Fenomena Bunuh Diri di Kalangan Pelajar: Rapuhnya Kepribadian Anak dalam Sistem Pendidikan Sekuler



Oleh Pastri Sokma Sari



Dalam sepekan terakhir, dua anak di Jawa Barat diduga bunuh diri, masing-masing di Cianjur dan Sukabumi, sebagaimana dilansir oleh (www.kompas.id, 31/10/2025). Kasus pertama menimpa seorang anak berusia 10 tahun, siswa SD di Ciranjang, yang ditemukan tewas tergantung di rumah neneknya pada Rabu (22/10/2025), tanpa tanda kekerasan di tubuhnya. Beberapa hari kemudian, seorang anak berusia 14 tahun, siswi SMP di Cikembar, Sukabumi, juga ditemukan meninggal dengan dugaan kuat akibat bullying di sekolah, sebagaimana tertulis dalam surat yang ditinggalkannya. Psikolog Universitas Kristen Maranatha, Efnie Indrianie, menilai generasi Alfa (kelahiran 2010–2024) cenderung memiliki mental lebih rapuh (fragile) dan mudah tertekan oleh lingkungan sosial maupun media digital. Sementara itu, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menyatakan keprihatinan atas lemahnya perlindungan terhadap anak dan berjanji menurunkan tim DP3AKB untuk mendalami kasus perundungan atau bullying di Sukabumi. DP3AKB menegaskan pentingnya pendampingan psikososial serta edukasi antiperundungan di sekolah agar kejadian serupa tidak terulang.

Berita yang dilansir oleh (www.kompas.id, 30/10/2025) memuat bahwa selama Oktober 2025, dua siswa SMP di Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, yakni Arif Nofriadi Jefri (15) dari SMP 2 dan Bagindo Evan (15) dari SMP 7, ditemukan tewas gantung diri di lingkungan sekolah. Polisi memastikan tidak ada tanda kekerasan maupun indikasi perundungan dalam kedua kasus tersebut, dan keduanya diduga bunuh diri akibat tekanan pribadi. Bagindo ditemukan tergantung di ruang kelas menggunakan dasi yang dipinjam dari temannya, sementara Arif ditemukan di ruang OSIS oleh rekannya setelah sempat terlihat menangis di taman sekolah. Pihak keluarga dan guru menyatakan tidak melihat adanya masalah atau perilaku mencurigakan sebelumnya. Dinas Pendidikan Sawahlunto menegaskan, kasus beruntun ini menjadi perhatian serius dan seluruh sekolah diinstruksikan untuk meningkatkan pendampingan psikologis bagi siswa guna mencegah terulangnya kejadian serupa. 

Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, dalam berita yang dilansir oleh (mediaindonesia.com, 31/10/2025) menekankan pentingnya sistem peringatan dini melalui penguatan peran guru BK, pelatihan guru dan siswa sebaya untuk mengenali gejala depresi, serta koordinasi sekolah dengan puskesmas dan dinas terkait. KPAI juga mendorong pendampingan psikologis cepat, keterlibatan keluarga, dan pembentukan tim krisis psikologis daerah. Orang tua diimbau memperbanyak interaksi emosional dengan anak dan menghindari tekanan berlebihan. Selain itu, KPAI berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan dukungan psikososial bagi keluarga korban serta memperkuat layanan aduan daring agar anak dapat mencari bantuan secara aman. 

Diketahui melalui berita yang dilansir oleh (ameera.republika.co.id, 30/10/2025) bahwa Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan kondisi kesehatan jiwa anak Indonesia memasuki fase kritis, dengan lebih dari dua juta anak mengalami gangguan mental berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 20 juta jiwa dalam program skrining kesehatan jiwa gratis Kemenkes. Dante menekankan pentingnya dukungan sosial dan empati dalam menjaga kesehatan mental, termasuk langkah sederhana seperti menyapa dan menanyakan kabar orang di sekitar, karena perhatian kecil dapat menjadi penguat bagi mereka yang sedang berjuang melawan keputusasaan.

Meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan pelajar dan mahasiswa tidak semata disebabkan oleh bullying, tetapi mencerminkan rapuhnya kepribadian akibat lemahnya fondasi akidah dalam sistem pendidikan sekuler. Menurut pakar psikologi Unair, Dr. Nur Ainy Fardana, terdapat lima faktor utama pemicu bunuh diri: gangguan mental, tekanan akademik dan keluarga, kesepian sosial, masalah ekonomi, serta trauma atau pelecehan. Lima faktor utama pemicu bunuh diri tersebut jika ditelisik lebih lanjut sebenarnya berakar dari sistem sekuler kapitalistik. Sistem ini menanamkan pandangan hidup materialistis, menekan anak dengan tuntutan akademik, menjauhkan mereka dari interaksi sosial nyata, membebani dengan masalah finansial seperti pinjol dan biaya kuliah tinggi, serta membiarkan gaya hidup bebas yang memicu pergaulan bebas dan depresi. Lemahnya iman dan arah hidup membuat generasi muda kehilangan makna dan mudah menyerah. 

Bunuh diri merupakan titik puncak dari gangguan kesehatan mental yang dipicu oleh berbagai persoalan hidup, seperti tekanan ekonomi, konflik keluarga termasuk perceraian, serta tuntutan gaya hidup modern. Semua ini merupakan dampak dari penerapan sistem kapitalisme yang menempatkan nilai materi di atas kesejahteraan manusia. Beragam faktor tersebut, meski bersifat nonklinis, memiliki pengaruh besar dalam memicu munculnya gangguan mental pada individu. 

Akar utama meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan remaja sejatinya terletak pada cara pandang sekularisme Barat yang menyingkirkan nilai agama dari kehidupan. Sejak kecil hingga dewasa, generasi muda dijejali pandangan materialistis yang menilai kebahagiaan dari harta dan kesenangan dunia. Dalam keluarga sekuler, orang tua sibuk mengejar karier hingga anak kehilangan figur pengasuhan, sedangkan pendidikan sekuler menyingkirkan agama dari kurikulum sehingga anak tumbuh tanpa pemahaman tentang tujuan hidup dan peran sebagai hamba Allah. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam gaya hidup liberal dan kompetisi materi yang memicu stres serta depresi. 

Paradigma Barat yang menetapkan batas usia dewasa pada 18 tahun turut memengaruhi cara pandang terhadap anak. Akibatnya, banyak anak yang sebenarnya sudah balig tetap diperlakukan seperti anak kecil dan tidak diberi tanggung jawab sesuai tingkat kedewasaannya. Padahal, dalam pandangan Islam, balig menandai seseorang telah memikul tanggung jawab moral dan hukum. Ketika anak tidak dibimbing untuk mengembangkan akalnya dan mengasah kedewasaan berpikir sejak dini, ia tumbuh tanpa arah, mudah goyah menghadapi tekanan, dan kesulitan membedakan benar dan salah dalam mengambil keputusan hidup.
Media sosial semakin memperparah kondisi ini dengan menampilkan kehidupan penuh kemewahan yang membuat generasi muda merasa rendah diri dan kehilangan arah hidup. Paparan media sosial yang menampilkan konten terkait bunuh diri dan munculnya komunitas daring yang membahasnya membuat remaja dan anak-anak semakin rentan melakukan tindakan serupa. Di era digital, interaksi generasi muda lebih banyak terjadi di dunia maya, sementara hubungan sosial di dunia nyata semakin berkurang, menjadikan mereka kesepian dan terisolasi. Gaya hidup materialistis dan liberal yang ditampilkan media sosial juga menimbulkan rasa frustrasi dan ketidakpuasan terhadap hidup. Fenomena copycat suicide kian mengkhawatirkan, seperti kasus pelajar yang meniru tren menyakiti diri di media sosial karena kehilangan jati diri dan kemampuan menyaring pengaruh buruk. Kondisi ini menunjukkan bagaimana media digital tanpa filter nilai agama dapat menormalisasi perilaku berisiko dan memperburuk kesehatan mental generasi muda. 

Sementara itu, pendidikan Islam berakar pada paradigma Islam yang memandang alam semesta, manusia, dan kehidupan secara menyeluruh, mencakup hubungan antara kehidupan dunia dengan sebelum dan sesudahnya. Islam menempatkan akidah sebagai landasan utama pendidikan, baik dalam keluarga, sekolah, maupun seluruh jenjang pembelajaran, agar anak memiliki keteguhan iman dan kekuatan menghadapi berbagai ujian kehidupan. Tujuan utama pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi melalui proses terencana dan sistematis. Akidah Islam menjadi landasan dalam seluruh aspek pendidikan, mulai dari kurikulum, metode pembelajaran, kualifikasi pendidik, hingga budaya dan interaksi di lingkungan pendidikan. 

Profil generasi muslim terbaik dibangun di atas fondasi iman dan akidah yang membentuk pola pikir dan sikap berlandaskan Islam. Dalam sistem pendidikan Islam, ilmu diarahkan untuk melahirkan individu yang sadar sebagai hamba dan khalifah Allah: taat beribadah, bertakwa, dan bermanfaat bagi sesama sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan hadis. Pemuda muslim ideal memiliki kepribadian lurus sesuai fitrah, tangguh menghadapi tekanan, serta teguh menegakkan amar makruf nahi munkar. Pendidikan Islam bukan sekadar sarana mencari nafkah, tetapi jalan membangun peradaban dan melahirkan generasi pembawa rahmat bagi semesta.

Kemudian, dalam Islam, ketika anak mencapai usia balig, ia juga diarahkan untuk menjadi aqil. Karena itu, pendidikan sebelum balig difokuskan untuk menumbuhkan kedewasaan berpikir dan membentuk kepribadian islami. Negara yang berlandaskan Islam akan memprioritaskan pembentukan generasi dengan pola pikir dan pola sikap islami agar tumbuh menjadi pribadi kuat, beriman, dan tidak mudah mengalami depresi. Sistem pendidikan Islam diterapkan sejak dasar hingga perguruan tinggi, menanamkan akidah dan pemahaman Islam sebagai fondasi, baru kemudian mengenalkan tsaqafah asing agar generasi mampu menilai mana yang benar dan salah. Akidah Islam inilah yang menjaga kesehatan mental dan menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan sejati adalah meraih rida Allah, bukan sekadar kesenangan duniawi. 

Selain itu, dalam sistem Khilafah, negara menjamin keseimbangan peran keluarga melalui kebijakan ekonomi yang adil dan tanggung jawab negara terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Setiap laki-laki diwajibkan bekerja untuk menafkahi keluarga, sementara negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja, modal, dan akses lahan. Jika seseorang tidak mampu bekerja, keluarganya wajib menanggungnya, dan bila tidak mampu, negara akan menanggung kebutuhan dasarnya. Khalifah juga memastikan terpenuhinya kebutuhan kolektif seperti pendidikan, keamanan, dan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa, melalui pengelolaan baitulmal yang kuat dan berkeadilan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak