BLT Stimulus Ekonomi, Bukan Solusi Ekonomi

By : Ummu Aqsha.

Menko Airlangga yang mewakili Presiden Prabowo Subianto mengumumkan stimulus ekonomi tersebut merinci Presiden Prabowo menambah jumlah penerima bantuan langsung tunai (BLT) sebanyak dua kali lipat menjadi 35.046.783 keluarga penerima manfaat (KPM) pada Oktober, November dan Desember 2025.

Dan ini lebih tinggi dari BLT sebelumnya. Ini bisa menjangkau kurang lebih 140 juta orang. Kalau kita berasumsi satu KPM itu adalah ayah, ibu, dan dua orang anak. Dan ini desilnya 1 sampai 4 berdasarkan data sosial sensus ekonomi nasional," kata Menko Airlangga saat mengumumkan stimulus ekonomi di Kantor Pos Indonesia, Menteng, Jakarta, Jumat.

Airlangga menjelaskan tambahan BLT ini di luar BLT reguler yang telah disalurkan Kementerian Sosial setiap bulannya sebesar 20,88 juta KPM melalui Program Keluarga Harapan dan bantuan sembako.

Penyalurannya akan dilakukan segera melalui Himbara yang untuk 18,3 juta dan ini akan langsung diberikan mulai minggu depan, dan juga yang 17,2 juta melalui PT Pos, dan ini juga siap untuk diberikan mulai hari Senin nanti.

Kemudian, Pemerintah juga telah membuka program magang nasional dengan gelombang pertama sebanyak 20 ribu orang yang mulai bekerja pada 20 Oktober mendatang.

Pemerintah akan menambah jumlah peserta pada November sebesar 80 ribu peserta, sehingga totalnya menjadi 100 ribu orang yang diberikan uang saku per bulan, serta iuran untuk Jaminan Kehilangan Kerja dan Jaminan Kematian.

"Itu tidak memotong uang saku yang diberikan oleh pemerintah. Nah, program ini batch kedua yang 80.000 itu akan dibuka di bulan November," kata

Per 17 Oktober 2025, jumlah perusahaan yang mendaftar dan menyiapkan posisi kerja sebanyak 1.666 perusahaan, dengan 26.181 posisi, serta 156.159 jumlah pelamar.

Adapun paket stimulus yang diumumkan pada Jumat ini menjadi stimulus keempat yang diluncurkan Presiden Prabowo sejak menjabat pada Oktober 2024.

Dalam pengumuman stimulus ini, sejumlah menteri Kabinet Merah Putih yang hadir, yakni Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Sosial Saifullah Yusuf, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, dan Kepala Badan Komunikasi Pemerintah RI Angga Raka Prabowo( Antara 17/10/2025).

*Cara Kerja Kapitalisme*

Pemerintah memang memberikan stimulus ekonomi, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program magang nasional, sebagai bagian dari program quick win, yakni langkah cepat untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Namun, kebijakan tersebut belum menuntaskan problem mendasar ekonomi yang membuat kemiskinan dan pengangguran berulang terjadi.

Kemiskinan terjadi bukan sekadar fenomena tahunan yang bisa teratasi secara tuntas dengan solusi tambal sulam semacam BLT, Program Keluarga Harapan (PKH), atau program sejenis. Kemiskinan bukan pilihan hidup yang disengaja, tetapi masyarakat dimiskinkan secara sistemis. Pendapatan masyarakat tidak bertambah, tetapi harga kebutuhan pangan dan tarif layanan publik selalu mengalami kenaikan. Meski pendapatan naik, hal itu berbanding lurus dengan kenaikan bahan pokok dan kebutuhan hidup lainnya. Dalam sistem kapitalisme, tidak ada layanan publik yang benar-benar gratis.

Bagaimana masyarakat mau hidup sejahtera dan berkecukupan jika harga berbagai kebutuhan pokok dan tarif layanan publik selalu naik secara signifikan? Keberadaan bantuan sosial hanyalah seperti pereda nyeri sesaat untuk waktu yang sangat singkat, bukan berdampak jangka panjang. Masalahnya ada pada kebijakan negara yang tidak melakukan riayah dengan benar.

Kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat ini lahir dari paradigma ideologi kapitalisme yang memberikan kebebasan bagi individu untuk menguasai hajat publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, industri pangan, dan distribusinya. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi/kapitalis. Alhasil, terjadilah kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang dikenal dengan adagium “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat.

Adapun pengangguran juga masih berkelindan dengan masalah struktural yang melingkupinya, yaitu ketimpangan jumlah lulusan dengan lapangan kerja yang tidak bisa menampung semua lulusan. Kebutuhan industri terhadap tenaga kerja manusia kian menyusut seiring perkembangan teknologi. Industri padat karya cenderung melakukan efisiensi dengan memanfaatkan teknologi dan otomatisasi menggantikan pekerjaan manual.

Di sistem kapitalisme, lulusan pendidikan disiapkan untuk menjadi tenaga siap pakai untuk menyesuaikan permintaan pasar. Dengan berlakunya kurikulum berbasis industri, generasi muda justru kehilangan kemampuan berpikir kritis dan inovatif karena teori dan konsep dasar keilmuannya lemah.

Demi mengisi pasar tenaga kerja, tujuan pendidikan pun bergeser sebatas memenuhi tuntutan dunia kerja. Tidak jarang antara gelar lulusan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai. Ada yang lulusan pertanian, malah jadi sopir ojol. Ada yang lulusan kependidikan menjadi buruh kasar.

Ketika para lulusan siap menjadi buruh dan tenaga kerja, mereka masih dihadapkan dengan kebijakan yang membolehkan serbuan pekerja asing yang mengisi pasar kerja. Mereka dipaksa bersaing dalam dunia kerja akibat kebijakan penguasa yang terjebak dalam pasar bebas.

Lulusan sarjana tidak menjamin bisa bekerja, apalagi sekadar lulusan SMK. Solusi pendidikan vokasi yang selama ini dibanggakan sebagai program untuk mengatasi pengangguran, faktanya belum berhasil. Pengangguran justru meningkat karena makin sempitnya lapangan kerja. Jurusan-jurusan yang tidak “komersial” di dunia kerja akhirnya ditinggalkan.

Sebagai contoh, keahlian dalam pertanian menjadi tidak berarti jika lahan pertaniannya kian berkurang dan beralih fungsi menjadi bisnis properti. Akibat kebijakan kapitalistik, negara kehilangan kekuatannya sebagai pelaku industri. Sistem kapitalisme yang membuka keran liberalisasi investasi menjadikan segala hajat dan kepemilikan publik diperjualbelikan. Imbasnya adalah masyarakat berebut posisi kerja dalam industri, bahkan masuk sektor informal dengan pendapatan rendah dan tanpa jaminan perlindungan kerja.

Satu per satu kebijakan mengarah pada kemandirian rakyat agar tidak bergantung pada pemberian negara. Dorongan untuk berinovasi menjadikan rakyat “dipaksa” kreatif bekerja. Bahkan, negara mendorong individu rakyat membuka lapangan kerja. Setelah usaha kecil dan mikro rakyat berkembang, negara tidak kehilangan akal untuk memungut pajak dari mereka. Padahal, menyediakan lapangan kerja dan memastikan setiap individu dapat bekerja adalah tugas pokok negara, bukan individu atau swasta.

Berlepasnya negara dari tanggung jawab ini adalah konsekuensi atas penerapan sistem kapitalisme. Rakyat dituntut mandiri mencari nafkah dan mengatasi problem ekonominya. Negara hanya memberi stimulus yang sifatnya sementara dan belum menjamin kesejahteraan dalam jangka panjang.

*Solusi Islam Mengatasi Permasalahan Kemiskinan Dan Pengangguran*

Islam sebagai agama yang sempurna telah menetapkan pedoman yang komprehensif untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam pelaksanaannya, negara memegang peran penting sebagai pihak yang bertanggung jawab menjalankan tugas ri’ayah syu’un al-ummah, yakni mengurus berbagai kebutuhan rakyat.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang masyarakat harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, Islam justru menawarkan solusi dan kebijakan konkret untuk mencegah serta mengatasi kemiskinan dan pengangguran, di antaranya:

Pertama, negara menyediakan lapangan kerja melalui mekanisme pengelolaan sumber daya alam milik umum, Khilafah mengembangkan industri alat-alat berat, kewajiban bekerja hanya dibebankan pada laki-laki, pada sektor pertanian, selain intensifikasi, negara juga akan melakukan ekstensifikasi, yaitu menambah luas area pertanian yang akan ditanami dan diserahkan kepada rakyat. Apabila terdapat individu yang malas bekerja atau tidak memiliki keahlian, negara Khilafah berkewajiban memaksa mereka bekerja dengan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, seperti pelatihan keterampilan dan literasi yang cukup. 

Kedua, negara menyediakan layanan pendidikan secara gratis bagi seluruh masyarakat. Dengan kebijakan tersebut, rakyat memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan sesuai minat dan kemampuannya tanpa harus terbebani oleh biaya. Dalam kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah hlm. 11 Syekh ’Atha’ bin Khalil menyebutkan bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara gratis.

Ketiga, negara berperan dalam mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak. Misalnya, dengan mengontrol harga pangan agar terjangkau oleh masyarakat, 
 Negara juga menyediakan layanan kesehatan gratis bagi seluruh warga. Melalui kebijakan tersebut, tekanan ekonomi masyarakat dapat berkurang sehingga mereka dapat bekerja dengan lebih tenang tanpa khawatir terhadap pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Semua mekanisme tersebut hanya dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam kafah dalam negara Khilafah. Dalam perspektif Islam, negara menempati posisi yang sangat strategis dalam mengurus kepentingan rakyat. Kepemimpinan bukan sekadar urusan administratif, melainkan amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Negara tidak hanya berkewajiban membuat kebijakan, tetapi juga memastikan bahwa setiap warganya dapat hidup layak dan memperoleh nafkah yang cukup. Tugas negara bukan hanya melakukan pengaturan, tetapi juga menjamin kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

Apabila masih ada rakyat yang menganggur dan kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya karena lemah, ia menjadi tanggung jawab pemimpin/khalifah. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari). Khalifah akan memberikan santunan bagi orang tersebut beserta keluarga yang menjadi tanggungannya.

Wallahualam bissab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak