Di Balik Normalisasi dengan Israel: Melanggengkan Penjajahan terhadap Gaza



Oleh Pastri Sokma Sari



Dikabarkan dalam surat kabar digital (www.tvonenews.com, 9/11/2025) bahwa hubungan Turki–Israel kembali memanas setelah Ankara mengeluarkan surat penangkapan terhadap PM Benjamin Netanyahu dan 37 pejabat Israel atas dugaan genosida dan kejahatan kemanusiaan di Gaza. Israel menolak tuduhan itu, menyebut langkah Turki sebagai propaganda politik dan menegaskan bahwa Ankara tidak seharusnya terlibat dalam urusan Gaza. Sebaliknya, Hamas menyambut keputusan tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina. Turki sendiri telah lama mengkritik operasi militer Israel, termasuk bergabung dalam gugatan di ICJ dan menyoroti pengeboman RS Persahabatan Turki-Palestina sebagai alasan tindakan hukum ini. Pengumuman tersebut muncul di tengah gencatan senjata rapuh sejak 10 Oktober dan memperuncing ketegangan diplomatik kedua negara.
Hal tersebut berakibat pada ditolaknya pasukan perdamaian Turki oleh Zionis Israel pada proses perdamaian di Jalur Gaza sebagaimana dilansir oleh (www.cnnindonesia.com, 6/11/2025). 

Dikabarkan bahwa Menlu RI Sugiono menanggapi penolakan Israel terhadap rencana pengerahan pasukan perdamaian Turki di Gaza dengan menegaskan bahwa Indonesia tetap berupaya memberi kontribusi pada proses perdamaian, selama ada mandat jelas dari PBB. Ia menekankan pentingnya mencapai gencatan senjata yang nyata serta memastikan bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi berjalan lancar, sebagaimana ia sampaikan dalam pertemuan di Istanbul pekan lalu. Israel sebelumnya menolak pasukan Turki dan Qatar dengan alasan hubungan kedua negara tersebut dengan Hamas, meski keduanya berperan dalam gencatan senjata 10 Oktober. Indonesia sendiri kembali menyatakan kesiapan mengirim pasukan perdamaian ke Gaza jika diminta dan disetujui PBB.
Di sisi lain, kabar normalisasi hubungan dengan Israel datang dari beberapa negara, yang terbaru adalah Kazakhstan yang bergabung dalam Abraham Accords sebagaimana dilansir oleh (www.antaranews.com, 8/11/2025). 

Pemerintah Kazakhstan sebelumnya mengonfirmasi rencana tersebut sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya, sementara Presiden AS Donald Trump resmi mengumumkan keikutsertaan Kazakhstan dalam inisiatif normalisasi yang sejak 2020 telah melibatkan UEA, Bahrain, dan Maroko. Kazakhstan dan Israel sendiri telah menjalin hubungan diplomatik sejak 1992, dan Washington berharap agar lebih banyak negara Arab mengikuti langkah normalisasi pada masa jabatan kedua Trump. Pihak Hamas merespon dengan mengecam langkah atau keputusan yang diambil Kazakhstan dengan bergabung dalam Abraham Accords dan menormalisasi hubungan dengan Israel, dengan menyebut langkah itu sebagai tindakan memalukan yang dianggap melegitimasi agresi Israel yang menewaskan lebih dari 68.800 warga Palestina sejak 7 Oktober 2023. 

Perlu untuk disadari bersama bahwa normalisasi hubungan dengan Israel merupakan perangkap AS dan sekutunya untuk melegalkan penjajahan Zionis atas Palestina. Bahkan, lebih miris pada titik ini penguasa negeri-negeri Muslim justru menunjukkan pengkhianatan yang nyata terhadap Gaza, termasuk Turki yang hanya mengecam. Krisis berkepanjangan di Gaza kembali menunjukkan betapa dunia sangat pasif dan PBB tidak efektif menghentikan genosida yang dilakukan oleh Zionis terhadap Palestina. Negara-negara Barat seperti AS dan Uni Eropa dinilai tetap berpihak pada Israel, sementara para pemimpin negara Muslim dianggap tidak menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan penderitaan warga Gaza. Mereka dipandang lebih banyak memberi keuntungan ekonomi kepada AS dibandingkan memberikan bantuan nyata bagi Gaza, lalu menutupi kelemahan sikap mereka dengan pernyataan-pernyataan politis alias retorika kosong saja. 

Sejak keruntuhan Khilafah pada 1924 dan lahirnya sistem negara-bangsa, umat Islam tercerai menjadi lebih dari 50 negara dengan batas buatan kolonial seperti Sykes-Picot, sehingga persoalan Palestina, Suriah, Rohingya, Kashmir, dan Uyghur kerap dianggap urusan internal masing-masing negara. Nasionalisme yang menempatkan loyalitas pada negara di atas ikatan akidah dinilai membuat sebagian pemimpin Muslim kehilangan tanggung jawab terhadap sesama. Dalam pandangan para pengkritik, banyak negara Arab dan Muslim justru menutup perbatasan bagi warga Gaza, tetap membuka kerja sama ekonomi dengan Israel, serta tidak menggerakkan kekuatan militer mereka untuk membantu Palestina. Sikap pasif ini dianggap sebagai bentuk kepatuhan pada kepentingan Barat, sehingga selama kebijakan mengenai Palestina masih berada dalam kerangka nasionalisme dan pengaruh kekuatan Barat, penjajahan atas Palestina dipandang akan terus berlanjut.

Pada titik inilah umat Islam harus sadar bahwa satu-satunya solusi tuntas atas persoalan Gaza adalah kembali kepada syariat Islam yaitu jihad dan khilafah. Khilafah sebagai junnah akan mencabut penjajahan hingga akar-akarnya dari bumi Palestina. Konflik Gaza maupun penderitaan Muslim di berbagai wilayah seperti Rohingya, Uyghur, Sudan, dan lainnya, tidak akan terselesaikan tanpa hadirnya satu otoritas politik yang menyatukan umat. Khilafah sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam yang mampu menghapus batas nasional, memulihkan solidaritas umat, serta memobilisasi kekuatan politik dan diplomatik dunia Muslim untuk melindungi Palestina. Khilafah dapat menghentikan dominasi negara-negara Barat, menutup akses strategis bagi pihak Zionis dan sekutunya, serta menghadirkan koordinasi yang lebih kuat di antara negara-negara Muslim. Umat harus menyadari pentingnya perjuangan mengembalikan kehidupan Islam mengikuti metode dakwah Rasulullah saw..

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak