Oleh: Fatimatuz zahroh
(Aktivis Dakwah dan Pemerhati Sosial)
Dunia selebar daun kelor, pepatah lama yang menggambarkan kemudahan di ruang digital. Terbukti pengguna internet di Indonesia saat ini sekitar 85 juta orang dan sebagian dari mereka adalah gen Z. Generasi muda di Indonesia didominasi kalangan Gen Z. Mereka lahir pada era digital dan tumbuh bersama teknologi canggih seperti, internet, komputer, dan perangkat seluler. Akibatnya mereka kelompok masyarakat yang memiliki “digital native” paling baik. Karena Gen Z cenderung lebih mudah beradaptasi dengan perubahan dan memperoleh informasi dengan cepat. Bahkan, Gen Z bisa dikatakan telah hidup pada era digital sepenuhnya. Wajar jika Gen Z pula yang mendominasi data pengguna gawai dan internet, termasuk media sosial.
Ruang digital yang awalnya diharapkan menjadi sarana belajar, berkreasi, dan bertumbuh, justru memunculkan dampak negatif yang tidak dapat diremehkan, antara lain kekerasan dan pelecehan (cyber bullying), penyebaran informasi sesat dan tidak benar (cyber fraud), pornografi, perjudian, dan penculikan, dan sebagainya. (ANTARA News).
Konten di ruang digital tidak hanya mempengaruhi pola hiburan, melainkan juga memengaruhi cara berpikir, cara bersikap, cara pandang beragama. Seperti kasus anak-anak berusia 12 tahun di Yogyakarta yang menjadi pelanggan warung telekomunikasi (warnet) melakukan tindakan asusila hingga hamil, karena meniru adegan porno yang mereka tonton di internet. Ruang digital hari ini menjadi ladang subur bagi pornografi yang merusak kesucian generasi.
Belum lagi konten judi online yang menghancurkan mental dan ekonomi, pinjaman online yang menjerat anak muda dalam lilitan hutang, konten moderasi beragama yang mengikis keyakinan, perdagangan manusia (trafficking), normalisasi penyimpangan perilaku, hingga cyberbullying yang mencederai kesehatan mental. Semua ini dikonsumsi setiap hari oleh generasi muda, sering kali tanpa pendampingan, tanpa filter, dan tanpa kesadaran bahayanya. Akibatnya, lahirlah generasi muslim yang split personality, rapuh dan sekuler, mudah cemas, kecanduan, krisis makna hidup, dan kehilangan arah. (sulsel.herald.id).
Menurut guru besar IPB Euis Sunarti bahaya negative ruang digital mengakibatkan kehilangan kesempatan bersosialisasi, terpapar perilaku asosial, amoral, serta bertambahnya agresif. Sedangkan menurut ahli Psikolog Elly Risman dosen UI menyebutkan ciri-ciri anak yang telah kecanduan pornografi adalah mengurung diri dan menghabiskan waktu dengan games dan internet di kamar, melawan, marah, dan berkata kasar bila ditegur untuk membatasi bermain "gadget" atau gawai, impulsif, berbohong, jorok, sulit berkonsentrasi, prestasi akademis menurun, jika bicara menghindari kontak mata, malu tidak pada tempatnya, menyalahkan orang, main dengan kelompok tertentu saja, dan hilang empati. (ANTARA News).
Konten-konten negatif di media sosial dapat menyebabkan terjadinya distraksi dan adiksi pada diri Gen Z. Semua ini semestinya kita pahami bersama. Paparan konten digital yang sampai menjadi candu jelas berdampak buruk pada kualitas kaum muda. Gen Z dengan karakter yang mudah beradaptasi, akan terbelokkan potensinya akibat salah arah dalam menggunakan gawai dan media sosial. Hal ini berpotensi mereka menjadi generasi yang malas berpikir, bermental lemah, dan merasa sepi meski di tengah keramaian lingkungan sosial.
Cara pandang mereka terhadap kehidupan telah “dibajak” karena penerapan kapitalisme yang bergerak liar lewat ruang digital, nilai-nilai seperti “kebebasan tanpa batas”, “identitas konsumen”, “viral adalah validasi”, menjadi norma baru yang dianut, hingga pandangan politik dan standar hidup generasi muda muslim.
Kita tidak menolak kemajuan teknologi karena ini nikmat yang Allah berikan untuk memudahkan, mempercepat, dan menghubungkan. Namun, nikmat ini jika tidak dijaga, ia akan berubah menjadi ancaman besar. Negara sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan berdiri tanpa visi penjagaan generasi, akibatnya negara gagal menciptakan ekosistem ruang digital yang aman bagi generasi muda, karena pijakannya bukan wahyu (bukan halal dan haram), bukan penjagaan akhlak, bukan keselamatan iman.
Sebagaimana CEO Meta Mark Zuckerberg selaku korporat media sosial global, pernah meminta maaf kepada para orang tua yang anak-anaknya meninggal akibat eksploitasi atau pelecehan seksual melalui media sosial. Namun, bukan kapitalis namanya jika menutup korporasi globalnya karena jatuh korban.
Karena itu, para CEO media sosial itu juga berulang kali menyinggung tentang aspek kontrol, terutama peran para orang tua untuk membatasi waktu penggunaan aplikasi, melihat siapa yang diikuti dan berinteraksi dengan anak-anak mereka secara online. Bahkan, mereka memperkenalkan produk baru berupa alat untuk mengelola pengalaman online anak-anak dan mengurangi bahaya media sosial pada mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh Meta lebih dari 30 alat selama delapan tahun terakhir.
Sungguh, ini sebuah strategi bisnis yang sengaja diciptakan oleh para kapitalis digital untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, padahal media sosial telah terbukti menjajah manusia dan berdampak buruk bagi kehidupan mereka yang kecanduan. Strategis bisnis ini dilindungi oleh penguasa adidaya AS, karena para bos raksasa teknologi global itu adalah pendukung politik rezim Trump.
Inilah akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Beragam ide sekuler dan liberal pun makin laris di lapak digital melalui keberadaan media sosial. Buktinya, media sosial semakin kental dengan konten-konten hedonis, konsumeris, kebebasan yang berakibat rusaknya kesehatan mental generasi.
Bahkan para kapitalis global, merasa tenang-tenang saja meski data mengenai buruknya kesehatan mental generasi muda telah terbukti didominasi kecanduan media social, arena di dalam sistem kapitalisme, keuntungan bisnis digital adalah tujuan utama. sistem sekuler kapitalisme juga memandang generasi muda sebagai pasar, tanpa peduli dengan efek yang ditimbulkan.
Meskipun Indonesia berupaya untuk membentengi generasi muda dari dampak buruk platform digital, namun sangat tidak sepadan dengan masifnya konten negatif yang dihadapi generasi muda secara langsung dari gawai mereka. Negara kalah cepat dan tidak tegas terhadap konten yang merusak generasi, serta tampak kurang maksimal untuk melindungi generasi.
Keberadaan generasi menjadi aset masa depan bagi sebuah peradaban. Karena itu, Negara Khilafah memiliki jejak mulia tentang penjagaan generasi agar menjadi generasi berkualitas, yaitu penerapan sejumlah tata aturan syariat untuk membangun peradaban Islam. Dalam islam negara berfungsi sebagai penjaga (rain) dan junnah (perisai), mempunyai visi penyelamatan generasi. Sehingga semua kebijakannya memastikan perlindungan kepada rakyat baik di dunia nyata maupun ruang digital.
Islam memiliki aturan yang sempurna untuk menjaga generasi dan keluarga muslim agar terhindar dari kebinasaan, Ketika di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman dalam Al Quran Surat An-Nisa ayat 9 dan At Tahrim ayat 6, yaitu:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa’ [4]: 9).
Juga di dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66]: 6).
Allah SWT mengingatkan kaum muslim agar jangan meninggalkan keturunan yang lemah dalam akidah, ibadah, intelektual/keilmuan, maupun ekonomi. Karena itu, Islam telah mengatur visi misi Pendidikan generasi muda, di tengah keluarga, masyarakat, hingga negara agar mereka terhindar dari kebinasaan.
Di dalam kitab Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Sistem Pergaulan Islam), Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan hadanah (pengasuhan anak dalam bentuk penyusuan) dan kafalah (pengasuhan anak berupa perlindungan meliputi hadanah dan khidmah/pelayanan).
Pendidikan anak-anak di tengah keluarga harus berjalan menurut aturan Allah. Dan dibutuhkan sinergi dengan lingkungan masyarakat dalam rangka amar makruf nahi mungkar. Sistem pendidikan Islam telah terbukti menghasilkan generasi tangguh. Ini sebagaimana sosok Zubair bin Awwam ra., sepupu Rasulullah SAW, putra dari bibi beliau Shafiyah binti Abdul Muthallib. Yang diasuh langsung oleh ibunya.
Dari Jabir ra., Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ نَبِىٍّ حَوَارِيًّا ، وَحَوَارِىَّ الزُّبَيْرُ
“Setiap nabi itu punya seorang Hawariyyun (pengikut setia). Pengikut setiaku adalah Az-Zubair.” (HR Bukhari).
Dari kisah Zubair, sungguh pengasuhan tidak bisa dan tidak boleh digantikan oleh gawai, apalagi media sosial. Jangan langsung memberikan gawai untuk meredakan anak yang rewel. Gawai tidak boleh menjadi sumber dan standar kebahagiaan generasi muda. Jangan sampai slogan kritis “lahir dari manusia diasuh sosial media” menjelma pada diri generasi kita. Inilah PR besar keluarga muslim di era digital saat ini.
Adapun masalah media atau informasi, Khilafah berperan sentral untuk melakukan tata kelola media beserta konten dan produksi perangkatnya. Media dan gawai termasuk golongan madaniyah (benda-benda hasil kemajuan teknologi) yang hukum asal bendanya mubah (boleh).
Khilafah juga menggunakan teknologi tercanggih untuk memfilter semua konten berbahaya. Bukan setengah-setengah. Bukan sekadar imbauan moral. Tetapi sistem keamanan digital yang kokoh, seragam, dan berorientasi syariah. Ruang digital dijadikan medan pendidikan, pencerdasan, dan penguatan dakwah bukan tempat tumbuhnya kerusakan. Khilafah akan melindungi masyarakat agar tidak menjadi target imperialisme pasar.
Gawai beserta konten digital di dalamnya adalah sarana untuk meningkatkan ketakwaan, dakwah, dan amal saleh, bukan untuk melenakan, apalagi membinasakan generasi. Karena itu, Khilafah tidak akan membiarkan peredaran konten-konten yang merusak generasi, seperti pornografi, judol, pinjol, gim online, serta media sosial tanpa batas di dalam gawai milik warganya.
Terkait dengan potensi munculnya kejahatan siber, Khilafah melalui Departemen Keamanan Dalam Negerinya akan mengurusi segala bentuk gangguan keamanan melalui satuan kepolisian. Khilafah juga akan memutus semua bentuk kerja sama atau perjanjian dengan semua platform media sosial dari luar Khilafah, terlebih jika muncul indikasi yang membahayakan generasi muda maupun warga Khilafah, maka Khilafah tidak segan memberi sanksi yang tegas dan akan menjerakan pelakunya.
Negara khilafah akan meneguhkan diri sebagai negara adidaya melalui strategi ekonomi, politik luar negeri, pendidikan, pertahanan dan keamanan termasuk cyber security, serta sistem sanksi yang adil dan tegas jika ada pelanggaran penyalahgunaan teknologi digital. seluruh industri yang menghasilkan konten merusak pornografi, perdagangan manusia, riba, perjudian, propaganda sekularisasi akan hilangkan sampai ke akar-akarnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan…” (HR. Muslim).
Di level negara, tangan itu adalah kekuasaan yang adil dan berdasarkan wahyu. Akhirnya, kita harus berani jujur bahwa kerusakan ini karena satu hal besar telah hilang dari kehidupan kita: penerapan syariat islam secara kaffah oleh negara yang akan menjaga akal, iman, dan kehormatan manusia dengan syariat Allah.
Sungguh jika kita ingin menyelamatkan generasi, kita perlu lebih dari sekadar kampanye moral sesaat, seminar parenting, dan literasi digital. Kita butuh sistem yang menerapkan seluruh syariat islam dan hanya Khilafah yang bisa menegakkan syariat Islam secara menyeluruh. Generasi hari ini berhak tumbuh dalam cahaya. Dan tugas kitalah memperjuangkannya. Wallahualam bissawab
