Lemahnya Mitigasi Bencana, Cermin Buram Tata Kelola Ruang Hidup dan Lingkungan



Oleh Pastri Sokma Sari 



Berita yang dilansir oleh (mongabay.co.id, 19/11/2025) mengabarkan bahwa dalam sepekan terakhir, longsor melanda Cilacap dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Di Desa Cibeunying, Majenang, Cilacap, longsor pada Kamis (13/11/2025) menewaskan 16 orang dan 7 lainnya masih dicari hingga Selasa (18/11). Sementara itu, di Desa Pandanarum, Banjarnegara, longsor pada Minggu (16/11) menewaskan dua warga dan membuat 800 orang mengungsi. Duka mendalam dirasakan Daryana (52) yang kehilangan istri, anak, dan tiga keponakan; ia sempat melihat retakan tanah besar sebelum bencana terjadi dan terseret lumpur saat longsor menerjang. Menurutnya, longsor berawal dari area tanah terbuka di perbukitan. Kepala BPBD Cilacap, Taryo, menyebut curah hujan ekstrem dan retakan tanah menjadi pemicu longsor yang terjadi sangat cepat sehingga banyak warga tidak sempat menyelamatkan diri.

Berita bencana di Indonesia yang tidak kalah ramai dikabarkan adalah banjir yang mengepung sejumlah wilayah Sulteng, Aceh, hingga Sumbar sebagaimana dilansir oleh (www.cnnindonesia.com, 23/11/2025). Disebutkan bahwa cuaca ekstrem dua hari terakhir memicu bencana di tiga daerah di Sulawesi Tengah yakni Tolitoli, Morowali Utara, dan Buol, mulai dari angin puting beliung yang merusak dua rumah di Tolitoli, banjir yang merendam 12 rumah di Morowali Utara akibat luapan Sungai Kasimpo dan Tobungka, hingga abrasi pantai yang mengancam 11 rumah di Buol. Di Sumatera Barat, lima kecamatan di Kabupaten Agam dilanda banjir bandang, longsor, pohon tumbang, dan jalan amblas, sementara sejumlah fasilitas, lahan pertanian, dan akses jalan rusak. Padang Pariaman juga mengalami banjir, longsor, dan pohon tumbang di belasan titik, mengganggu aktivitas warga hingga menyebabkan beberapa wilayah terisolasi. Pemerintah daerah masih melakukan penanganan di berbagai lokasi dan bersiap menetapkan status tanggap darurat. 

Bencana yang terus berulang sebenarnya berakar pada kesalahan tata kelola ruang yang merusak lingkungan, terutama melalui alih fungsi lahan yang masif. Kondisi ini lahir dari paradigma kapitalisme yang memandang lahan sebagai komoditas bernilai ekonomi, sehingga keputusan pemanfaatannya lebih mengejar profit jangka pendek daripada menjaga fungsi ekologis dan keselamatan lingkungan. Sistem manajemen bencana di Indonesia juga memperburuk situasi karena penanganan yang reaktif dan minim pencegahan; pemerintah kurang komitmen melakukan mitigasi sejak awal, termasuk menjaga kawasan lindung agar tidak dikonversi secara besar-besaran. Lemahnya prioritas ini tercermin dalam RAPBN 2025 yang hanya mengalokasikan Rp5 triliun atau sekitar 0,54 persen dari APBN untuk penanggulangan bencana, dan dana tersebut pun terbatas pada tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi, tanpa dukungan memadai untuk pencegahan, mitigasi risiko, atau kesiapsiagaan. 

Manajemen bencana idealnya menekankan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan, tetapi anggaran negara justru lebih banyak digunakan untuk tanggap darurat dan pemulihan. Kondisi ini makin sulit di daerah karena program prabencana sangat bergantung pada APBD dan tidak terhubung langsung dengan anggaran pusat. Akibatnya, upaya pengurangan risiko bencana kerap tertunda, dan penanganan yang dilakukan lebih bersifat reaktif daripada preventif. Hambatan ini menunjukkan adanya masalah struktural dalam kebijakan sehingga keselamatan publik belum menjadi prioritas utama. 

Islam menawarkan paradigma pengelolaan ruang hidup yang berlandaskan amanah dari Allah Swt., sehingga setiap kebijakan wajib diarahkan pada kemaslahatan umat dan kelestarian lingkungan. Negara dalam sistem Islam menjalankan kepemimpinan yang bersifat riayah, bukan transaksional, sehingga perlindungan nyawa dan pencegahan kerusakan lingkungan menjadi prioritas sesuai prinsip syariat, termasuk larangan memprivatisasi kepemilikan umum seperti air, hutan, dan sumber daya vital lainnya. Politik ekonomi Islam menekankan distribusi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan lahan sebagai komoditas sehingga mendorong eksploitasi dan konversi lahan yang memicu bencana. Karena itu, tata kelola ruang hidup dalam sistem Islam otomatis terarah pada perlindungan lingkungan, mitigasi risiko, serta penggunaan riset ilmiah dalam pengambilan keputusan. 

Dalam manajemen bencana, negara (Khilafah) menjalankan seluruh fase mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dengan cepat, terukur, dan berorientasi pada penyelamatan nyawa, sebagaimana dicontohkan sejarah peradaban Islam melalui pengelolaan kanal, konservasi air, hingga pembangunan struktur tahan gempa. Saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak, pendampingan, hingga para penyintas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana.  Seluruh pembiayaan diambil dari Baitulmal, termasuk pos darurat dari dana fai, kharaj, dan kepemilikan umum, sementara pajak hanya dipungut saat keadaan sangat mendesak. Dengan birokrasi yang sederhana dan keputusan yang cepat, Khilafah memastikan penanganan bencana tidak terhambat anggaran maupun prosedur panjang, karena negara memandang keselamatan rakyat sebagai amanah syar'i yang harus dipenuhi secara langsung dan tanpa bergantung pada utang luar negeri.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak