Bencana Sumatra: Bukti Kejinya Sistem Kapitalis, dari Perizinan hingga Kematian



Oleh Zulfi Nindyatami, S.Pd.




Bencana alam kembali terulang di penghujung tahun. Bukan lagi tentang erupsi Semeru di Lumajang, yang hakikat alami faktor alam. Namun, akibat eksploitasi, di mana bencana kali ini bukan sekadar bencana alam biasa. Faktor penyebab dari datangnya bencana di Sumatra adalah ulah tangan manusia yang serakah. Hampir setengah dari Pulau Sumatra berada di lingkaran darurat bencana alam. Keserakahan para korporat menjadi biang kerok alam ‘mengamuk’, hingga rakyat yang menjadi korban. 

Pada akhir bulan November hingga awal bulan Desember tahun 2025 menjadi momen duka bagi beberapa wilayah di Sumatra, yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Penghujung akhir tahun yang tidak akan terlupakan, dengan terjadinya bencana alam yang menerjang sebagian Pulau Sumatra. Tanah longsor hingga banjir bandang menerjang wilayah strategis di setiap daerahnya. Akses transportasi lumpuh total akibat bencana tersebut. Kurang lebih 1,5 juta warga terdampak dan harus mengungsi. Selain itu ratusan korban jiwa banyak ditemukan. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat update terbaru korban jiwa mencapai 914 orang, adapun ratusan korban lainnya yang masih dalam tahap pencarian (www.liputan6.com, 06/12/2025). 

Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bencana di Sumatra akibat Siklon Tropis Senyar yang menyelimuti wilayah di Asia Tenggara. Namun, bencana tersebut tidak akan terjadi apabila ruang resapan air terpenuhi, fondasi hutan kokoh, dan tidak ada deforestasi. Peringatan dini Siklon Tropis menyebabkan curah hujan ekstrem dan ancaman bencana hidrometeorologis, yaitu longsor dan banjir serta banjir bandang (https://news.detik.com, 06/12/2025). 

Pemerintah sampai saat ini belum menyatakan status darurat Bencana Nasional. Kenyataannya banyak korban yang berjatuhan, masyarakat kehilangan ruang publik, hingga desa-desa menghilang dalam sekejap. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Ia menyatakan bahwa status bencana di Sumatra belum dinaikkan sebagai Bencana Nasional, namun penanganannya sudah nasional. Lanjut penuturannya, bahwa yang terpenting itu perlakuannya bukan statusnya. Ia menilai pemerintah pusat sudah turun tangan, Presiden hingga para menteri (www.kompastv.com, 07/12/2025). 

Adapun faktor pembabatan hutan menjadi faktor utama bencana di Sumatra. Ketua Divisi Penguatan dan Hukum Lingkungan WALHI Sumatra Barat, Tomy Adam mengungkap temuan kayu gelondongan yang terpotong rapi di Pantai Air Tawar Sumatra Barat. Kayu tersebut ditemukan dengan kondisi kulit terkelupas dan potongan yang rapi, seolah dipotong menggunakan mesin. Kayu-kayu yang terbawa didominasi kayu meranti yang memiliki nilai komersial tinggi (www.trmpo.co.id, 07/12/2025).

Selain itu, izin pembukaan lahan menjadi ruang terbuka atau pengalihfungsian hutan harus terus diselidiki. Menurut Gubernur Sumatra Barat, Mahyeldi Ansharullah, menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan memberikan izin langsung kepada pihak ketiga, tanpa melalui pihak daerah. Diharuskan adanya evaluasi dalam kebijakan perizinan (www.kompastv.com, 07/12/2025). 

Bencana yang terjadi saat ini bukan karena faktor alam atau sekadar ujian semata, tetapi dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama. Pemerintah pun melakukan  legitimasi kebijakan penguasa (pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, Undang-undang Minerba, Undang-undang, dan lain sebagainya. Curah hujan tinggi hanya sebagai pemicu awal terjadinya longsor dan banjir bandang. Pemicu utamanya karena tidak ada lagi zona resapan air yang cukup, sehingga air menerobos dataran rendah yakni pemukiman dan kebun warga. 

Sikap penguasa seperti ini sangat niscaya dalam sistem Sekuler Demokrasi Kapitalisme. Penguasa dan pengusaha kerap kongkalikong untuk menjarah hak milik rakyat atas nama  pembangunan terkait sistem yang merusak  yang melahirkan penguasa zalim. Sistem Demokrasi Kapitalis, memberikan ruang yang luas bagi para pengusaha untuk membuka lahan di Indonesia. Kebijakan perizinan yang dipermudah oleh pemerintah membuatnya merasa berkuasa.

Megaproyek tambang juga perkebunan yang homogen membabat hutan yang heterogen dan dipenuhi banyak satwa dan flora kini hilang. Mereka sulit memiliki habitat yang berkualitas, akibat keserakahan para korporat dan pelaku kapitalis. Berangkat dari musibah banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan bahaya  nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya. Walaupun, masyarakat sudah melakukan kritik dan penolakan atas kerusakan lingkungan, pemerintah tidak menggubrisnya. 

Inilah efek dari negara meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat yang menderita, sedangkan pengusaha dan penguasa yang menikmati hasil hutannya. Islam sangat menjaga alam dan keseimbangannya. 

Adapun, tata kelola perizinan pembukaan dan pemanfaatan lahan dalam sistem Islam memiliki prosedur yang memadai. Tidak ada penebangan hutan secara liar, karena para pengusaha sudah paham dan sadar akan keseimbangan alam dan makhluk hidup lainnya. Pengelolaan hutan sebesar-besarnya menjaga dan melindungi kesejahteraan masyarakat, dengan mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan. 

Islam dalam Al Qur’an telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi akibat ulah manusia. Dari sini, sebagai wujud keimanan, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan.

Maka, negara dalam sistem Islam harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan dalam pengelolaan yang benar. Negara juga siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, melalui pendapat para ahli lingkungan.

Oleh karena itu, hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisasi terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar. Khalifah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan himmah. 

_Wallahu a’lam bishshowwab_

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak