Bahaya Bullying Tidak Main-Main



Oleh : Umi Zadit Zareen
(Pemerhati Remaja)



Kasus perundungan (bullying) di kalangan anak dan remaja di Indonesia menunjukkan tren yang terus-menerus meningkat. Data terbaru Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 2.057 pengaduan kasus pelanggaran hak anak; termasuk kekerasan fisik, psikis dan cyberbullying. Bahkan KPAI juga menemukan 25 kasus bunuh diri anak selama 2025 yang sebagian terkait depresi berat akibat perundungan.

Di sektor pendidikan, tren perundungan tidak kalah memprihatinkan. Pada periode Januari–November 2024, terdapat 1.801 pengaduan terkait pemenuhan hak anak; termasuk 31 kasus perundungan di satuan pendidikan. Riset lainnya menunjukkan bahwa 26% siswa SD, 25% siswa SMP dan 18,75% siswa SMA pernah mengalami perundungan. Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa 50% kasus bullying yang dilaporkan terjadi di jenjang SMP, disusul SD dan SMA. Asesmen Nasional Kemendikbudristek bahkan mencatat bahwa 24,4% siswa Indonesia berpotensi mengalami bullying di sekolah. 

Jenis perundungan juga mengalami perubahan. Menurut analisis data JPPI dan KPAI, bullying fisik mendominasi 55,5% kasus, diikuti bullying verbal 29,3%, sementara cyberbullying meningkat lebih dari 100% dalam triwulan pertama 2024. KPAI menegaskan bahwa normalisasi kekerasan di sekolah adalah ancaman serius dan harus dihentikan.

Kasus-kasus viral dalam satu tahun terakhir memperlihatkan kondisi nyata di lapangan. Dalam pemberitaan yang beredar, kasus ledakan di SMA N 72 Jakarta adalah dugaan bullying juga muncul dalamnya yang melibatkan siswa korban perundungan. ada juga siswa SMPN 8 Depok yang menjadi korban bullying. Bahkan siswa SMP di Blora yang dikeroyok puluhan temannya, serta siswa SMPN di Tangerang Selatan yang di-bully hingga perlunya perawatan medis. 

Ada beberapa hal yang perlu diketahui dengan serius oleh orang tua tentang bullying ini. bullying bisa terjadi di mana saja; lingkungan rumah, termasuk lingkungan bermain, sekolah, pondok pesantren, dan dunia maya. Faktanya, tidak ada lingkungan yang aman dari bullying, sekalipun itu di pondok pesantren.

Anak yang menjadi korban bullying lewat kata-kata secara terus-menerus bagaikan tebing yang dikikis air ombak, lama-lama ambruk.

Mental manusia, apalagi anak-anak, punya daya tahan tertentu, terutama apabila orang di sekitarnya (seperti orang tua atau guru) tidak cukup membantu. Dalam kondisi puncak, sedikit saja kata-kata atau sikap yang menyayat perasaannya akan membuat ia ambruk. 

Berikutnya bullying itu terbilang sulit dideteksi oleh orang dewasa atau sekolah karena biasanya mereka melakukannya secara tersembunyi dan halus. Mereka tahu kapan bisa leluasa merundung korban dan kapan menutup rapat-rapat perbuatan mereka.

Selain itu, para pelaku bullying biasanya akan denial (menyangkal) perbuatan mereka disebut bullying. Mereka biasanya akan berdalih kalau ucapan mereka bukan hinaan, hanya main-main atau teguran; sebetulnya tepatnya adalah sindiran, lalu bisa balik menyalahkan korban yang dianggap baperan.

Penting bagi orang tua membedakan antara konflik insidental dan bullying yang berjalan sistematis. Oleh karenanya, orang tua dan guru perlu menelusuri perilaku anak-anak di sekolah, wajar atau tidak.

Padahal Islam telah menjamin terlindungnya masyarakat ataupun anak dari segala bentuk kezaliman ataupun keterlibatannya mereka, karena peran negara lah untuk mewujudkan anak-anak tangguh berkepribadian Islam sehingga senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, termasuk perundungan. Terwujudnya lingkungan kondusif di tengah masyarakat menjadi hal penting bagi keberlangsungan kehidupan anak. 

Upaya pencegahan dan solusi perundungan hanya akan terwujud dengan tiga pilar yaitu.
Pertama ketakwaan individu dan keluarga. Karena selalu merasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan hingga muncul ketakwaannya. 

Kedua, kontrol masyarakat. Upaya untuk tidak menormalisasikan perbuatan perundungan maka budaya beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat sangat dibutuhkan, sehingga semua tindakan kriminalitas apa pun dapat diminimalkan.

Ketiga, peran negara. Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang secara sempurna dapat melindungi anak dan mampu mengatasi persoalan perundungan. Caranya dengan menegakkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara juga wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum yang mampu menghasilkan anak didik yang berkepribadian Islam yang andal sehingga terhindar dari berbagai perilaku kasar, zalim, dan maksiat lainnya. Negara pun harus menjamin terpenuhi pendidikan yang memadai bagi rakyatnya secara berkualitas dan cuma-cuma.

Selain itu, negara akan menjaga agama dan moral, serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusak dan melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim, seperti peredaran minuman keras, narkoba, termasuk berbagai tayangan yang merusak di televisi atau media sosial.

Kegagalan membentuk generasi berkepribadian mulia terlihat dari kasus perundungan terus terjadi, bahkan pelakunya adalah anak-anak dan tindakannya pun makin brutal. Sudah seyogianya negara ini dan masyarakat untuk belajar, berulangnya kasus serupa membuktikan bahwa sistem yang saat ini diterapkan (kapitalisme sekularisme) jelas akan kegagalannya.

Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah perundungan ini adalah dengan menerapkan aturan Islam karena mengharuskan semua pihak yang bertanggung jawab terhadap anak—keluarga, masyarakat, dan negara—untuk bekerja bersama, termasuk dengan menjatuhkan sanksi.

Semua dilakukan dengan perubahan secara mendasar pada hal yang menjadi penyebabnya. Jika tidak, boleh jadi akan muncul terus kasus-kasus serupa dengan motif yang berbeda-beda.

Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak