa menjadi pekerja sirkuler, pekerja di luar tempat tinggal dan kembali ke daerah setiap minggu atau bulan, serta pekerja migran Indonesia (PMI).
Kondisi diatas merupakan fakta yang memprihatinkan. Hanya saja, solusi praktisnya bukanlah memaksa sosok para ayah untuk menyediakan waktu atau mengikuti kelas parenting berharap masalah ini segera terselesaikan. Padahal ada masalah yang jauh lebih besar sehingga butuh kajian lebih mendalam.
Adapun fenomena fatherless tak bisa lepas dari penerapan sistem ekonomi saat ini. Sistem ekonomi kapitalis telah membuahkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan ini mau tidak mau membuat para ayah tersita waktunya untuk membersamai anak-anaknya sampai pada akhirnya fungsi ayah sebagai qowwam/pemimpin, pelindung keluarga sirna.
Allah swt sebagai pencipta dan pengatur manusia tidak mungkin tidak memberikan aturan kepada makhluk-NYA. Seperangkat aturan telah disiapkan kepada para ayah agar optimal dalam menjalankan perannya di dalam keluarga termasuk dalam hal mendidik anak-anak. Allah swt telah menetapkan kepemimpinan terletak pada tangan laki-laki sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt QS An-Nisa : 34
_“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya”._
Peran ayah sebagai qowwam sangatlah strategis memiliki tanggung jawab penuh baik secara spiritual, material dan emosional. Rasulullah saw bersabda;
_“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. “_ (HR Bukhari).
Meski seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, seorang suami atau ayahlah penanggung jawab atas pendidikan istri dan anaknya. Bukan hanya berkaitan dengan biaya pendidikan, tetapi juga terkait materi dan muatan pendidikan tersebut. Dengan demikian, tidak benar jika urusan pendidikan anak hanya dibebankan pada seorang ibu semata. Ayah pun berandil besar menentukan pendidikan anak-anaknya sehingga mereka menjadi generasi beriman kukuh, berkepribadian Islam handal, cerdas, dan siap berjuang untuk Islam.
Allah swt. juga memerintahkan dalam hal ini di firman-NYA QS At-Tahrim : 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
_“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”_
Perintah Allah sangat tegas mengarah kepada orang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga, yaitu ayah. Kepala keluarga wajib memastikan diri dan keluarganya selamat dari neraka. Ini menunjukkan bahwa orientasi penjagaan tersebut bukan hanya penjagaan yang bersifat duniawi, tetapi juga ukhrawi. Semisal, dalam menjalankan perannya, seorang ayah tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku, dan kasar terhadap keluarganya. Sebaliknya, ia harus berakhlak mulia, penuh kelembutan, keteladanan dan kasih sayang.
Agar peran vital ayah di dalam keluarga dapat terlaksana dengan baik, maka negara akan menerapkan kebijakan yang akan mendukung hal tersebut. Diawali dari wasilah ayah memperoleh nafkah, tentu saja hal ini harus mendapatkan perhatian khusus juga dari negara. Sebab salah satu faktor yang dapat menunjang segala kebutuhan rumah tangga adalah melalui nafkah. Dengan nafkah yang mencukupi segala kebutuhan rumah tangga, maka peran ayah dan ibu sebagai kepala sekolah dan pendidik pertama bagi anak di rumah menjadi kondusif.
Negara akan menerapkan kebijakan ekonomi islam dan membuka lapangan kerja bagi rakyatnya, hal ini sebagai bentuk pemeliharaan umat terkait nafkah kepala keluarga bagi keluarganya. Negara harus memastikan tidak ada rakyatnya yang kekurangan, bagi orang yang cacat dan sakit kehidupannya akan ditanggung oleh negara sampai mereka mampu untuk menafkahi hidup mereka sendiri.
Inilah bentuk tanggung jawab kepala negara dalam mengurus segala urusan warga negaranya (ri’ayah syu’unil ummah). Sebab dalam Islam, kepala negara bukan sekedar pemangku jabatan dan kekuasaan, pemimpin negara dalam Islam harus mempunyai keimanan dan ketakwaan terhadap Sang Maha Pencipta yakni Allah Swt, dalam Islam kekuasaan hanyalah wasilah agar syariat Islam dapat ditegakkan.
Demikianlah, betapa pentingnya posisi ayah bagi anak-anaknya. Jangan sampai hal ini dianggap kecil, sepele bahkan diabaikan. Islam telah mengajarkan kepada kita agar kelak lahir generasi saleh/salihah berkepribadian Islam yang handal. Generasi yang menjadikan kecintaan kepada Allah di atas segalanya dan menjadikan rida Allah sebagai tujuannya. Akhirnya, mereka akan bahagia di dunia maupun di akhirat, hasil bimbingan ayah dan ibunya.
Wallahualam bissawab []
Tags
opini