Oleh: Rifdah Reza R., S.Sos., M.I.Kom.
Bagaimana Kapitalisme Digital Mengubah Ruang Publik dan Politik
Kapitalisme digital berjalan dengan mekanisme ekstraksi data secara besar yang diolah menjadi sarana untuk memprediksi perilaku. Hal ini selaras dengan yang dipaparkan oleh Shoshana Zuboff dalam Surveillance Capitalism bahwa platform media sosial dan layanan digital tidak sesederhana menjadi ruang komunikasi, melainkan di dalamnya ada mesin yang memanfaatkan setiap aktivitas pengguna melalui klik, durasi menonton, lokasi, preferensi, dan lain sebagainya.
Dengan proses ini tercipta kekuasaan asimetris antara korporasi dan pengguna, yaitu makin banyak data yang diperoleh, makin presisi pula kecenderungan politik dan konsumsi publik. Ini menunjukkan bahwa ruang publik bukanlah sebagai ruang yang bebas, melainkan menjadi arena yang dengan mudahnya digerakkan oleh logika prediktif yang menguntungkan korporasi global, sama sekali bukan masyarakat.
Dalam sudut pandang komunikasi politik, kapitalisme digital dapat memodifikasi cara opini publik dibentuk melalui berbagai mekanisme yaitu agenda-setting, framing, dan algoritma rekomendasi. McCombs dan Shaw telah menguak hal ini, bahwa media dapat menentukan isu apa yang dianggap penting. Di sisi lain Entman pun memaparkan bahwa frame dapat tersorot untuk mengarahkan interpretasi publik.
Pada ekosistem digital inilah proses tersebut dipercepat dan diperkokoh oleh algoritma yang mengutamakan konten yang paling menguntungkan secara komersial, sama sekali bukan yang paling informatif. Atas hal itu, terjadilah fragmentasi wacana, polarisasi dan terbentuknya filter bubble yang menjadikan berbagai generasi terutama Gen Z diatur secara algoritma mulai dari distribusi perhatian publik, hingga narasi apa yang dianggap paling relevan.
Hal ini pun dapat ditemukan dalam berbagai kampanye politik untuk menyusup ke ruang digital Gen Z dengan berbagai pesan politik yang disesuaikan dengan karakter psikologis individu. Perpaduan antara data profiling dan konten-konten emosional melahirkan pesan politik yang terasa personal. Banyaknya hoaks, politik identitas, dan mobilisasi berbasis viralitas pun melibatkan logika algoritma guna membentuk cara Gen Z memahami politik hari ini.
Dengan itu, banyak gen Z yang terjebak dalam aktivitas yang bersifat performatif, yaitu sebatas mengandalkan gestur simbolik online tetapi kosong akan landasan struktural yang kokoh. Ini menjadi gambaran bagaimana kapitalisme digital tidak sebatas hanya pada aspek sistem ekonomi, tetapi pun masuk pada ekosistem simbolik yang dapat menentukan bagaimana generasi muda memaknai dunia politik.
Dari sisi ekonomi politik, kapitalisme digital memperkokoh ketimpangan sosial dengan memusatkan kekayaan pada segelintir korporasi global yang menguasai infrastruktur data. David Harvey menguak hal ini dengan memberikan gambaran bahwa ini dinamakan sebagai accumulation by dispossession. Di sisi lain Thomas Piketty juga menjelaskan akumulasi modal terus melaju lebih cepat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Maka sistem ini mendorong komersialisasi setiap aspek kehidupan, baik itu dari gaya hidup, opini, orientasi politik, dan sebagainya. Akhirnya, masyarakatlah yang menjadi komoditas untuk dijual melalui data.
Kritik pada Kapitalisme
Kapitalisme digital memperdalam ketidakadilan struktural karena semua mekanisme kerja di dalamnya bergantung pada akumulasi yang tak terbatas. Ketika data sudah dimonopoli oleh korporasi besar, maka kekuasaan ekonomi dan politik kian terkonsentrasi. Ini tentu tidak akan mengantarkan pada distribusi kesejahteraan yang adil. Kapitalisme menunjukkan pada kita semua bahwa ia selalu membutuhkan ekspansi baru guna mempertahankan diri, dan di era digital hari inilah ekspansi itu terjadi pada aspek daya manusia. Ini melahirkan masyarakat yang terkungkung sebagai objek ekonomi.
Di dalam kapitalisme digital ruang publik mengalami komersialisasi yang ekstrim. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya perhatian publik yang dijadikan sebagai komoditas. Di sisi lain struktur kepemilikan media pun mempengaruhi isi informasi.
Gen Z yang tumbuh di tengahnya pun mengalami disorientasi politik karena terpapar terlalu cepat dan terfragmentasi. Algoritma melahirkan meaning-making dengan memperkokoh preferensi, memfilter pandangan yang berbeda, dan mengantarkan generasi pada aktivisme permukaan yang semu. Identitas politik kian rapuh karena dibangun oleh logika pasar, maka amatlah jauh dari nilai atau tujuan kolektif. Individu tampak lebih terkoneksi namun sebetulnya terisolasi secara ideologis.
Ketika setiap perilaku diprediksi, manusia akan kehilangan ruang spontanitas dan ada pengambilalihan pengalaman manusia yang justru dijadikan bahan baku pasar. Ini jadi pelanggaran yang menggeser manusia dari subjek menjadi objek dalam struktur ekonomi yang mempunyai nilai moral selain profit.
Solusi Islam Secara Sistemik dan Tuntas
Dalam perspektif politik Islam, solusi harus bersifat sistemik. Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa struktur ekonomi Islam dibangun dengan prinsip kepemilikan yang teratur mulai dari privat, publik, dan negara. Ada pun di dalamnya berbagai perintah dan larangan yang berlandas kepada standar Allah SWT sebagai standar terbaik yang sesuai dengan fitrah manusia. Sama sekali tidak seperti kapitalisme yang terus menerus mengutamakan akumulasi dan asas kepentingan. Ekonomi Islam menekankan pencapaian kebutuhan pokok seluruh rakyat dan pembatasan kepemilikan yang merusak kemaslahatan umum. Prinsip inilah yang juga menempatkan negara sebagai pelindung kebutuhan masyarakat, sama sekali bukan sebagai fasilitator pasar bebas.
Sistem Islam menawarkan mekanisme konkret dengan adanya larangan praktek monopoli. Dengan ini, negara tidak membiarkan sektor strategis dikuasai swasta karena hal ini akan berpotensi melahirkan ketimpangan dan ketidakstabilan di tengah sosial. Hal inilah yang menjadi masalah yang amat jelas saat ini dalam ekonomi digital. Aturan berlandaskan Islam akan memastikan kesejahteraan terdistribusi adil dan tidak terakumulasi pada segelintir aktor pasar.
Islam pun memberikan pendekatan yang khas dalam mengatur informasi publik, yaitu informasi diarahkan pada kemaslahatan, kejujuran, dan untuk melindungi masyarakat dari berbagai manipulasi. Negara pun mempunyai legitimasi untuk mengatur narasi publik, yaitu memastikan media tidak dipakai sebagai alat propaganda kepentingan tertentu yang bertolak belakang dengan Islam.
Perubahan menuju sistem alternatif ini membutuhkan strategi politik yang komunikatif. Para aktor dakwah dan gerakan intelektual harus menyusun strategi dan narasi untuk mengembalikan pola pikir bahwa Islam adalah solusi, bukan utopia. Islam adalah jawaban yang mampu menggantikan kapitalisme digital. Roadmap transisi dapat mencakup reformasi kebijakan ekonomi, pembentukan lembaga pengelola data publik, dan pendidikan politik berlandaskan nilai Islam.
Sebagai penutup, setiap sistem pasti dapat diuji melalui kritik, termasuk kekhawatiran bahwa Islam dapat membatasi kebebasan misalnya. Namun, perlu diketahui bahwa prinsip syura, akuntabilitas pemimpin, serta adanya perlindungan hak dasar dalam Islamlah yang justru dapat memastikan bahwa kekuasaan di dalamnya tidak akan sewenang-wenang selama berdiri dengan genggaman yang kokoh dan menyeluruh. Setelah itu, tantangan implementasi dapat dijawab dengan mekanisme checks and balances dalam sistem Islam dan gambaran keberhasilan historis Islam dalam mengelola ekonomi, pendidikan, sosial, dan seluruh aspek pada masa kekhilafahan. Maka, solusi Islam lebih dari normatif, Islam memiliki jejak institusional yang berjalan amat gemilang saat sepenuhnya digenggam dan diterapkan.
Wallahu a'lam bishshawab.
Referensi:
An-Nabhani, T. (2004). Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam.
Entman, R. (1993). Framing: Toward clarification of a fractured paradigm. Journal of Communication, 43(4), 51–58.
Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.
McCombs, M., & Shaw, D. (1972). The agenda-setting function of mass media. Public Opinion Quarterly, 36(2), 176–187.
Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press.
van Dijck, J., Poell, T., & de Waal, M. (2018). The Platform Society. Oxford University Press.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.
Tags
opini
