Oleh : Amrillah Silviana
(Aktivis Muslimah)
Sumatera berduka. Kita semua berduka. Banjir bandang menyapu tiga provinsi di Pulau Sumatera pada 25 November 2025. Sudah tiga belas hari bencana itu berlalu setidaknya sudah terdata 921 orang meninggal, 392 orang hilang, dan 975.000 lebih warga masih mengungsi. Data tersebut jelas akan berubah. Kemungkinan besar jumlah korban meninggal akan bertambah mengingat belum selesainya evakuasi karena keterbatasan akses jalan serta alat untuk mencari korban-korban tersebut di tengah lumpur-lumpur bawaan banjir bandang.
Dua hari pasca banjir, kepala BNPB, Suharyanto, mengatakan pernyataan kontroversial. Bahwa banjir bandang di Sumatera tersebut tidak semencekam yang terlihat di medsos. Hal ini membuat publik marah karena jelas-jelas banjir bandang direkam oleh warga-warga terdampak di sana bukan buatan AI (artivicial intelligence). Meskipun kemudian diralat oleh Suharyanto dan ia meminta maaf atas pernyataannya, kemarahan publik tidak mereda. Pasalnya sampai hari ini kejadian tersebut tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Lebih geram lagi hal itu menyebabkan evakuasi korban dan pemberian bantuan berjalan lambat.
Bencana dan Tata Kelola Ruang Hidup
Bencana tidak terjadi begitu saja. Banjir bandang yang membawa lumpur dan gelondongan kayu tidak mungkin turun dari langit. Banjir pun juga bukan hanya karena curah hujan tinggi akibat krisis iklim. Jika kayu gelondongan siap kirim terhanyut menerjang rumah warga, tentu bukanlah salah iklim yang membuat kayu di hutan lapuk atau membuat tanah longsor begitu saja. Tapi ada yang salah dalam kelolaan tata ruang hidup kita. Terutama tata kelola hutan sebagai tempat penyerap air hujan dan pengikat tanah.
Puluhan hingga ratusan ribu hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah kehilangan tutupan dikarenakan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit sejak tahun 2001. Dimana perkebunan sawit bukanlah hutan. Yang mana akarnya tidak dapat mengikat air dan tanah dalam jumlah besar. Alih-alih menopang tanah, pohon sawit justru membuat tanah semakin mudah tergerus karena sistem akar serabutnya. Artinya seolah-olah kita telah lama menyiapkan banjir bandang ini datang karena buruknya pengaturan lahan perkebunan dan kehutanan.
Izin pembukaan lahan perkebunan dari hutan adalah kebijakan dari pemerintah pusat. Meskipun tujuannya untuk menyuplai kebutuhan sawit namun seharusnya diperhitungkan kondisi keamanan dan dampaknya jangka panjang. Apalagi bukan puluhan hektar lahan yang dibuka tapi ratusan ribu hektar hutan dibabat dijadikan perkebunan sawit. Negara seharusnya melibatkan para ahli lingkungan untuk menilai cakupan tanah serapan yang aman untuk diubah menjadi lahan perkebunan ataupun pertanian. Diantaranya ada IESA (Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia) dan IALHI (Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia) serta melibatkan tenaga ahli di bidang konsultasi, analisis dampak lingkungan (AMDAL).
Hanya saja semua itu memang harus dibangun di atas dasar mengurusi urusan umat dengan adil. Bukan atas dasar untung rugi yang bersifat materil semata. Karena fungsi negara bukan hanya menjaga stabilitas ekonomi melalui perdagangan, tapi lebih luas dari itu mewujudkan keamanan, ketentraman, dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Begitu juga dengan mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah dirasa sangat lambat terutama untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan dan air bersih, pakaian yang layak, serta tempat tinggal sementara untuk para pengungsi. Sehingga masyarakat bergerak sendiri, menggalang dana, mengantarkan berbagai kebutuhan ke tenda-tenda pengungsian. Hingga lahir tagar warga bantu warga. Sungguh miris sekali. Kita seperti tidak punya negara. Padahal negara yang memiliki seperangkat kekuatan dan alat untuk melakukan mitigasi secara cepat dan efisien.
Islam Mengatur Masalah Bencana
Sebagai seorang Muslim kita meyakini bahwa Allah swt menghendaki bencana ini terjadi. Maka karena itu sikap seorang muslim yang tertimpa bencana adalah sabar dan berbaik sangka pada Allah swt. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 155,”Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang sabar”.
Namun, Allah swt juga memperingatkan dalam firman-Nya,” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (TQS. Ar-Rum : 41). Juga dalam Surat Ali Imran ayat 182,” Yang demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu (sendiri) dan sesungguhnya Allah (sama sekali) tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.” Kedua firman Allah swt ini semestinya membuat kita berfikir bahwa Allah swt menghendaki bencana terjadi karena ada sebabnya. Sebab yang datang dari perbuatan manusia yang melampaui batas hingga melakukan kerusakan. Artinya perbuatan manusia yang melanggar larangan Allah swt dan meninggalkalkan perintah Allah swt dalam hal lingkungan.
Sebenarnya Allah swt menurunkan Islam juga berisi aturan menjaga lingkungan hidup. Karena lingkungan hidup adalah bagian yang tak terpisahkan dari kelestarian manusia. Rasulullah saw sebagai utusan yang menjelaskan rincian Al-Qur’an pernah bersabda,”Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : padang, air, dan api (tambang)”. Artinya hutan adalah salah satu hak umum yang tidak boleh diprivatisasi. Yang mana harus dikelola oleh negara dengan wajib memperhatikan sustainability (keberlanjutan) agar tidak menimbulkan bahaya di masa mendatang. Jika hak umum ini diberikan kepada swasta sudah tentu kurang memperhatikan masalah ini karena tujuan utamanya untuk bisnis mencari keuntungan yang besar. Serta swasta memiliki sumber daya yang terbatas untuk mengatur lingkungan hidup secara komperhensif.
Maka, jika dalam kurun waktu 22 tahun ke belakang hutan Sumatera telah hilang 390.000 hektar dikarenakan dikuasai oleh beberapa perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan, wajar jika bencana banjir bandang terjadi sambil membawa kayu-kayu gelondongan dan lumpur yang sangat banyak. Deforestasi yang marak dan tidak ada upaya untuk mengembalikan ekosistem tidak ada dalam daftar kewajiban dan anggaran perusahaan. Karena mindset perusahaan adalah berfikir tentang keuntungan semata.
Fungsi utama negara adalah pengurus rakyatnya. Demikianlah sabda Rasulullah saw mengingatkan kepada para pemimpin muslim. Maka pemimpin muslim tidak akan bermudah-mudahan memberikan izin kelola hutan kepada swasta. Ia akan takut melanggar larangan Allah swt. Di lain sisi Islam juga menyiapkan mekanisme muhasabah kepada penguasa yang dzalim serta sanksinya. Hukum Islam adil tidak tumpul ke atas tajam ke bawah.
Ketika terjadi bencana, mindset para pemimpin muslim adalah tidak tidur tenang sebelum rakyatnya aman. Maka ia akan segera melakukan mitigasi bencana menginstruksikan semua komponen negara agar terjun menyelesaikan dampak bencana. Mulai dari penyediaan tempat pengungsian yang layak agar para pengungsi bisa istirahat, terutama bagi anak-anak dan perempuan. Kaum perempuan harus tetap terjaga auratnya. Kemudian penyediaan makanan bergizi dan air bersih sebagai kebutuhan pokok, serta obat-obatan yang dibutuhkan. Misalnya makanan sehat siap santap tanpa harus repot memasaknya terlebih dahulu, ini di hari-hari awal bencana dimana segalanya masih ruwet dan belum kondusif. Berikutnya segera dibuat dapur umum untuk memasak bahan mentah. Lalu datangkan dokter dan perawat untuk merawat dan mengobati yang terluka sehingga tidak terjadi kematian karena sakit selama di dalam pengungsian akibat tidak tertangani dengan baik.
Di masa lalu ketika negara pernah menerapkan syariat Islam yaitu Khilafah Utsmaniyah, misalnya ada gedung bernama Caravanserai, semacam tempat tinggal dan dapur umum untuk para musafir atau orang yang tidak memiliki tempat bernaung, yang diberikan secara gratis selama tiga hari. Di sana juga ada balai pengobatan maupun tempat memperbaiki kendaraan. Di masa Khalifah Umar ra, Madinah pernah terjadi bencana, dan beliau memerintahkan gubernur Mesir untuk mengirimkan bantuan. Bantuannya sangat banyak hingga unta nya berjajar dari mesir hingga madinah. Tak ketinggalan ketika terjadi bencana, Khalifah Umar ra pernah memerintahkan seluruh rakyat untuk bertaubat karena khawatir jika bencana tersebut karena maksiat yang dilakukan umat Islam.
Begitulah gambaran singkat Islam yang diterapkan negara dan sosok pemimpin yang menerapkan Islam. Bencana diselesaikan dengan aspek politik dan juga spiritual. Maka, bagaimana tidak mungkin, jika Allah swt menganugerahkan berkah kepada tanah-tanah yang diterapkan Islam di sana dan dijaga oleh pemimpin yang amanah lagi bertanggung jawab. Semoga negeri kita menjadi negeri yang seperti itu. Negeri yang baldatun thoyyibatun warabbun ghafur. Aamiin.
