Oleh Suhartini
Screen Time Tanpa Kendali dalam Sistem Kapitalis
Fakta menyebutkan bahwa Indonesia kini menduduki peringkat pertama dunia dalam hal penggunaan ponsel untuk mengakses internet — menurut laporan Digital 2025 Global Overview Report, sebanyak sekitar 98,7% penduduk Indonesia berusia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk online. CNBC Indonesia (Senin, 24/11)
Selain itu juga masyarakat Indonesia juga menghabiskan waktu untuk berselancar di internet dengan rata-rata 7 jam 22 menit per hari dan ini menggambarkan tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap internet dan ponsel sebagai sesuatu yang menurut laporan itu telah mencapai level “kecanduan akut.
Seiring meningkatnya penggunaan gawai, banyak generasi muda di Indonesia kini menghadapi risiko kesehatan mental akibat screen time yang berlebihan, dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa remaja dan pelajar yang sering menatap layar lebih dari batas aman cenderung mengalami tekanan psikologis seperti kecemasan, depresi, dan gangguan emosi. Bahkan pejabat nasional menyebut bahwa rata-rata screen time Indonesia sekarang telah melebihi 7,5 jam per hari, kondisi yang bisa memicu gangguan mental, menurunnya keterampilan sosial, dan masalah perkembangan pada anak serta remaja. Dampak ini makin nyata di kalangan mahasiswa dan remaja, di mana kombinasi antara “digital burnout”, tekanan akademik, dan paparan layar terus-menerus menyebabkan stress dan depresi bahkan kerentanan mental. Karena itu, banyak anak muda sekarang merasakan bahwa screen time bukan sekadar kebiasaan melainkan factor serius yang mempengaruhi kesehatan jiwa mereka.
Banyak warga Indonesia terjebak dalam kecanduan gadget terlalu sering menghabiskan waktu untuk menatap layar smartphone atau perangkat digital lain dan kondisi ini punya konsekuensi serius. Sebagai contoh, penggunaan gawai melebihi batas aman di Indonesia kini telah dikaitkan dengan peningkatan masalah kesehatan mental seperti kecemasan, gangguan tidur, dan depresi. Selain itu, sejumlah ahli memperingatkan kemungkinan munculnya apa yang disebut “Digital Dementia” yang berarti gangguan fungsi kognitif dan memori akibat paparan layar yang konstan, yang dapat menghambat kemampuan berpikir, konsentrasi, dan daya ingat. Dampak negatif lain termasuk kemalasan berpikir, menurunnya keinginan untuk bersosialisasi secara nyata, dan meningkatnya rasa kesepian karena interaksi digantikan oleh dunia maya, sehingga hubungan sosial dan kemampuan emosional bisa melemah. Akibatnya, alih-alih meningkatkan kualitas hidup, kecanduan gadget justru bisa menjadi beban baru bagi individu maupun masyarakat.
Di Indonesia saat ini belum adanya regulasi yang secara tegas untuk menetapkan batas usia minimal untuk penggunaan gadget, sehingga ini penyebab banyak anak-anak rentan terpapar konten digital dari usia sangat dini. Padahal berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang intens oleh remaja bisa berdampak negatif bagi kesehatan mental seperti kecemasan, stres, gangguan tidur, rendahnya rasa percaya diri, serta potensi gangguan emosional akibat perbandingan diri dan paparan konten negatif. Dalam konteks ini, ketidakterbatasan akses serta pengaruh teknologi digital termasuk kecerdasan buatan (AI) di medsos menambah kekhawatiran, karena bisa memperbesar risiko efek buruk pada kesehatan mental generasi muda apabila tidak ada pengaturan dan literasi digital yang memadai.
Dampak Kapitalisme Digital terhadap Kesehatan Mental Generasi
Dalam tatanan kapitalisme modern, media digital terutama media sosial dan platform berbasis internet telah berkembang menjadi komoditas besar: digunakan dan didesain sedemikian rupa untuk memaksimalkan keuntungan, seringkali dengan mengutamakan algoritma yang membuat pengguna “tergoda” supaya terus membuka, bergulir, dan terus berinteraksi. Namun, di balik kemudahan dan keuntungan akses informasi, generasi muda ternyata menghadapi dampak psikologis serius: riset menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang intens atau kecanduan terhadap media digital berkorelasi dengan naiknya tingkat stres, kecemasan, perasaan rendah diri, dan depresi. Banyak remaja melaporkan perasaan kesepian, ketidakpuasan terhadap diri sendiri akibat terus membandingkan hidup dengan citra “ideal” yang disajikan media sebuah tekanan sosial dan budaya yang sering muncul dalam konteks dunia maya. Dengan demikian, media digital dalam wujud kapitalisme bukan sekadar alat komunikasi atau hiburan tetapi juga bisa menjadi pemicu krisis mental, menjadikan generasi muda rentan terhadap masalah psikologis, kritik sosial, dan disorientasi nilai hidup.
Dalam sistem kapitalis modern terutama melalui dominasi perusahaan digital seringkali demi mengejar keuntungan dan pertumbuhan pengguna, kondisi mental generasi muda diabaikan. Platform-platform digital mendorong pengguna untuk terus online, mengejar popularitas, perbandingan sosial, dan interaksi yang intens hal ini bisa memunculkan kecemasan, depresi, dan rasa tidak pernah cukup. Sementara itu, perusahaan lebih fokus pada metrik keuntungan, jumlah klik atau pengguna aktif, ketimbang tanggung jawab terhadap dampak psikologis yang dialami pengguna. Dampak buruk seperti penurunan kesehatan mental, stres karena perbandingan sosial, atau ketergantungan digital jadi “biaya tersembunyi” dari keuntungan besar mereka.
Indonesia kerap diperlakukan hanya sebagai pasar bagi platform-platform digital seakan-akan negeri ini hanya dianggap sebagai lahan “pelanggan” yang siap dikomersialkan. Pemerintah dan regulasi seringkali tak menunjukkan sikap tegas dalam menghadang dominasi perusahaan digital besar, sehingga prioritas perlindungan terhadap generasi muda calon pemimpin masa depan menjadi kabur. Akibatnya, kepentingan komersial perusahaan mendapat perhatian utama, sedangkan tanggung jawab memastikan lingkungan digital yang aman dan sehat bagi anak-anak atau remaja sering diabaikan. Dengan demikian, nasib mental dan perkembangan generasi muda terpinggirkan demi meraup keuntungan lebih banyak dari pasar Indonesia.
Konsep Khilafah dalam Menjaga Moral Generasi di Era Digital
Khilafah memiliki visi dan misi yang menekankan pada upaya menciptakan generasi terbaik calon pemimpin peradaban sehingga menunjukkan komitmen kuat terhadap kualitas generasi. Dalam sistem khilafah, pendidikan dan pembinaan akhlak dianggap sebagai fondasi untuk melahirkan kaum muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter Islami, tanggung jawab dan kesadaran sosial. Negara dalam kerangka khilafah dipandang bertanggung jawab menyediakan pendidikan berkualitas dan lingkungan sosio-kultural yang mendukung tumbuhnya generasi unggul, sehingga umat bisa bangkit sebagai komunitas maju dan beradab.
Negara mengambil langkah preventif untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif media digital dengan berbagai pendekatan salah satunya melalui penerapan sistem pendidikan Islam sebagai fondasi moral dan edukasi. Melalui pendidikan agama, nilai-nilai etika dan akhlak Islami diajarkan sejak dini sehingga anak-anak memiliki “filter” moral yang membantu mereka memilah mana konten bermakna dan mana yang berpotensi merusak.
Di samping itu, peran orang tua sebagai “madrasah ula” pendidik pertama dan utama sangat ditekankan bahwa orang tua diharapkan aktif mendampingi, membimbing, dan mengawasi penggunaan media digital anak agar tetap selaras dengan nilai agama dan keluarga. Dan tak kalah penting, sinergi masyarakat melalui semangat amar ma'ruf nahi mungkar untuk saling mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran menjadi upaya kolektif menjaga generasi muda dari pengaruh negatif lingkungan digital.
Negara juga melakukan langkah khusus, yaitu:
1. Negara mengambil tanggung jawab untuk mengawasi konten media hanya memperbolehkan tayangan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan menetapkan sanksi tegas bagi siapa saja yang memposting konten yang dianggap tidak sesuai syariat.
2. Negara, dalam kerangka Khilafah, dapat menetapkan bahwa hanya media sosial tertentu yang diperbolehkan beredar artinya, tidak semua medsos bebas hadir dalam sistem Khilafah. Dengan kebijakan semacam itu, diharapkan konten dan platform yang tergolong sesuai syariat dan nilai-nilai Islam saja yang diizinkan, sehingga ruang digital bisa dijaga dari pengaruh negatif.
3. Negara menetapkan kebijakan untuk membatasi akses media sosial berdasarkan usia sehingga tidak semua orang bisa bebas memakai medsos tanpa memperhatikan rentang usia. Dengan pembatasan ini, hanya mereka yang telah mencapai usia tertentu yang diperbolehkan mengakses platform digital umum, dengan tujuan melindungi anak-anak dan remaja dari paparan konten yang berpotensi merusak akhlak, kesehatan mental, atau perkembangan moral mereka.
4. Negara perlu mengatur penggunaan Artificial Intelligence (AI) agar tidak memberikan dampak buruk pada generasi memastikan bahwa AI digunakan secara bertanggung jawab dan etis. Regulasi semacam itu bisa mencakup pembatasan akses untuk anak-anak atau remaja terhadap AI yang dapat memproduksi konten negatif, penerapan standar perlindungan data dan privasi, serta penegakan pedoman moral dan kebenaran informasi. Dengan demikian, AI berfungsi sebagai alat bantu produktif, bukan sebagai faktor yang merusak pola pikir, moral, atau perkembangan karakter generasi muda. Pengawasan dan edukasi oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi bagian penting dari langkah regulatif ini.
Wallahu a'lam bish showaab.
Tags
opini
