Banjir Sumatra : Saatnya Muhasabah dan Berbenah


Oleh : Ummu Zeyn



Indonesia kembali berduka. Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga Provinsi di Pulau Sumatra, yakni Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh di penghujung November 2025 telah menyebabkan kehancuran yang luar biasa. 

Hujan deras yang terus-menerus mengguyur daerah tersebut selama beberapa hari menyebabkan sungai-sungai meluap dan lereng perbukitan runtuh. Akibatnya ratusan desa terendam banjir dan infrastruktur vital terputus. 

Hingga Rabu, 3 Desember 2025 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan korban meninggal akibat bencana banjir dan tanah longsor tersebut, mencapai 743 jiwa.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut peristiwa itu dipicu oleh Siklon Senyar, sebuah fenomena alam langka yang menyebabkan hujan ekstrem di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Menurut Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM menyatakan bencana banjir bandang di akhir November 2025 sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri. 

Bahkan para ahli menilai fenomena ini merupakan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir. Kombinasi faktor alam dan ulah manusia berperan di baliknya.

Pegiat lingkungan juga meyakini fenomena alam tersebut bukan satu-satunya penyebab banjir ekstrem.

Walhi menilai bencana ini tak lepas dari masifnya aktivitas industri ekstraktif, mulai dari tambang, perkebunan, dan energi di berbagai lokasi di Sumatra.

Sangkaan itu ternyata kian menguat ketika hamparan kayu gelondongan hanyut terseret bersama kuatnya laju banjir dan terjebak di tengah permukiman warga, sungai, danau, hingga bermuara ke pantai.

Bencana ekologis yang melanda Sumatra hari ini adalah manifestasi atas dosa yang lebih besar, sehingga bukan sekadar peristiwa hidrometeorologis belaka. 

Hal ini terjadi karena sistem kapitalisme saat ini telah memperlakukan alam sebagai objek yang menguntungkan tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem dan ketidakadilan terhadap sesama manusia dan generasi mendatang.

Sebagai seorang muslim, bencana tidak hanya kita maknai sekadar sebagai peristiwa alam, tetapi sebagai cermin dari cara kita memperlakukan bumi, mengelola ruang hidup, dan merawat amanah Allah atas lingkungan.

Dalam perspektif Islam, adakalanya bencana yang terjadi adalah bentuk teguran Allah SWT agar manusia kembali menyadari batas-batasnya. Allah  telah mengingatkan manusia dalam Al-Qur’an bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi “karena ulah tangan manusia”, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.

Maka jelaslah bahwa banjir bandang di Sumatera bukan semata-mata takdir Allah yang datang begitu saja, tetapi juga teguran atas kelalaian manusia dalam merawat alam yang Allah amanahkan.

Tugas kita bukan hanya bersabar menerima takdir, tetapi juga bermuhasabah, memperbaiki kesalahan, dan mencegah perusakan alam agar bencana serupa tidak terulang. Saat nya kita kembali menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam tata cara kita menjaga dan mengelola alam agar tidak terjadi kerusakan.

Wallahu a'lam BI Ash-shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak