Dilema Guru dan Krisis Moral Generasi

Oleh: Ummu Rizki

Insiden siswa merokok di sekolah kembali terjadi. Foto seorang siswa SMA di Makassar berinisial AS yang tampak santai merokok sambil meletakkan kakinya di dekat gurunya, Ambo, viral di media sosial. Sementara itu, ada pula pendidik yang menempuh cara kekerasan, seperti kasus kepala sekolah di Banten yang menampar siswanya karena tertangkap merokok.

Dalam penjelasannya kepada Dinas Pendidikan Makassar, Ambo—guru yang fotonya viral itu—mengaku ragu untuk melakukan teguran keras kepada siswanya karena khawatir dianggap melanggar HAM. Peristiwa ini sangat kontras dengan insiden di Banten yang terjadi baru-baru ini.

Guru Ambo memilih bersikap hati-hati hingga tampak seolah membiarkan, sedangkan kepala sekolah di Banten justru mengambil langkah yang berlawanan. Ibu Dini selaku kepala sekolah menampar siswanya karena ketahuan merokok. Hal ini berujung pelaporan orang tua siswa terhadapnya.

Meski kasusnya sudah berakhir damai, peristiwa yang menimpa guru Ambo dan Ibu Dini menunjukkan dilema guru hari ini. Jika guru bersikap disiplin dan tegas akan disalahpahami sebagai kekerasan. Sebaliknya, jika guru bersikap hati-hati dan ragu menegur akan dianggap sebagai bentuk kelalaian karena melakukan pembiaran. Posisi guru serba salah.

Larangan merokok di sekolah sejatinya telah diatur oleh Permendikbud 4/2015 yang menetapkan sekolah sebagai kawasan tanpa rokok, serta UU 17/2023 tentang Kesehatan yang mengancam pelanggaran dengan pidana denda hingga Rp50 juta. Semua orang di lingkungan sekolah, termasuk kepala sekolah, guru, siswa, dan pengunjung dilarang merokok atau melakukan aktivitas terkait rokok, seperti menjual atau mempromosikannya.

Beberapa tahun terakhir, penggunaan rokok elektrik atau vape kian populer di kalangan remaja. Mereka berasalan vape lebih aman daripada rokok konvensional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa saat ini sedikitnya terdapat 15 juta remaja berusia 13—15 tahun di seluruh dunia yang menggunakan rokok elektronik atau vape. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10—18 tahun.

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13—15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019). Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15—19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10—14 tahun (18,4%) (Kemenkes, 29-5-2024).

*Dilema Guru*

Saat ini guru menjadi pekerjaan yang sangat berisiko. Guru menghadapi dilema antara kedisiplinan atau pembiaran, juga risiko berhadapan dengan hukum. Bukan hanya guru Ambo dan Bu Dini, banyak guru yang berujung pada pelaporan hanya karena orang tua siswa tidak terima anaknya ditegur atau didisiplinkan oleh pihak sekolah. Guru menjadi waswas dan lebih waspada. Jika bersikap tegas, khawatir kebablasan bertindak keras. Namun, jika bersikap cuek akan disebut guru yang tidak bertanggung jawab.

Belajar dari kasus yang sudah terjadi, problem yang mendasari dilema guru ialah adanya ruang abu-abu atas penegakan disiplin siswa dan tergerusnya wibawa guru. Penegakan disiplin pada siswa yang melanggar aturan sekolah telah mengalami pergeseran makna. Mendisiplinkan dianggap kekerasan dan memberi sanksi dianggap melanggar hak asasi siswa. Bahkan, guru yang mendisiplinkan dan memberi sanksi pada siswa yang melanggar dicap sebagai guru pelanggar hak asasi anak karena berlaku keras terhadap mereka.

Inilah yang disebut wibawa guru makin terdegradasi. Banyak faktor yang melingkupi, di antaranya:

Pertama, peran keluarga melemah. Banyak orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan pada sekolah, tetapi kurang memberikan pendidikan karakter dan akhlak yang baik di rumah. Akibatnya, penghormatan dan sikap memuliakan guru menjadi berkurang.

Kedua, perubahan pandangan terhadap guru. Dulu guru dianggap figur teladan. Kini, sebagian masyarakat melihat guru hanya sebagai “penyampai materi,” bukan pembentuk karakter. Bahkan, ada narasi yang berkembang bahwa guru berkewajiban melayani siswa dengan sepenuh hati. Makna kata “pelayanan” di sini kerap disalahartikan sebagai melayani apa yang dikehendaki siswa dan yang diinginkan orang tua. Imbasnya, hak guru sebagai pendidik terbonsai dan terbatas pada aspek menegur dan mengingatkan saja.

Yang lebih parah, guru tidak berani bertindak lebih tegas dan disiplin lantaran takut dianggap melanggar HAM dan menyakiti siswa. Padahal, tugas pendidik sejatinya bukan hanya mengajar, menegur, atau mengingatkan, tetapi juga siap meluruskan yang salah, memberi contoh yang benar, menegakkan aturan secara disiplin, dan menerapkan sanksi secara manusiawi.

Ketiga, kemudahan akses informasi membuat siswa merasa tidak sepenuhnya bergantung pada guru. Mereka bisa belajar dan mencari jawaban sendiri di internet sehingga wibawa guru sebagai penyampai dan pengajar ilmu tergerus seiring perkembangan teknologi digital.

Keempat, kurangnya perlindungan hukum dan pengabaian negara terhadap peran strategis guru terhadap pendidikan. Guru kurang mendapat perlindungan hukum yang mumpuni dalam menerapkan disiplin kepada anak, meskipun terdapat payung hukum yang seharusnya melindungi guru, seperti UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam pasal 39 ayat 1 berbunyi, “Guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas profesional terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.” UU 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 40 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghargaan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas.

Namun, pelaksanaan UU ini sekadar formalitas dan tidak terealisasi. Negara kurang memberikan penghargaan selayaknya kepada guru, utamanya guru honorer. Di antara mereka masih banyak yang bergaji sangat rendah. Risiko yang mereka terima tidak sebanding dengan apa yang mereka usahakan sebagai pendidik generasi.

*Krisis Moral Generasi*

Meski sudah ada aturan yang jelas perihal larangan merokok di kawasan sekolah, masih banyak oknum siswa yang melakukan pelanggaran tersebut. Mereka merasa memiliki hak dan kebebasan untuk melakukan apa pun. Bahkan, ada yang berani menantang duel sang guru hanya karena ia tidak terima ditegur oleh sang guru. Ini menunjukkan betapa krisis moral generasi kian memprihatinkan. Semua ini dipengaruhi banyak faktor, di antaranya:

Pertama, pendidikan agama (Islam) yang lemah. Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai akidah, akhlak, dan adab kepada anak-anaknya. Pengabaian terhadap kewajiban ini akan melahirkan generasi yang niradab dan kering dari pemahaman agama (Islam).

Kedua, kurangnya sinergi antara guru dan orang tua. Pembelaan orang tua terhadap anak yang berbuat salah akan membuat anak tidak belajar tanggung jawab atas konsekuensi perbuatannya. Alhasil, anak menjadi arogan dan tidak memiliki kemampuan mengatasi masalahnya sendiri.

Ketiga, sistem kehidupan sekuler liberal telah mengubah arah pandang generasi dalam memaknai kebebasan. Mereka menganggap kebebasan wajib dihormati dan dihargai, termasuk dalam perkara merokok. Mereka beralasan merokok adalah ungkapan kedewasaan, jati diri, dan kebanggaan agar terlihat sebagai laki-laki keren. Jika anak merokok, mereka biasanya melihat dan meniru orang-orang di sekitarnya sehingga dijadikan pembenaran oleh anak bahwa merokok dibolehkan di mana saja, termasuk di sekolah.

Keempat, lemahnya pengawasan negara terhadap peredaran rokok. Buktinya, rokok mudah dijangkau dan dibeli remaja. Padahal, seharusnya distribusi dan peredaran rokok diawasi secara ketat agar tidak mudah diakses generasi muda serta membahayakan mereka.

Akibat Berkiblat pada Sistem Sekuler Liberal
Insiden siswa merokok di sekolah, hilangnya wibawa guru, dan krisis moral generasi sesungguhnya merupakan akibat dari berkiblatnya sistem kehidupan pada ideologi sekuler liberal. Output pendidikan sekuler menghasilkan generasi niradab, baik kepada guru maupun orang tua. Pergantian kurikulum pun nyatanya tidak mampu membendung derasnya sekularisasi yang menjauhkan aturan Islam dari kehidupan.

Penanaman pendidikan karakter yang selalu digaungkan di institusi pendidikan juga tidak memberikan dampak positif. Masalah di dunia pendidikan makin pelik dan generasi justru tumbuh sebagai pribadi problematik. Bukan hanya merokok sebagai ajang gagah-gagahan, kadang kala kepedulian dan empati turut hilang. Mereka menjadi generasi pembully, suka menghina, dan berkata kasar.

Sekularisme menempatkan pendidikan semata-mata untuk pengembangan intelektual dan keterampilan manusia tanpa terikat dengan aturan agama. Dalam sistem ini, agama hanya dianggap urusan pribadi, bukan dasar kurikulum juga pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik.

Pendidikan sekuler liberal hanya berorientasi pada aspek materi dan prestasi, bukan akhlak dan kepribadian mulia. Hal ini akan menimbulkan perilaku individualis dan hedonistik, gaya hidup liberal, permisif (serba boleh), dan kehilangan tujuan hidup serta kebingungan atas jati dirinya sebagai manusia. Standar benar dan salah pun ditentukan oleh penilaian manusia, bukan aturan agama (Islam).

Oleh karena itu, untuk menyelamatkan generasi dari krisis dan degradasi moral tentu membutuhkan peran berbagai pihak, yaitu keluarga sebagai pilar pertama pendidikan, sekolah dan masyarakat sebagai pilar kedua dalam membentuk kebiasaan serta mencegah kemaksiatan dan perilaku buruk, dan negara sebagai pilar ketiga melindungi generasi dari berbagai bahaya, baik pemikiran, budaya, maupun segala hal yang merusak tatanan kehidupan sosial dan pergaulan generasi.

Proses mendidik dan membimbing generasi memang membutuhkan penanaman akidah, ketegasan, serta kedisplinan agar kehidupan mereka terarah sesuai pedoman Allah Taala. Namun, pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pemahaman yang baik tanpa bertindak keras dan berlebihan, seperti kekerasan fisik dan sejenisnya. Segala bentuk kekerasan tidak dibenarkan sehingga butuh pendidikan yang menjadikan remaja paham siapa dirinya dan arah hidupnya. Itulah sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam.

*Sistem Islam Menanamkan Akidah, Melahirkan Akhlak Mulia*

Guru memiliki peran sentral dalam membentuk sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas. Oleh karena itu, Islam menempatkan pendidikan sebagai sektor yang sangat penting. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membangun kepribadian guru dan peserta didik agar memiliki syakhshiyah (kepribadian) Islam, yakni pola pikir, pola sikap, dan perilaku yang selaras dengan ajaran Islam. Fondasi dari kurikulum pendidikan Islam berakar pada akidah Islam.

Dengan kepribadian tersebut, seorang guru tidak hanya dituntut untuk mengajar dengan baik, tetapi juga mendidik dengan cara menyatukan nilai ilmu dan iman dalam setiap proses pembelajaran. Dalam pandangan Islam, guru yang kompeten harus memiliki dua karakter utama: akhlak mulia dan profesionalitas dalam mendidik. Di sinilah letak peran penting guru dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu dan berlandaskan nilai-nilai Islam.

Dalam perspektif Islam, guru merupakan agen perubahan yang mendorong lahirnya generasi unggul, berilmu, dan beriman. Sejarah telah mencatat, pada masa kejayaan Islam, para guru berhasil melahirkan murid-murid yang tidak hanya cemerlang secara intelektual, tetapi juga memiliki keteguhan iman yang tinggi. Para ulama dan ilmuwan muslim terdahulu mengabdikan ilmu mereka sepenuhnya untuk kemaslahatan umat. Mereka bukan generasi yang berorientasi materi, melainkan generasi yang mampu menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat secara proporsional sesuai tuntunan syarak.

Dalam sistem pendidikan saat ini tidak ada perlindungan pasti yang terealisasi bagi guru. Mereka berada dalam tekanan yang luar biasa, baik secara administratif maupun psikologis dalam mengemban tanggung jawab moral peserta didik. Mendidik generasi adalah salah satu upaya menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan teladan dan hikmah, bukan dengan kekerasan.

Dalam menyelesaikan kasus atau terjadi konflik antara guru dan siswa, yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai adab dan akhlak yang telah Islam ajarkan, yakni guru melakukan klarifikasi kepada siswa atas problem yang dihadapinya. Dengan nilai-nilai Islam yang tertanam, siswa akan menghormati gurunya dan guru akan menghargai siswanya secara adil dan proporsional.

Pandangan ulama tentang hukum merokok memang beragam. Namun, perlu diingat bahwa merokok bisa membahayakan kesehatan, baik perokok aktif maupun pasif. Selain itu, daripada uang habis untuk membeli rokok, alangkah baiknya dimanfaatkan untuk keperluan lain yang lebih utama. Pemahaman inilah yang harus tersampaikan kepada anak didik agar menjauhi rokok bukan karena takut aturan dan sanksinya, tetapi kesadaran atas bahayanya jika dikonsumsi secara terus-menerus.

Dalam Islam tidak ada kebebasan mutlak. Setiap individu muslim terikat dengan aturan syariat Islam. Sistem pendidikan sekuler yang diterapkan saat ini memberikan ruang kebebasan tanpa batas yang telah terbukti gagal mencetak peserta didik yang bertakwa dan berakhlak mulia. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham Al-Islam hlm.198 menjelaskan bahwa akhlak merupakan hasil dari pelaksanaan perintah-perintah Allah Swt.  yang dapat dibentuk dengan cara mengajak masyarakat kepada akidah dan melaksanakan Islam secara sempurna. Oleh karena itu, untuk mewujudkan generasi bertakwa, bersyakhshiyah Islam, dan berakhlak mulia harus menjadikan akidah Islam sebagai kurikulum dasar pada semua jenjang pendidikan.

Dengan penerapan sistem Islam kafah, insiden guru dan siswa saling bersitegang tidak akan terjadi. Ini karena Islam memiliki mekanisme menyeluruh dalam membentuk guru dan peserta didik yang berkepribadian Islam dengan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang disokong oleh sistem politik ekonomi yang sahih. 

Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak