Sudan Membara: Krisis Kemanusiaan, Kepentingan Asing, dan Keniscayaan Persatuan Umat





Oleh: tsuroyya


Kondisi kemanusiaan di El-Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara, semakin mengkhawatirkan. Dalam empat hari terakhir, antara 26 hingga 29 Oktober, lebih dari 62.000 warga terpaksa mengungsi akibat perebutan kota oleh Rapid Support Forces (RSF). Pada 29 Oktober saja tercatat sekitar 26.080 pengungsi.(Mina.news, 14 November 2025) 
Sebanyak 1.500 warga Sudan meninggal dalam waktu tiga hari menyusul penguasaan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di el-Fasher. Angka ini menandai eskalasi mengerikan perang saudara di Sudan. (Republika, 29 Oktober 2020)  
Laporan International Organization for Migration (IOM) menggambarkan realitas yang menakutkan: pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kehancuran terus terjadi, meninggalkan warga sipil dalam ketakutan dan kehilangan segalanya. 


Krisis Sudan bukan fenomena baru. Negara terbesar ketiga di Afrika ini, mayoritas Muslim, kaya akan sumber daya alam, termasuk emas, minyak, gas, dan tanah pertanian subur. Sungai Nil yang membentang panjang melewati Sudan seharusnya menjadi anugerah, tetapi kekayaan ini justru menjadikannya sasaran perebutan kepentingan asing. Sudan menjadi “the forgotten war” bagi dunia Barat, yang lebih fokus pada Ukraina atau Gaza, meski konflik di Sudan telah menimbulkan krisis kemanusiaan besar sejak perang saudara antara SAF dan RSF dua tahun lalu, menjerumuskan jutaan orang ke pengungsian dan kelaparan akut.

Secara geostrategis, posisi Sudan sangat vital. Terletak di timur laut Afrika, berbatasan dengan Mesir, Laut Merah, Eritrea, Etiopia, Chad, Libya, dan Sudan Selatan, Sudan menjadi jantung strategis Afrika dan Timur Tengah. Sungai Nil dan Laut Merah memberi nilai strategis tinggi bagi perdagangan dan transportasi global. Tak heran, konflik Sudan menimbulkan gelombang regional: ketidakstabilan di Sudan dapat memengaruhi Chad, Somalia, Etiopia, Tanduk Afrika, dan bahkan kawasan Laut Merah yang vital bagi perdagangan internasional.

Konflik internal Sudan tidak lepas dari dinamika “paramilitary industrial complex.” RSF tumbuh sebagai perusahaan militer transnasional yang menggabungkan kekuatan senjata dengan bisnis kapitalis, termasuk tambang emas dan perdagangan strategis. SAF juga memiliki jaringan ekonomi militer yang luas, menjadikan kekuatan politik Sudan sangat rapuh dan dipengaruhi kepentingan asing. Rusia, UEA, Arab Saudi, dan Zionis masing-masing menggunakan Sudan untuk mengamankan kepentingan mereka, mulai dari akses ke sumber daya emas, jalur maritim strategis, hingga kepentingan geopolitik global. Bahkan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) menambah kompleksitas konflik, menunjukkan bagaimana air dan sumber daya alam menjadi alat politik dan kontrol hegemoni.

Dalam perspektif ideologis, kondisi ini mengingatkan umat Islam bahwa hanya sistem Islam yang mampu menghadirkan keadilan sejati. Kepemimpinan yang sahih, berbasis wahyu, bukan keserakahan atau kedangkalan moral, adalah kunci untuk melindungi negeri-negeri Muslim dari eksploitasi asing. Persatuan umat Islam di bawah naungan Khilafah bukan sekadar idealisme, tetapi keniscayaan strategis untuk menangkis hegemoni Barat dan negara kafir yang memecah-belah, menjarah sumber daya, dan menimbulkan penderitaan.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

**يُوشِكُ الأممُ أن تداعَى عليكم كما تداعَى الأكَلةُ إلى قصعتِها . فقال قائلٌ : ومن قلَّةٍ نحن يومئذٍ ؟ قال : بل أنتم يومئذٍ كثيرٌ ، ولكنَّكم غُثاءٌ كغُثاءِ السَّيلِ ، ولينزِعنَّ اللهُ من صدورِ عدوِّكم المهابةَ منكم ، وليقذِفَنَّ اللهُ في قلوبِكم الوهْنَ . فقال قائلٌ : يا رسولَ اللهِ ! وما الوهْنُ ؟ قال : حُبُّ الدُّنيا وكراهيةُ الموتِ**

*“Bangsa-bangsa di dunia akan memperebutkan kalian (umat Islam), seperti memperebutkan makanan di mangkuk. Seorang lelaki bertanya: Apakah kami sedikit jumlahnya pada waktu itu? Nabi ﷺ menjawab: Bahkan kalian pada waktu itu banyak, tapi seperti buih di genangan air. Allah mencabut rasa takut musuh dari kalian dan menanamkan al-wahn dalam hati kalian. Lelaki itu bertanya: Wahai Rasulullah, apa itu al-wahn? Beliau ﷺ menjawab: Cinta dunia dan takut mati.”*
(HR. Abu Dawud)

Kesadaran akan realitas ini harus menjadi motivasi untuk membangun persatuan dan kekuatan nyata, yang hanya bisa diwujudkan melalui sistem Khilafah: keadilan, kesejahteraan, dan kerahmatan bagi seluruh umat manusia. Sudan adalah pelajaran berharga: kekayaan alam dan posisi strategis tidak menjamin keselamatan rakyat. Hanya persatuan ideologis dan kepemimpinan yang sahih yang mampu membebaskan umat dari malapetaka, dan menjadikan negeri-negeri Muslim bukan lagi objek perebutan, tetapi kekuatan yang mandiri dan dihormati dunia.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak