Ummu Aqeela
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Gresik, dr Mukhibatul Khusnah mengungkapkan hingga Agustus 2025 terdapat 197 kasus baru AIDS di Gresik. Sementara tahun 2025 tercatat sebanyak 298 kasus. Artinya, jumlah kasus baru HIV di Gresik menunjukkan angka penurunan, meski tetap harus diwaspadai.
”Kalau dibandingkan dengan tahun kemarin, ada penurunan kasus. Namun ini belum final dan Dinkes terus memperkuat upaya pencegahan. Melalui edukasi, dan perluasan cakupan layanan kesehatan,” ujarnya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Gresik, dr Puspitasari Wardani, kelompok LSL menjadi penyumbang terbesar HIV di Gresik. Dibandingkan penyebab lainnya dan Narkoba, pentingnya edukasi masyarakat karena banyak yang belum memahami perbedaan HIV dan AIDS. HIV adalah virus, sedangkan AIDS adalah kondisi ketika penderita mulai menunjukkan gejala berat seperti penurunan berat badan drastis atau infeksi serius.
Tingginya angka dan semakin meluasnya penularan HIV/ AIDS di tengah- tengah masyarakat menunjukan bahwa sistem kapitalis saat ini telah gagal mewujudkan kesehatan masyarakat.
Sistem kapitalisme yang dibangun diatas asas sekulerisme dan liberalism memandang HIV/ AIDS hanya sebatas masalah kesehatan. Akibatnya Penanganan HIV/AIDS hanya bersifat parsial dan tambal sulam, tidak pernah menyentuh sampai pada akar permasalahannya.
Liberalisme jugalah yang menyebabkan penyimpangan perilaku seperti pekerja seksual, bergonta-ganti pasangan seksual, homoseksual, dan penyalahgunaan NAPZA dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Pembenaran terhadap sebuah penyimpangan perilaku/kesalahan meniscayakan munculnya kerusakan. Seharusnya upaya yang dilakukan oleh negara adalah all out dalam mengupayakan pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi, sekaligus menutup celah’muncul dan terpeliharanya’ penyimpangan perilaku tadi di tengah-tengah masyarakat, sembari melakukan penanganan yang tepat kepada mereka yang sudah terlanjur terinfeksi agar tidak menularkan kepada yang lain.
Sayangnya ketegasan semacam ini adalah hal yang tidak akan mampu dilakukan oleh kebijakan berbasis paradigma sekuler liberal.
System sekuler yang memandang bahwa pengaturan kehidupan dunia harus dijauhkan dari agama atau sebaliknya, mengakibatkan standar untuk menilai apapun (termasuk perbuatan manusia) bukanlah halal haram, baik buruk, ataupun terpuji tercela sebagaimana yang diajarkan oleh agama, melainkan “kemanfaatan (yang lebih bersifat fisik/materi)” yang dijadikan ukuran sebuah perbuatan itu baik atau buruk, dilakukan atau ditinggalkan, dibolehkan atau dilarang,” Sedangkan liberalisme menjadikan kebebasan individu (termasuk di dalamnya kebebasan seksual) sebagai hal yang diagung-agungkan, dan harus dijamin oleh negara secara mutlak atas nama hak asasi manusia.
Tidak ada yang membatasi kebebasan individu ini kecuali kebebasan individu yang lain. Tugas negara adalah menjadi penjamin atas terpenuhinya semua kebebasan individu tadi. Dalam paradigma sekuler liberal, kita tidak boleh melarang seseorang untuk tidak bergonta-ganti pasangan atau membatasi orientasi seksualnya agar tidak kepada sesama jenis dengan alasan hal itu adalah perbuatan menyimpang dan akan menyebabkan ia beresiko terkena infeksi menular seksual.
Fenomena tingginya angka HIV/ AIDS ini adalah cerminan rusaknya perdaban kapitalisme sehingga perlu adanya solusi yang komprehensif. Dan solusi itu hanyalah mengembalikan agama menjadi pondasi kehidupan. Islam sebagai dien yang kamilan wa syamilan adalah satu- satunya jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tingginya angka HIV/AIDS.
System Islam sangat menjaga agar manusia senantiasa berada dalam perilaku mulia dan memuliakan. Hal yang menyimpang tidak akan mendapat ruang dalam kehidupan dan akan mendapat sanksi yang tegas atas pelanggarannya. Islam tidak memandang HIV/ AIDS sebagai masalah kesehatan belaka. Namun dipandang sebagai suatu permasalahan yang terkait dengan tata kelola dan sytem peraturan yang lain.
Sebagai bangsa yang relijius dan mayoritas muslim, sudah selayaknya menetapkan strategi penanganan HIV AIDS ini dengan merujuk pada tuntunan syariat Islam saja, bukan yang lain.
Setidaknya ada 3 langkah kebijakan yang harus dilakukan pemerintah yaitu melalui kebijakan kebijakan promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitatif. Pertama, kebijakan promotif yaitu dengan melakukan edukasi dan meng-install pemahaman hingga membentuk pola perilaku yang benar sesuai tuntunan Islam.
Bisa disampaikan melalui pendidikan formal, yaitu dengan menerapkan sistem pendidikan Islam secara utuh. Maupun melalui sistem media yang dimiliki negara dengan memperbanyak penyebaran informasi-informasi seputar edukasi pergaulan dalam Islam. Sehingga akan mewujudkan individu-individu yang bertakwa dan memahami pergaulan yang benar sesuai syariat Islam, sekaligus menjadi pencegah jatuhnya seseorang pada perilaku menyimpang dan beresiko tertular dan menularkan HIV/AIDS.
Kedua, kebijakan preventif yaitu dengan memutus mata rantai penularan. Bisa melalui sosialisasi massif tentang sistem sanksi Islam bagi setiap pelanggaran yang dilakukan oleh individu. Kebijakan ini akan memastikan perilaku menyimpang dan beresiko seperti praktik prostitusi, LGBTQ, dan lainnya dihentikan.
Tidak lagi boleh sama sekali dilakukan. Ada pemberlakuan sistem sanksi Islam yang tegas kepada setiap individu yang melanggarnya. Sehingga akan mewujudkan individu-individu yang takut untuk melakukan pelanggaran hukum-hukum syariat. Karena pemberlakuan hukum yang tegas dan adil akan membuat seseorang berpikir panjang kalau sampai melanggarnya. Bukan hanya sekedar bentuk ancaman belaka.
Ketiga, kebijakan kuratif/rehabilitatif yaitu upaya perawatan dan merehabilitasi bagi ODHA berdasarkan sebab penularannya.
Bagi ODHA yang tertular dan sakit bukan dikarenakan melakukan penyimpangan perilaku, seperti tertular saat tranfusi darah, tertular dari suami, dan lainnya, berhak untuk mendapatkan layanan perawatan dan pengobatan terbaik, mendapatkan edukasi dan pendampingan bagaimana tetap bersemangat menjalani hidup dengan HIV secara lebih berkualitas, bebas dari stigmatisasi ODHA, tetap menebar manfaat dalam kehidupan yang dijalani, sembari melakukan strategi teknis sesuai perkembangan sainstek terkini yang dibutuhkan untuk mencegah penularan kepada orang lain.
Sedangkan bagi ODHA yang tertular dan sakit karena melakukan kemaksiatan penyimpangan perilaku, mereka akan dinasehati untuk bertobat nasuha agar berhenti dari melakukan perilaku beresikonya juga memberikan hak mereka untuk membersihkan diri dengan dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan. Yaitu hukuman rajam bagi para pezina yang sudah pernah menikah.
Hukum cambuk 100 kali dan diasingkan 1 tahun bagi yang belum menikah. Juga penerapan hukuman mati para pelaku gay/homoseksual, termasuk hukuman lain yang menjerakan bagi semua pihak yang terlibat dalam terjadinya penyalahgunaan narkoba.
Demikianlah penjagaan dan perlindungan Islam terhadap umat, agar umat terhidar dari pergaulan bebas dan penyimpangan yang dapat mengakibatkan HIV/AiDS mewabah.
WaAllahu’alam bish-showab.
