Oleh: Resa Ristia Nuraidah
Gelombang bencana kembali menghantam Indonesia. Longsor dan banjir bandang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan berbagai wilayah lainnya. Ratusan jiwa menjadi korban, sementara ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal. Namun di balik derasnya hujan, ada ancaman yang jauh lebih besar: kerusakan alam yang sebenarnya bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi lahir dari kesalahan tata kelola manusia.
Bencana beruntun ini menunjukkan satu hal: alam sudah tak mampu lagi menahan kerusakan yang terus dipaksakan kepadanya. Hutan yang gundul, tanah yang kehilangan daya serap, serta kawasan resapan yang hilang membuat curah hujan sedikit saja berubah menjadi banjir bandang mematikan. Ini bukan musibah kebetulan; ini adalah alarm keras bahwa daya dukung bumi sudah berada di batasnya.
Jika ditelusuri lebih dalam, bencana ini ternyata memiliki pelaku yang jelas—yakni sistem yang memberi ruang bagi eksploitasi tanpa pengawasan. Konsesi lahan besar-besaran, ekspansi sawit, tambang terbuka, hingga kebijakan seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja semua menjadi jalan legal bagi kerusakan yang kini kita tanggung. Dalam lingkaran sekuler demokrasi kapitalisme, penguasa dan pengusaha saling menguatkan demi profit, sementara rakyat menjadi korban paling akhir.
Kerusakan ekologis yang terjadi hari ini adalah bukti nyata bahwa ketika hutan dibuka tanpa kendali dan alam dieksploitasi tanpa batas, maka bencana hanyalah menunggu waktu. Semua terjadi karena negara meninggalkan hukum Allah dan menggantinya dengan aturan yang menghalalkan keuntungan meski harus mengorbankan keselamatan rakyat.
Islam sejak awal telah memperingatkan bahwa kerusakan di bumi terjadi karena ulah manusia. Maka menjaga lingkungan bukan sekadar tindakan ekologis, tetapi bagian dari ketaatan. Dalam sistem Islam, pengelolaan alam adalah amanah yang tidak boleh dijadikan komoditas. Hutan, tambang, dan seluruh kekayaan bumi dikelola negara berdasarkan syariat, bukan diserahkan kepada korporasi.
Karena itu, pencegahan bencana dilakukan melalui tata ruang komprehensif, penentuan kawasan lindung, mitigasi oleh ahli, serta pengaturan ketat terhadap industri dan tambang. Setiap kebijakan harus mengutamakan keselamatan rakyat dan kelestarian alam, bukan keuntungan segelintir pihak.
Pada akhirnya, Sumatra tidak sedang “tenggelam” secara alami—tetapi sedang ditenggelamkan oleh kerakusan yang lahir dari sistem kapitalisme. Selama alam diperlakukan sebagai barang dagangan, bencana akan terus datang silih berganti. Islam, melalui sistem Khilafah, menawarkan tata kelola yang adil dan berkelanjutan, yang mampu mengembalikan keseimbangan antara manusia dan alam.
Ketika manusia kembali pada hukum Allah, alam pun kembali menjadi pelindung, bukan ancaman. [Wallahu a'lam bi Ash-shawāb]
Tags
opini