Oleh Suhartini
Fakta Ketakutan Generasi Muda
Menurut artikel “Benarkah Orang Dewasa Muda Saat Ini Lebih Takut Miskin daripada Takut Tidak Nikah?”, meski begitu, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) berpendapat bahwa klaim tersebut terlalu menyederhanakan: banyak kaum muda masih menunjukkan gaya hidup konsumtif dan tidak punya kesadaran finansial yang kuat, sehingga sulit memastikan kalau semua remaja benar-benar “takut miskin”. Namun ada juga yang setuju bahwa sebagian muda kini lebih mengutamakan kestabilan finansial dibandingkan menikah hidup melajang atau menunda pernikahan dianggap wajar daripada memaksa menikah tanpa kesiapan ekonomi. Kompas.com (23/10/2025)
Karenanya anak muda sekarang merasa bahwa kestabilan ekonomi jauh lebih penting dari pada segera menikah bagi mereka, menikah tanpa kondisi finansial yang aman bukanlah langkah romantis, melainkan keputusan yang berisiko. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana biaya hidup mahal, beban ekonomi meningkat, dan ketidakpastian masa depan membuat mereka ragu untuk memulai rumah tangga. Oleh karena itu, mereka lebih memilih fokus membangun karier, menabung, dan memastikan hidup stabil dulu sebelum mempertimbangkan menikah.
Penyebab Ketakutan Generasi Muda
Lonjakan harga kebutuhan sehari-hari seperti pangan, transportasi, pendidikan, dan utilitas membuat generasi muda kewalahan mengatur keuangan mereka di tengah pendapatan yang stagnan. Biaya hunian pun melonjak harganya dan juga harga sewa hunian meningkat tajam, sehingga memiliki rumah atau bahkan menyewa tempat tinggal kini terasa jauh dari jangkauan banyak orang muda. Sementara itu, sulitnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan ditambah dengan banyaknya pekerjaan berstatus informal atau bergaji rendah, membuat stabilitas karier sulit diprediksi, inilah yang membuat mereka tidak mau mengambil risiko besar seperti menikah atau membeli hunian.
Faktor ketiga diatas adalah penyebab banyak anak muda merasa lebih bijak menahan diri, menunda rencana besar, dan memastikan dulu kestabilan finansial sebelum melangkah ke keputusan hidup yang berat. Dan akhirnya muncul fenomena “Marriage is Scary” yang menyebar luas dan semakin memperkuat rasa takut terhadap pernikahan di kalangan generasi muda. Kondisi ini di perparah dengan banyaknya konten yang menampilkan potret negatif seperti konflik rumah tangga, KDRT, perselingkuhan, atau ketidakadilan gender setelah menikah, dan juga kekhawatiran yang tidak mendasar tentang ketidakstabilan finansial dan kehilangan kebebasan pribadi membuat wacana “pernikahan itu menakutkan” mudah diterima. Bagi sebagian orang muda terutama mereka yang terpapar pemikiran yang menyimpang tersebut secara terus-menerus maka akan menganggap bahwa pernikahan bukan lagi dipandang sebagai simbol kedewasaan atau kebahagiaan, melainkan sebagai sumber kecemasan dan beban, sehingga banyak yang memilih menunda atau bahkan menghindarinya.
Analisis Masalah Ketakutan dan Solusi
Akar masalahnya adalah Sistem kapitalisme yang beorientasi pada materi, sehingga mengutamakan keuntungan secara maksimal, dan mengabaikan pekerja sebagai pihak yang paling rentan dengan upah rendah, jam kerja panjang, dan ketidakpastian pekerjaan menjadi norma, sementara biaya hidup terus meroket. Di banyak kasus, upah yang diterima tidak sebanding dengan kebutuhan hidup dasar seperti pangan, hunian, transportasi, dan layanan, sehingga banyak pekerja merasa “gaji habis sebelum akhir bulan”. Di tengah lingkungan di mana pekerjaan sulit dicari dan persaingan kerja semakin ketat, kekhawatiran akan kemiskinan menjadi nyata bagi banyak orang muda, pernikahan atau komitmen jangka panjang terasa terlalu berisiko jika kondisi ekonomi tidak stabil. Di sinilah ketakutan akan kemiskinan ditimbulkan oleh struktur ekonomi yang timpang, kuatnya rasa ragu terhadap hal-hal yang membutuhkan stabilitas finansial, termasuk menikah.
Dalam banyak diskusi social ekonomi, dikemukakan bahwa ketika negara yang idealnya berperan sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan publik memilih untuk menarik diri dari intervensi sosial dan ekonomi, tanggung jawab hidup justru bergeser ke individu. Dalam kerangka sistem ekonomi yang memberi ruang besar bagi mekanisme pasar dan persaingan bebas, negara sering hanya mengambil peran minimal seperti penegakan hukum dan keamanan saja, sementara urusan kebutuhan dasar seperti pekerjaan layak, kesehatan, perumahan, dan perlindungan sosial diserahkan ke pasar. Akibatnya, mereka yang tidak punya akses modal, jaringan, atau keberuntungan tergolong rentan beban hidup, risiko pengangguran, dan ketidakpastian ekonomi harus mereka tanggung sendiri. Hal ini memperkuat ketidaksetaraan dan membuat banyak orang merasa bahwa pencapaian kestabilan hidup tergantung pada kemampuan individu, bukan jaminan kolektif dari negara.
Selanjutnya dari sudut pandang perkembangan pendidikan sekuler, di mana aspek religius dan nilai tradisional sering dilunakkan atau bahkan dikesampingkan, dan ini membuka ruang bagi munculnya pandangan hidup yang lebih menekankan materi dan kebebasan individu, bukan pada nilai spiritual, moral, atau komunitas. Di sisi lain, media massa dan budaya populer termasuk media sosial, hiburan, iklan, dan gaya hidup konsumeristik menyuguhkan citra hidup ideal penuh kemewahan, kesenangan instan, dan kepuasan duniawi; representasi semacam ini berpotensi menanamkan sikap materialis dan hedonis, terutama di kalangan remaja dan generasi muda. Akibatnya, orientasi hidup banyak bergeser, keberhasilan dan kebahagiaan kini sering diukur dari pemilikan materi, gaya hidup glamor, dan kesenangan sesaat bukan dari pencapaian spiritual, komunitas, atau stabilitas moral.
Di kalangan banyak anak muda sekarang, pernikahan sering kali dilihat bukan sebagai ladang kebaikan atau jalan pasti untuk meneruskan keturunan, melainkan sebagai beban-beban finansial, emosional, dan tanggung jawab. Banyak dari mereka merasa bahwa pernikahan menuntut stabilitas ekonomi, komitmen panjang, serta pengorbanan waktu dan kebebasan pribadi, dan situasi dunia modern sekarang, dengan biaya hidup tinggi dan ketidakpastian pekerjaan, memasuki pernikahan tanpa kesiapan bisa terasa memberatkan. Karena pandangan terhadap pernikahan sudah berubah, bukan lagi kebutuhan sosial mutlak, melainkan opsi, yang seharusnya dipilih dengan matang berdasarkan banyak kesiapan dan memilih menunda, menolak, atau lebih memilih jalan hidup yang memberi ruang bagi kebebasan dan pengembangan diri.
Pernikahan dalam Sudut Pandang Islam Kaffah
Ketakutan akan sebuah pernikahan Adalah pemikiran yang menyimpang dan tidak sesuai dengan syariat Islam, apalagi ketakutannya yang berkaitan dengan social dan ekonomi. Dalam Islam kerangka Sistem Ekonomi negara memegang peran aktif dan tanggung jawab besar, bukan semata sebagai regulator pasif untuk memastikan bahwa setiap warga mendapat akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Negara wajib mengelola sumber daya publik dan distribusi kekayaan secara adil, misalnya melalui mekanisme zakat, infaq, dan sedekah, serta pelarangan riba dan praktik ekonomi eksploitatif, sehingga ketimpangan sosial dapat ditekan. Selain itu, dengan intervensi negara dalam sektor vital seperti pengelolaan sumber daya alam, infrastruktur, pertanian, dan industry. Sistem Ekonomi Islam wajib memberikan lapangan pekerjaan yang luas dan memberi kesempatan bagi rakyat secara merata agar mampu hidup layak. Dengan demikian, penerapan ekonomi syariah bukan sekadar soal moral atau ritual, melainkan kerangka struktural yang menjadikan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai fondasi sistem dan menjamin bahwa kehidupan layak dan kesempatan bekerja bukan hak istimewa segelintir orang melainkan milik semua.
Selain itu aset dan sumber daya penting seperti air, energi, tambang, transportasi, atau infrastruktur dasar dikelola di bawah skema milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum) oleh negara, bukan diserahkan ke swasta atau perusahaan asing, maka pengelolaan dan hasilnya bisa diarahkan langsung untuk kepentingan masyarakat luas bukan sekadar meraup keuntungan bagi segelintir orang. Dengan demikian, pendapatan dari sumber daya tersebut bisa digunakan untuk menyediakan layanan publik, menjaga harga kebutuhan dasar tetap wajar, dan menjamin akses universal terhadap kebutuhan pokok sehingga beban hidup tidak jatuh sepenuhnya pada individu. Hal ini memungkinkan terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif: masyarakat tidak dipaksa menanggung biaya tinggi akibat dominasi pasar oleh swasta, melainkan mendapatkan manfaat nyata dari kekayaan bersama.
Yang tak kalah pentingnya adalah pendidikan yang berlandaskan aqidah dan akhlak seperti yang dijalankan melalui pelajaran Aqidah Akhlak memiliki peran penting dalam membentuk generasi yang berkarakter siswa dibekali dengan nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, disiplin, dan kepedulian terhadap sesama. Dengan dasar iman dan akhlak tersebut, mereka cenderung tidak terjebak pada gaya hidup hedonis dan budaya materialisme yang sering digencarkan oleh konsumerisme modern. Pendidikan semacam ini tidak hanya mendidik secara intelektual, tapi juga membentuk kepribadian membuat generasi muda bukan sekadar mengejar kesenangan dunia, melainkan hidup dengan integritas, kesederhanaan, dan kepekaan sosial. Karena itu, generasi yang dibesarkan dengan aqidah dan akhlak bisa menjadi “penyelamat umat”, dan mampu menjadi teladan moral, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan menghadapi tantangan zaman modern dengan keteguhan prinsip, serta menjunjung nilai spiritual dan sosial di atas sifat konsumtif atau egois.
Sehingga Pernikahan sebagai institusi keluarga seharusnya diperkuat bukan hanya sebagai seremonial sosial, tetapi sebagai bentuk ibadah yang mulia dan komitmen suci dalam membangun rumah tangga dan menjaga keturunan. Dalam tradisi Islam, menikah dianggap sebagai jalan menyempurnakan iman dan kehidupan bukan sekadar menyatukan dua individu, melainkan mewujudkan amanah untuk meneruskan garis keturunan, mendidik anak dalam nilai moral dan agama, serta mendirikan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dengan memperkuat institusi keluarga melalui pernikahan sebagai ibadah, maka keluarga bisa menjadi fondasi masyarakat yang sehat untuk tempat pendidikan karakter, akhlak, dan tanggung jawab tumbuh, sehingga generasi penerus terbentuk dalam suasana kasih sayang, stabilitas, dan komitmen spiritual.
Wallahu a'lam bish showaab.
Tags
opini
