Krisdianti Nurayu Wulandari
Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatera menunjukkan bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ribuan warga terdampak ratusan menjadi korban serta pemukiman dan fasilitas publik rusak parah. Meskipun hujan ekstrim menjadi faktor pemicu namun rusaknya keseimbangan alam akibat eksploitasi besar-besaran telah membuat daya tampung lingkungan menurun drastis.
Kerusakan ini bukan sekedar musibah alam, melainkan dibaliknya telah terjadi kejahatan ekologis yang berlangsung lama dan dilegalkan melalui kebijakan rezim dalam sistem kapitalisme-sekuler. Seperti halnya, obral izin tambang, ekspansi sawit, serta perubahan fungsi hutan tanpa memperhitungkan keberlanjutannya. Hingga akhirnya Indonesia kehilangan 10,5 juta hektare hutan.
Inilah wajah asli para rezim kapitalis. Sistem ini membuat penguasa dan pemodal saling bekerjasama menjarah sumber daya alam tanpa tanggung-tanggung. Tak lagi berpikir akibat apa yang akan terjadi setelahnya. Demi memuaskan kepentingan pribadi, lagi-lagi rakyat akan menjadi korbannya.
Seperti perkataan Ghassan Kanafani, penulis dan oeenjuang kemerdekaan Palestina, "Mereka mencuri rotimu, lalu mereka menuntut mu untuk berterimakasih atas kemurahan hati mereka, lalu memberimu remah-remahnya. Begitu kurang ajar mereka!"
Dalam QS. Ar Rum: 41, Allah telah memperingatkan manusia tentang kerusakan yang timbul akibat ulah tangan manusia sendiri: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia."
Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya kerusakan lingkungan bukan sekedar kesalahan teknis, melainkan pelanggaran terhadap amanah Allah yang menjadikan manusia bertugas sebagai Khalifah fil ardh (Khalifah di bumi) untuk menjaga ciptaan-Nya.
Jadi, sebenarnya bumi itu adalah rumah bersama, bukan cuma milik manusia melainkan milik semua makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Ad hewan dan tumbuhan yang hidup berdampingan dengan manusia. Dan semuanya punya perangnya masing-masing dalam menjaga keseimbangan. Maka, sebagai manusia yang diberikan gelar Khalifah fil ardh harus benar-benar bisa melaksanakan amanah tersebut untuk menjaga bumi-nya Allah.
Oleh karena itu, tidak boleh tidak, kita harus kembali berhukum dengan hukumnya Allah. Menjaga bumi dengan syari'at yang telah ditetapkannya. Jangan sampai rakus terhadap hal-hal yang sejatinya bukan milik kita sendiri. Eksploitasi hutan, penebangan hutan, polusi air dan udara, dll sungguh merupakan tindakan keji yang merugikan banyak makhluk hidup.
Solusi hakiki hanya dapat diwujudkan jika umat kembali pada sistem Islam yang menjadikan syariat sebagai pedoman dalam mengelola alam. Dalam sistem khilafah negara mengatur tata ruang sesuai fungsi alaminya menjaga kawasan hutan sebagai wilayah lindung serta memastikan setiap kebijakan bebas dari kepentingan korporasi yang merusak.
Khalifah akan bertanggung jawab penuh menjaga keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan sebagaimana perintah Allah, " _... Makan dan minumlah dari rezeki Allah dan janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan membuat kerusakan._ " (QS. Al Baqarah: 60)
Dengan penerapan syariat secara menyeluruh, negara akan mengalokasikan anggaran untuk pencegahan bencana, konservasi, dan pemulihan ekologis, bukan sekadar reaktif setelah korban berjatuhan. Semua kebijakan diarahkan pada kemaslahatan umat dan perlindungan alam dari bahaya.
Karena itu, bencana Sumatra adalah alarm keras bahwa sistem kapitalisme telah gagal. Selama dunia tetap mengadopsi sistem yang memisahkan aturan Allah dari kehidupan, alam akan semakin rusak dan bencana akan terus berulang.
Sudah saatnya kita kembali kepada sistem hidup yang benar — Sistem Islam yang menjadikan manusia penjaga bumi, bukan perusaknya.
Hanya dengan hukum Allah, keselamatan lingkungan dan kesejahteraan manusia dapat benar-benar terjamin. _Wallaahu A'lam_
Tags
opini
