Oleh Pastri Sokma Sari
Kekerasan dalam rumah tangga kian marak terjadi, mencerminkan rapuhnya ketahanan keluarga. Sebagaimana dilansir oleh (www.beritasatu.com, 16/10/2025) bahwa terdapat kasus penemuan jasad wanita terbakar di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, terungkap. Polisi menetapkan FA (54) sebagai pelaku, yang merupakan suami siri korban, Ponimah (42). Korban dilaporkan hilang sejak 8 Oktober 2025 setelah terakhir terlihat bersama pelaku di rumah, menurut keterangan KBO Satreskrim Polres Malang, Ipda Dicka Ermantara. Pelaku mengaku menganiaya lalu membakar jasad Ponimah untuk menghilangkan jejak. Polisi masih menunggu hasil rekonstruksi guna memastikan kronologi kejadian. Pelaku dijerat Pasal 340 dan 338 KUHP tentang pembunuhan berencana dan pembunuhan, sementara penyelidikan terus dilakukan untuk memastikan motif sebenarnya.
Masih dari sumber berita dan tanggal penayangan yang sama, tetapi dengan judul berita berbeda, diberitakan bahwa terjadi upaya penghilangan nyawa yang dilakukan oleh cucu terhadap neneknya. Tertulis bahwa seorang remaja berusia 16 tahun di Pacitan, Jawa Timur, tega membacok nenek angkatnya karena tersinggung disebut cucu pungut. Akibat serangan itu, korban mengalami luka parah dan dirawat intensif di RSUD dr. Darsono Pacitan.
Kejadian yang menyayat hati lainnya juga terjadi di Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara, sebagaimana diberitakan oleh (medan.kompas.com, 18/10/2025). Dalam media kabar tersebut diberitakan terdapat kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia 15 tahun yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Diketahui bahwa perbuatan hina yang dilakukan pelaku sudah berlangsung dari tahun 2022 sampai 2025 dan sudah sebanyak 30 kali. Pelaku melakukan aksinya saat istrinya tertidur di rumah atau sedang berada di ladang, sambil mengancam korban agar tidak memberitahukan perbuatannya kepada siapa pun. Saat ini korban ditempatkan di rumah aman, sementara pelaku telah ditahan dan dijerat dengan Pasal 81 ayat (1) dan (3), Pasal 76D serta Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 76E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Terdapat pula kasus dengan pelaku dan korban yang sama-sama masih beranjak remaja seperti diberitakan oleh (www.beritasatu.com, 15/10/2025). Dua berita yang diangkat dalam satu hari adalah kasus seorang siswa SMP di Grobogan tewas setelah dianiaya oleh teman-teman sekolahnya. Pihak sekolah mengaku tidak mengetahui kejadian tersebut karena berlangsung saat jam istirahat. Di sisi lain terdapat kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Seorang remaja 16 tahun diduga mencabuli dan membunuh bocah perempuan berusia 11 tahun karena sakit hati ditagih utang oleh ibu korban. Pelaku dijerat Pasal 80 dan 82 UU Perlindungan Anak serta Pasal 338 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal mati.
Beragam kasus kekerasan yang terjadi menjadi tanda rapuhnya ketahanan keluarga. Padahal, secara fitrah, keluarga seharusnya menjadi tempat penuh kehangatan. Kini, banyak keluarga gagal menanamkan nilai agama dan ketakwaan, sehingga anggotanya kehilangan pedoman hidup, rapuh secara emosional, dan mudah terjerumus pada tindakan kekerasan.
Gagalnya keluarga menanamkan nilai agama disebabkan adanya pengaruh sekularisme yang menyingkirkan agama dari kehidupan, sehingga keluarga kehilangan pedoman moral dan mudah terseret emosi serta hawa nafsu. Sistem pendidikan sekuler turut memperparah keadaan karena hanya berfokus pada transfer ilmu dan pencapaian materi, sementara pendidikan agama minim dan tidak menjadi landasan moral. Akibatnya, generasi muda tumbuh tanpa adab dan ketakwaan, terjebak dalam krisis moral, perilaku hedonistik, serta penyimpangan sosial yang makin meluas. Pendidikan sekuler mendorong kebebasan tanpa kendali, merusak moral generasi, dan mengikis rasa takut kepada Tuhan. Alih-alih melahirkan generasi unggul, sistem ini justru menghasilkan generasi lemah dan kehilangan arah.
Meski UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT telah diberlakukan, kasus kekerasan dalam rumah tangga justru terus meningkat. Data Pusiknas mencatat, dari Januari hingga Mei 2025, jumlah kasus naik dari 1.146 menjadi 1.316 perkara. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum belum menyentuh akar masalah, sementara sanksinya dinilai tidak tegas. Selain itu, definisi “anak” dalam hukum sekuler yang dibatasi usia di bawah 18 tahun sering disalahgunakan untuk melindungi pelaku remaja, padahal banyak di antaranya sudah akil balig. Akibatnya, tanggung jawab moral dan hukum remaja atas perbuatannya menjadi lemah.
Islam menempatkan keluarga sebagai pusat pembentukan karakter remaja. Orang tua berperan utama menanamkan adab, akidah, dan tsaqafah Islam sejak dini agar anak tumbuh berkepribadian Islami. Keluarga harus berlandaskan visi akhirat dengan menjadikan akidah dan syariat sebagai pedoman hidup. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan, kepribadian Islam terbentuk melalui penanaman akidah yang rasional, konsistensi berpikir dan bertindak sesuai Islam, serta pembiasaan amal salih.
Selain itu, negara wajib menerapkan sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah, membentuk pola pikir dan jiwa Islami, serta diselenggarakan secara gratis. Dengan penerapan menyeluruh sejak keluarga hingga negara, pendidikan Islam akan melahirkan generasi bertakwa, berakhlak mulia, dan terhindar dari kekerasan.
Islam mengatur kehidupan pernikahan agar dilandasi kasih sayang dan ketenteraman. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa hubungan suami istri adalah persahabatan yang membawa kedamaian, sebagaimana firman Allah dalam QS Ar-Rum [30]: 21. Karena itu, Islam menetapkan hak dan kewajiban masing-masing agar tercipta pergaulan yang baik (QS An-Nisa [4]: 19). Imam Ash-Shabuni menegaskan, suami wajib memperlakukan istri dengan perkataan dan sikap terbaik. Jika konflik tak terhindarkan, Islam membolehkan perceraian sebagai jalan terakhir, namun tetap melarang segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam sistem yang berbasis syariat Islam, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat sehingga keluarga terbebas dari kesulitan ekonomi. Khalifah sebagai pemimpin akan menanggung kebutuhan fakir miskin melalui zakat, menyediakan pekerjaan, serta memberi akses pendidikan dan layanan kesehatan gratis dan berkualitas. Dengan penerapan syariat Islam secara kafah, keluarga menjadi tempat yang aman, sejahtera, dan penuh ketenangan. Khilafah juga menetapkan kebijakan pendidikan yang melahirkan generasi beriman dan berakhlak, serta menegakkan sanksi tegas sebagai pencegah dan penebus dosa agar masyarakat terhindar dari tindak kekerasan dan kemaksiatan. Penerapan hukum Islam bertujuan tidak hanya memberi efek jera bagi pelaku, tetapi juga mendidik masyarakat agar menjalani kehidupan sesuai tuntunan syariat.
Tags
opini
