By : Ummu Al Faruq
Peran orang tua sangat menentukan dalam proses tumbuh kembang anak, terutama dari sisi psikologis. Orang tua juga merupakan figur utama yang dijadikan panutan oleh anak dalam membentuk kepribadian dan karakter. Oleh karena itu, kehadiran mereka sangat penting bagi masa depan si kecil.
Namun, ketika perpisahan terjadi antara ayah dan ibu, dampak terbesar sering kali dirasakan oleh anak. Kondisi ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan kondisi psikologis-nya.
Tak jarang, anak-anak yang orang tuanya bercerai menjadi lebih pendiam, tertutup, bahkan mengalami perubahan dalam cara bergaul dengan teman-temannya.
Pada hakikatnya, orang tua adalah guru pertama bagi anak dalam kehidupan. Mereka membentuk fondasi yang akan membimbing anak meraih masa depan yang baik.
Sayangnya, perceraian kerap membuat anak merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian. Hal tersebut bisa mengganggu kestabilan emosi dan pola pikir mereka.
Dan dampak dari perceraian terhadap anak diantaranya adalah, mengalami depresi, merasa kesepian atau kesendirian, cemas berlebihan, kemampuan pola pikir anak menurun, dan muncul rasa paranoid.
Sementara antaranews.com menyoroti dampak psikologis perceraian terhadap anak-anak, mulai dari kehilangan rasa aman hingga trauma sosial. Jika ditarik garis besar, semua data itu menegaskan bahwa keluarga Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Fenomena perceraian yang kian marak ini sejatinya bukan hanya soal konflik rumah tangga yang gagal diredam, tetapi cerminan dari lemahnya pemahaman masyarakat terhadap makna pernikahan itu sendiri. Banyak pasangan muda yang masuk ke gerbang rumah tangga hanya berbekal cinta, tanpa memahami tanggung jawab dan visi hidup bersama. Begitu diuji dengan masalah ekonomi, komunikasi, atau hadirnya orang ketiga, pondasi rumah tangga langsung goyah.
Padahal, Rasulullah Saw telah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menegaskan bahwa ukuran kebaikan seseorang bukan pada pencapaian duniawi, tetapi bagaimana ia memperlakukan keluarganya dengan akhlak dan tanggung jawab.
Namun dalam masyarakat sekuler hari ini, nilai pernikahan kerap dipersempit hanya sebatas urusan emosional, bukan ibadah dan amanah. Akibatnya, ketika emosi mereda, pernikahan pun dianggap selesai.
Tren perceraian juga merebak di kalangan pasangan usia senja. Fenomena grey divorce ini muncul karena banyak pasangan yang dulu bertahan demi anak-anak, akhirnya berpisah setelah memasuki usia pensiun. Kehampaan emosional, kurangnya komunikasi spiritual, dan pola hidup individualistik menjadi faktor yang tak kalah besar.
Di sini kita bisa melihat betapa sistem sekuler kapitalis telah menanamkan pola pikir serba mandiri, tapi mematikan semangat saling bergantung dalam kebaikan.
Di sisi lain, faktor ekonomi juga sering menjadi pemicu. Kenaikan harga kebutuhan pokok, beban kerja tinggi, dan ketimpangan peran nafkah dalam keluarga membuat hubungan suami-istri sering retak. Suami tertekan, istri lelah, dan komunikasi berubah jadi pertengkaran.
Belum lagi maraknya judi online (judol) yang menggerus tabungan rumah tangga dan memicu kekerasan. Semua ini adalah rantai panjang dari sistem kapitalis yang menjadikan manusia budak materi, bukan makhluk beriman yang menempatkan rezeki sebagai urusan Allah, bukan hasil spekulasi.
Perceraian yang terjadi bukan tanpa dampak. Anak-anak menjadi korban paling nyata. Mereka kehilangan figur ayah atau ibu, merasa bersalah, dan seringkali tumbuh tanpa pondasi kasih sayang yang stabil. antaranews.com bahkan melaporkan bahwa anak dari keluarga broken home memiliki risiko dua kali lipat mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan kenakalan remaja. Generasi rapuh lahir dari keluarga yang runtuh.
*Akar Masalah*
Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kampanye “perkuat komunikasi” atau “ikut konseling pernikahan.” Akar persoalannya lebih dalam, yaitu sistem kehidupan sekuler yang menjauhkan manusia dari tuntunan syariat Islam dalam membina keluarga.
Sistem pendidikan hari ini tidak mengajarkan bagaimana membentuk pribadi tangguh dan beriman, tetapi hanya fokus pada nilai akademik dan pencapaian duniawi.
Sistem sosial pun menormalisasi gaya hidup bebas, materialisme, dan feminisme yang menentang fitrah. Akibatnya, pernikahan tak lagi dilihat sebagai ibadah, melainkan kontrak sosial yang bisa dibatalkan kapan saja.
Padahal dalam Islam, keluarga adalah pilar utama peradaban. Dari keluarga lahir generasi yang kuat akidahnya, matang akalnya, dan lembut hatinya. Sistem Islam menyiapkan itu semua sejak awal. Dalam sistem pendidikan Islam, anak-anak dididik dengan akidah Islam yang kokoh. Mereka diajarkan bahwa pernikahan bukan sekadar cinta, tetapi bagian dari ketaatan kepada Allah.
Calon suami dan istri dibimbing untuk memahami hak dan kewajiban masing-masing, agar siap menjalani rumah tangga dengan niat ibadah, bukan sekadar keinginan.
Kemudian, sistem pergaulan Islam menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan agar tetap dalam batas syar’i. Tidak ada budaya flirting, chatting intens dengan lawan jenis, atau konten-konten yang menormalisasi perselingkuhan. Semua hubungan diatur dalam bingkai ketakwaan, bukan kebebasan semu. Dengan begitu, keutuhan rumah tangga tidak mudah diganggu pihak ketiga atau godaan hawa nafsu.
Selain itu, sistem politik ekonomi Islam juga memastikan kesejahteraan keluarga terjamin. Negara tidak membiarkan rakyat tercekik oleh pajak atau inflasi, tetapi mengelola sumber daya alam untuk kebutuhan publik. Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal memastikan tidak ada rakyat kelaparan. Bahkan pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, sulit mencari penerima zakat karena semua hidup sejahtera.
Jika ekonomi keluarga kuat, maka beban psikologis rumah tangga pun berkurang.
Semua ini menunjukkan bahwa solusi sejati untuk maraknya perceraian bukan sekadar memperbaiki individu, tetapi mengembalikan sistem kehidupan kepada Islam secara kaffah. Ketahanan keluarga tidak bisa tumbuh di atas pondasi sekuler yang rapuh. Ia hanya bisa kokoh jika dibangun di atas akidah yang benar, di bawah naungan sistem yang menegakkan hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan, yaitu Daulah Khilafah.
Maka, ketika kita melihat berita perceraian bertebaran di mana-mana, jangan hanya menyalahkan pasangan yang gagal, tapi lihat akar sistemik yang membentuk cara berpikir dan hidup mereka. Tanpa sistem Islam, pernikahan akan terus jadi korban gaya hidup modern yang memuja kebebasan tapi menelantarkan tanggung jawab.
Karena sejatinya, keluarga bukan sekadar rumah tempat tinggal, tapi benteng terakhir iman dan peradaban. Dan benteng itu hanya bisa berdiri kokoh ketika pondasinya adalah takwa, cinta karena Allah, dan sistem yang menegakkannya, yaitu sistem Islam kaffah.
Wallahu'alam bishowab []
Tags
opini