Generasi Muda Takut Menikah : Luka Ekonomi Kapitalisme


Oleh : Ummu Aimar


Akhir Oktober 2025 lalu media sosial Threads diramaikan dengan pembahasan terkait anak-anak zaman sekarang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. Unggahannya itu viral hingga disukai lebih dari 12.500 kali dan ditayangkan ulang oleh lebih dari 207.000 pengguna lainnya. Dalam kata lain mereka yang menyukai unggahan tersebut setuju dengan pendapat si pemilik akun.

Situasi dunia memang selalu dinamis, membentuk pola pikir dan tindakan setiap generasi manusia berbeda-beda. Di Indonesia yang sudah berusia 80 tahun dan sudah delapan kali berganti presiden, jumlah penduduk miskin negeri ini menurut Bank Dunia per 2024 masih 194,4 juta jiwa atau 68,2 persen dari total populasi. 
(https://share.google/GTVo5WQh8KnmrKZ2Z)

Fakta yang harus menjadi perhatian, adanya fenomena ketakutan anak muda terhadap pernikahan kini bukan sekadar cerita di media sosial, tetapi sebuah fenomena  yang semakin nyata. Banyak pemuda dan pemudi menunda menikah bukan karena mereka tidak ingin hidup berpasangan, tetapi karena mereka merasa hidup terlalu berat karna biaya tuntutan kehidupan yang akan mendatang ketika sudah menikah.

Dimulai dari biaya hunian yang melonjak, harga kebutuhan pokok yang merangkak naik, pekerjaan yang semakin sulit diperoleh, biaya pendidikan dan kesehatan juga gaya hidup serba mahal yang terus didorong oleh arus kapitalisme. 

Akhirnya banyak Narasi yang merusak bahwa “marriage is scary” ini menjadi tren anak muda yang takut menikah sangat kuat karena tanpak nyata dengan pengalaman hidup sehari-hari. Mereka merasa realitas hidup tidak stabil, sehingga menikah tampak seperti menambah beban, bukan menambah kekuatan. Kesadaran tentang pentingnya kestabilan ekonomi semakin menguat, membuat pernikahan ditunda hingga waktu yang tidak pasti.

Kapitalisme membentuk pola pikir bahwa hidup harus selalu berkompetisi, bergerak cepat, dan berusaha keras demi bertahan. Di dalam sistem ini, setiap orang dipaksa berjuang sendirian. Akhirnya pemerintah tidak berfungsi sebagai pelindung, tetapi sekadar pengawas yang membiarkan pasar menguasai hidup rakyat. 
Harga pangan, listrik, air, hingga transportasi dibiarkan bergerak sesuai logika pasar. Tak heran, biaya hidup terus melahirkan ketakutan struktural.

Di sisi lain, kapitalisme juga menanamkan gaya hidup materialistik melalui kurikulum pendidikan sekuler dan media liberal. Anak muda dibentuk untuk mengejar standar hidup yang tinggi: rumah estetik, pesta pernikahan mewah, karier gemerlap, dan gaya hidup konsumtif. Dengan standar seperti itu, wajar jika mereka merasa tidak siap menikah. Sebab mereka menganggap “siap menikah” berarti harus memiliki semua itu terlebih dahulu.

Padahal dalam Islam, pernikahan adalah ibadah dan jalan penyempurna agama. Tetapi makna ini tertutup oleh narasi dunia kapitalis yang menjadikan kebahagiaan sebagai produk, dan cinta sebagai beban finansial.

Dalam Islam, negara memiliki peran besar dalam mengatur kesejahteraan masyarakat. Negara bertugas menjadi raa’in—pengurus rakyat—yang wajib memastikan seluruh kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Rasulullah ﷺ bersabda :
“Imam adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”

Ketika negara lepas tangan, keluarga pun kehilangan penyangga utamanya. Anak muda melihat bahwa mereka harus menghidupi diri sendiri secara penuh bahkan sebelum menikah. Maka pernikahan pun dipersepsikan sebagai penambahan beban yang tidak mampu mereka pikul.

Jika ditimbang dengan kacamata iman, pernikahan adalah penjaga kehormatan, penyempurna agama, dan pintu ketenangan. Tapi ketenangan itu hilang di tengah kehidupan hedonistik yang menuntut semua aspek pernikahan terlihat sempurna di mata manusia, bukan di mata Allah. Generasi muda tidak lagi mendengar nasihat agama di sekolah, di media, atau di lingkungan masyarakat. Mereka dibesarkan oleh konten, bukan aqidah.

Islam tidak hanya memberi anjuran untuk menikah—Islam menyediakan sistem yang membuat pernikahan terasa mungkin, ringan, dan penuh berkah.

Pertama, Negara menjamin kebutuhan dasar rakyat
Dalam sistem ekonomi Islam, negara memastikan kebutuhan pokok seperti pangan, pendidikan, kesehatan, dan perumahan dapat diakses semua rakyat. Sumber daya alam tidak boleh diprivatisasi; ia dikelola negara sehingga hasilnya kembali kepada rakyat. Harga listrik, air, dan energi dapat ditekan. Ketika hidup tidak mahal, pernikahan pun tidak lagi menakutkan.

Kedua, Lapangan Kerja yang Layak. Islam mewajibkan negara membuka lapangan pekerjaan tanpa bergantung pada investor asing. Setiap individu diberi kesempatan bekerja dengan hasil yang layak. Dengan pekerjaan yang manusiawi, generasi muda tidak lagi dihantui masa depan kabur.

Ketiga, Pendidikan yang berbasis islam karna di dalam islam pendidikan Islam membentuk karakter generasi yang tidak terjebak hedonisme. Mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup bukan ajang pamer, tetapi ladang amal. Pernikahan dipandang sebagai ibadah, bukan beban. Mereka siap hidup sederhana namun penuh berkah.

Keempat, Penguatan Institusi Keluarga Islam memuliakan keluarga sebagai institusi penting bagi keberlangsungan umat. Negara dan masyarakat saling mendukung pernikahan, bukan mempersulitnya. Biaya pernikahan sederhana didorong, bukan dipermalukan. Pasangan muda diberi bimbingan, bukan tekanan.

Jadi, pernikahan tidak lagi menjadi hal yang menakutkan, bahkan menjadi harapan dan impian anak muda. Pernikahan bukan lagi gerbang ke kesulitan. 
Ketakutan generasi muda bukanlah kesalahan mereka. Mereka tumbuh dalam sistem yang menekan, mahal, dan mendorong gaya hidup yang tidak realistis. Mereka bukan lemah—mereka adalah korban dari sistem yang salah. 

Islam pernah menghadirkan masyarakat di mana pemuda menikah muda tanpa takut, karena negara menjamin kehidupan mereka dengan memberikan kesejahteraan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak