Oleh. Fatimah Az Zahro
Banjir bandang yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah mengakibatkan 3,3 juta warga terdampak. Lebih dari 700 warga meninggal dunia.
Puluhan ribu bangunan seperti sekolah, jembatan, dan rumah-rumah penduduk luluh lantak. Banjir bandang pun merusak keanekaragaman hayati setempat, termasuk flora dan fauna, mati dan hancur (theconversation.com/3/12/2025).
Bencana banjir bandang dan longsor yang menerjang Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan sejumlah wilayah lain kembali memperlihatkan betapa rapuhnya kondisi ekologis negeri ini. Curah hujan yang mencapai puncaknya memang menjadi salah satu pemicu, tetapi kerusakan yang terjadi jauh lebih parah karena kemampuan wilayah dalam menahan air telah menurun drastis. Hilangnya hutan, rusaknya daerah resapan, serta berubahnya bentang alam akibat pembukaan lahan besar-besaran membuat banjir dan longsor menjadi tragedi berulang setiap tahun. Fenomena ini membuktikan bahwa bencana yang terjadi bukan semata faktor alam atau ujian biasa, melainkan dampak nyata dari kejahatan lingkungan yang berlangsung lama dan dilegalkan oleh berbagai kebijakan negara, mulai dari pemberian hak konsesi lahan, obral izin perkebunan sawit, izin tambang terbuka, hingga kebijakan struktural seperti UU Minerba dan UU Ciptaker yang semakin mengukuhkan dominasi korporasi atas hutan dan tanah rakyat.
Sikap penguasa yang demikian mudah dipahami karena negara berjalan dalam sistem sekuler-demokrasi kapitalisme, sebuah sistem yang memungkinkan penguasa dan pengusaha saling menguatkan demi keuntungan. Dalam pola hubungan seperti ini, hutan dan lingkungan dianggap komoditas yang dapat dieksploitasi seluas mungkin atas nama pembangunan. Sementara itu, rakyat hanya menjadi penonton yang menanggung akibatnya ketika alam kehilangan daya dukungnya. Pembukaan hutan besar-besaran di Sumatra selama puluhan tahun terakhir telah memusnahkan fungsi ekologisnya, membuat tanah rentan longsor, sungai kehilangan penyangga, dan banjir bandang menjadi ancaman yang tak bisa dicegah. Ironisnya, ketika bencana melanda, negara justru cenderung menyalahkan faktor alam atau perilaku masyarakat, padahal akar persoalan terletak pada tata kelola lingkungan yang kapitalistik dan abai terhadap keseimbangan ekosistem. Di satu sisi, pengusaha menikmati keuntungan dari hasil hutan yang dikuasai; di sisi lain, masyarakat dipaksa memikul penderitaan akibat kerusakan lingkungan yang tidak pernah mereka kehendaki.
Padahal, Islam sejak awal telah mengingatkan manusia agar tidak merusak bumi setelah Allah memperbaikinya. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa kerusakan di darat dan di laut tampak akibat ulah tangan manusia, sebagai peringatan agar manusia kembali kepada jalan yang benar. Islam menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi, yaitu pemakmur dan penjaga lingkungan, bukan perusak. Para ulama pun menegaskan pentingnya menjaga kelestarian alam sebagai kewajiban agama, karena kerusakan lingkungan berdampak pada manusia dan seluruh makhluk. Prinsip menjaga bumi (hifz al-bi’ah) merupakan bagian integral dari ajaran Islam, yang mengatur bagaimana alam harus dikelola dengan adil dan penuh tanggung jawab.
Dalam sistem Islam, negara tidak boleh tunduk kepada kepentingan korporasi atau individu yang ingin mengeksploitasi alam secara destruktif. Negara memiliki mandat untuk mengurus seluruh urusan rakyat berdasarkan hukum Allah, termasuk dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menetapkan kebijakan tata ruang yang benar. Negara berkewajiban menata hutan sesuai fungsi ekologisnya, melindungi daerah aliran sungai, mencegah penebangan besar-besaran, dan memastikan bahwa setiap pemanfaatan sumber daya alam tidak menimbulkan kerusakan. Negara juga harus mengeluarkan anggaran untuk upaya mitigasi, pencegahan banjir dan longsor, serta pembangunan sarana yang memperkuat kapasitas lingkungan berdasarkan pendapat ahli. Khalifah sebagai pemimpin akan merancang rencana tata ruang menyeluruh, memetakan wilayah sesuai fungsi alamiah, menentukan kawasan permukiman, industri, dan tambang secara teratur, serta menetapkan kawasan lindung yang tidak boleh dieksploitasi. Semua kebijakan diarahkan untuk menghindarkan umat dari dharar dan memastikan lingkungan tetap lestari bagi generasi mendatang.
Karena itu, bencana yang terus berulang di Sumatra menjadi pengingat bahwa selama negara tetap berada dalam sistem kapitalisme yang merusak, kerusakan lingkungan tidak akan pernah berakhir. Rakyat akan terus menjadi korban, sementara para pemilik modal terus mengeruk keuntungan. Islam tidak hanya memberi peringatan, tetapi juga menawarkan solusi sistemik yang mampu menghentikan lingkaran kerusakan ini. Hanya dengan kembali kepada hukum Allah dalam pengelolaan alam, negara dapat menjaga keselamatan rakyat, memulihkan keseimbangan ekosistem, dan mencegah bencana dari akarnya. Sebab tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah bagi mereka yang beriman dan meyakini kebenaran-Nya.
Tags
opini
