Oleh Suhartini
Warga Gaza yang sebagian besar masih tinggal di tenda-tenda pengungsian kembali menghadapi ujian berat ketika badai dan banjir menerpa wilayah mereka di musim dingin. Hantaman angin kencang dan curah hujan yang tinggi menyebabkan banyak tenda sobek, rusak, bahkan roboh, sehingga para pengungsi kehilangan satu-satunya tempat berlindung yang mereka miliki. Situasi ini semakin memperburuk kondisi yang sudah sangat memprihatinkan, terutama bagi anak-anak, lansia, dan perempuan yang harus bertahan dalam suhu dingin tanpa perlindungan memadai. Bencana tersebut tidak hanya menambah penderitaan fisik, tetapi juga memperdalam krisis kemanusiaan yang terus berlangsung akibat blokade dan serangan berkepanjangan. Dalam keadaan seperti ini, kebutuhan akan bantuan darurat dan perlindungan yang layak menjadi semakin mendesak agar warga Gaza dapat melewati musim dingin dengan selamat.
Meski gencatan senjata telah disepakati, Zionis terus memblokir masuknya material perlindungan seperti tenda dan rumah mobil, sehingga ribuan warga Palestina tetap hidup dalam kondisi serba kekurangan. Pembatasan ini membuat para pengungsi tidak dapat memperbaiki tempat tinggal sementara mereka yang rusak akibat serangan, bahkan sekadar mendapatkan perlindungan dasar dari cuaca ekstrem pun menjadi sangat sulit.
Tindakan tersebut memperpanjang penderitaan rakyat Palestina dan secara nyata menghambat upaya kemanusiaan yang berupaya menyediakan kebutuhan darurat bagi mereka. Di tengah situasi yang rentan dan tidak menentu, blokade terhadap bahan perlindungan semakin memperparah krisis kemanusiaan dan menunjukkan bahwa kesepakatan gencatan senjata belum sepenuhnya diikuti dengan tindakan yang menjamin keselamatan warga sipil
Sedikitnya 260 warga Palestina tewas dan lebih dari 630 lainnya mengalami luka-luka sejak gencatan senjata dimulai pada 10 Oktober, menunjukkan bahwa kekerasan dan pelanggaran terhadap warga sipil masih terus berlangsung meski terdapat kesepakatan penghentian tembakan. Angka korban yang terus bertambah ini menegaskan bahwa situasi di lapangan jauh dari kondisi damai, di mana serangan, bentrokan, dan tindakan represif tetap terjadi tanpa adanya perlindungan memadai bagi masyarakat Palestina. Kondisi ini tidak hanya menggambarkan rapuhnya komitmen terhadap gencatan senjata, tetapi juga memperlihatkan kegagalan pihak internasional dalam memastikan keselamatan warga sipil. Di tengah harapan akan stabilitas, kenyataan di lapangan justru memperlihatkan bahwa ancaman terhadap nyawa warga Palestina masih sangat tinggi dan krisis kemanusiaan semakin dalam.
Tawaran Solusi Menguntungkan Penjajah
Krisis yang terjadi di Gaza ini menunjukkan bahwa gencatan senjata bukanlah solusi sejati, karena akar persoalannya terletak pada penjajahan yang terus berlangsung. Selama pendudukan dan blokade masih tetap diberlakukan, rakyat Palestina akan tetap berada dalam kondisi terancam, meskipun sesaat tidak ada serangan aktif. Gencatan senjata hanya menghentikan tembakan sementara, tetapi tidak menghapus struktur penindasan, perampasan tanah, dan pembatasan yang membuat kehidupan warga Gaza terus berada dalam ketidakpastian dan penderitaan. Kenyataan bahwa kekerasan dan krisis kemanusiaan tetap terjadi meski telah ada perjanjian penghentian tembakan menunjukkan betapa mendesaknya penyelesaian yang menyentuh akar masalah: mengakhiri penjajahan dan memberikan rakyat Palestina hak penuh atas tanah, keamanan, dan kehidupan yang layak.
Narasi dunia yang menganggap “Gaza baik-baik saja padahal krisis semakin memburuk” mencerminkan betapa kuatnya pengaruh negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, dalam membentuk opini publik internasional. Melalui tekanan politik, diplomasi, dan dominasi dalam forum-forum global, AS sering dianggap memiliki peran besar dalam menentukan bagaimana situasi Gaza diberitakan dan dipersepsikan. Akibatnya, kondisi nyata di lapangan yang penuh penderitaan sering tersamarkan oleh laporan-laporan yang meremehkan tingkat keparahan krisis kemanusiaan. Persepsi global yang minim empati ini pada akhirnya memperlemah upaya internasional untuk memberikan perlindungan dan bantuan yang memadai, sementara rakyat Gaza terus menghadapi kenyataan hidup yang jauh lebih berat daripada yang terlihat dalam narasi resmi.
Solusi yang ditawarkan Barat terbukti tidak dan tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah Palestina, karena pada hakikatnya pendekatan mereka tidak diarahkan untuk mengakhiri penjajahan, melainkan justru mempertahankannya. Setiap proposal perdamaian, konferensi internasional, maupun tekanan diplomatik yang mereka ajukan selalu berhenti pada batas-batas yang tidak mengganggu kepentingan penjajah, sehingga tidak menyentuh akar persoalan: pengembalian tanah, penghentian blokade, dan pemulihan hak penuh rakyat Palestina. Alih-alih membawa keadilan, solusi-solusi itu sering kali menjadi alat untuk menunda penyelesaian sesungguhnya, sekaligus memberikan ruang bagi penjajah untuk memperluas kontrol dan kekuatannya. Dengan demikian, jelas bahwa pendekatan Barat bukan hanya gagal, tetapi juga berkontribusi dalam melanggengkan ketidakadilan dan penderitaan rakyat Palestina.
Solusi Islam Menghilangkan Penjajahan
Solusi Islam seharusnya menjadi pegangan para pemimpin negeri-negeri Muslim, karena hanya dengan kembali kepada syariat secara menyeluruh umat dapat memiliki arah yang jelas dalam menyelesaikan problem besar seperti penjajahan atas Palestina. Islam menawarkan sistem yang berlandaskan keadilan, persatuan, dan perlindungan terhadap kaum tertindas, bukan sekadar diplomasi yang rapuh atau kesepakatan politik yang mudah diingkari. Ketika para pemimpin Muslim menjadikan Islam sebagai dasar kebijakan, mereka akan terdorong untuk bertindak sebagai satu tubuh membela kehormatan, darah, dan tanah umat. Dengan demikian, solusi Islam bukan hanya pilihan moral, tetapi juga jalan realistis yang telah terbukti mampu mempersatukan umat dan menghadirkan kekuatan yang dapat menghentikan kezaliman serta mengembalikan hak-hak rakyat Palestina.
Gaza membutuhkan jihad dan Khilafah, karena hanya dengan kekuatan yang terorganisir dan kepemimpinan tunggal umat dapat benar-benar membela diri dari penjajahan yang terus berlangsung. Dalam Islam, Khilafah berfungsi sebagai junnah—perisai yang melindungi seluruh rakyatnya dari ancaman, agresi, dan penindasan. Perisai ini bukan sekadar simbol, tetapi sebuah institusi nyata yang memiliki kewenangan penuh untuk menerapkan syariat, mempersatukan negeri-negeri Muslim, serta mengerahkan kekuatan politik dan militer untuk menghentikan segala bentuk penjajahan. Di tengah kondisi Gaza yang terus dilanda blokade, serangan, dan krisis kemanusiaan, jelas bahwa seruan moral atau perjanjian diplomatis tidak cukup. Hanya sistem yang kokoh dan berlandaskan wahyu seperti Khilafah yang mampu menghadirkan perlindungan hakiki dan memastikan bahwa agresi terhadap kaum Muslim tidak dibiarkan berlangsung tanpa pembelaan.
Solusi hakiki ini harus terus dan semakin dikeraskan melalui dakwah Islam ideologis, yaitu dakwah yang tidak hanya menyampaikan ajaran Islam sebagai ritual ibadah, tetapi sebagai sistem hidup yang menyeluruh dan mampu menyelesaikan berbagai problem umat. Dakwah ideologis menuntut umat untuk memahami Islam sebagai ideologi yang mengatur urusan individu, masyarakat, hingga negara, serta mendorong perubahan yang mendasar, bukan sekadar perbaikan parsial. Dengan dakwah yang tegas dan terarah, kesadaran umat dapat dibangkitkan untuk kembali kepada penerapan syariat secara total, sehingga mereka tidak lagi terjebak pada solusi-solusi pragmatis yang tidak menyentuh akar masalah. Inilah dakwah yang mengokohkan keyakinan bahwa hanya sistem Islam yang mampu menghadirkan keadilan, keamanan, dan kemuliaan bagi umat.
Wallahu a'lam Bish Shawab
Tags
opini
