Penguasa Tak Serius Tangani Bencana, Rakyat Menderita dalam Sistem Kapitalisme



Oleh Dwi March Trisnawaty S.Ei



Berbagai bencana melanda beberapa daerah di Indonesia, ada bencana banjir, longsor, hingga putting beliung. Bencana longsor terjadi di daerah Jawa Tengah di Kabupaten Cilacap dan Banjarnegara. Selama sepekan, Tim SAR melakukan evakuasi terhadap korban longsor ada yang berhasil dievakuasi sebanyak 34 orang namun menyisakan satu korban yang belum ditemukan. Data mencatat korban meninggal ada 21 jiwa, luka-luka 2 jiwa dan pengungsi mencapai 823 jiwa (mediaindonesia.com 22/11/2025).

Bencana banjir dan puting beliung telah mengepung tiga daerah Provinsi Sulawesi Tengah selama dua hari terakhir. Dilaporkan bencana tersebut terjadi di Kabupaten Tolitoli, Morowali Utara, dan Buol warganya terancam kehilangan rumah 12 rumah terendam dengan total 64 jiwa. Sementara itu, di Sumatera Barat mencatat lima kecamatan dilanda bencana banjir bandang, longsor, pohon tumbang, dan jalan amblas, akibat cuaca ekstrem disertai angin kencang pada 22-23 November 2025. Pemeritah Kabupaten mengatakan pihaknya tidak mampu mengatasi banjir karena keterbatasan anggaran (cnnindonesia.com, 23/11/2025).

Fenomena bencana alam mendera di beberapa wilayah Indonesia merupakan dampak dari kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan dalam sistem sekular-kapitalisme. Harusnya menyediakan tata kelola wilayah dibuat aman dan nyaman bagi rakyat, justru penguasa membangun fasilitas dengan berpihak pada para kapital pemilik modal. Desforestasi hutan secara massif dilakukan belakangan ini tanpa penanggulangan yang layak serta tidak memikirkan dampak kedepannya.

Sistem mitigasi dinilai masih kurang dan tidak komprehensif sebab penanganan bencana di berbagai daerah masih sangat lamban baik pada tataran individu, masyarakat, maupun negara. Penguasa tidak serius bertanggung jawab dalam menangani bencana, utamanya di daerah dengan alasan keterbatasan anggaran bergantung pada APBD. Penanganan bencana lamban dan tidak serius bukan hanya persoalan teknis saja, karena bersifat sistemik. Dalam paradigma kapitalisme negara hanya regulator tidak menghadirkan pelayanan yang layak bagi masyarakat, justru akan menekan beban anggaran. 

Sedangkan dalam paradigma Islam memandang bahwa bencana memiliki 2 dimensi yakni dimensi ruhiyah dan siyasiyah. Dimensi ruhiyah, bermakna bahwasannya bencana merupakan tanda kekuasaan Allah SWT. Dimensi siyasiyah berkaitan dengan penguasa membuat kebijakan tata kelola ruang dan mitigasi bencana. Tata kelola ruang hidup dalam Islam menganggap bumi ini adalah milik Allah SWT diamanahkan kepada manusia sebagai Khalifah sesuai dengan tuntunan syariat-Nya (QS.Al-Baqarah ayar 30) dan dilarang berbuat mafsadat (kerusakan, keburukan, dan kejahatan) dalam QS. Ar-Rum ayat 41. 

Penguasa negara menurut Islam sebagai pengurus dan penjaga akan bertindak secara serius serta komprehensif dalam melakukan mitigasi bencana untuk menjaga maqashid syariah yakni menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Pada saat bencana terjadi, pemerintah akan sepenuhnya bertanggung jawab cepat menanggapi memberikan bantuan secara layak, melakukan pendampingan, hingga korban bencana mampu menjalani kehidupan secara normal pasca bencana. Hanya dengan penerapan Islam secara Kaffah (menyeluruh) mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup dan bagian dari konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Waallahu a’lam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak