Oleh: Imanta
Berbagai reaksi dari negara-negara di dunia bermunculan setelah terjadinya genosida di Palestina. Salah satunya datang dari Turki, yang pada Jumat (7/11/2025) mengumumkan penerbitan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, beserta sejumlah pejabat tinggi Israel atas tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Langkah ini memperburuk ketegangan diplomatik antara kedua negara yang sebelumnya sudah memburuk sejak pecahnya perang di Jalur Gaza. Menurut pernyataan Kejaksaan Istanbul, terdapat 37 orang yang menjadi target, termasuk Menteri Pertahanan Israel Katz, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Letnan Jenderal Eyal Zamir, yang dituduh melakukan kejahatan sistematis terhadap warga sipil di Gaza (tvonenews.com). Sementara itu, Kazakhstan mengambil langkah untuk memperbaiki hubungan dengan Israel dengan bergabung dalam Abraham Accords. Namun, keputusan tersebut mendapat kecaman dari kelompok perlawanan Palestina yang menilai langkah itu sebagai bentuk pembenaran terhadap tindakan Israel, yang telah menewaskan lebih dari 68.800 warga Palestina sejak 7 Oktober 2023 (antaranews.com). Di sisi lain, Turki juga berencana mengirim pasukan perdamaian untuk mengawasi proses perdamaian di Jalur Gaza. Rencana ini ditolak keras oleh Israel dan memicu tanggapan dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Menteri Luar Negeri RI, Sugiono, “Intinya, yang ingin kita lakukan adalah memberikan kontribusi terhadap proses perdamaian ini. Dan saya kira Indonesia bisa diterima. Sekali lagi, semuanya ini bergantung pada mandat yang jelas dari PBB,” ujarnya di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Rabu (5/11) (cnnindonesia.com).
Normalisasi hubungan dengan Israel sejatinya merupakan bagian dari strategi dan jebakan politik yang dirancang oleh Amerika Serikat bersama sekutunya. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan legitimasi terhadap penjajahan yang dilakukan oleh rezim Zionis atas wilayah Gaza dan seluruh tanah Palestina. Melalui skema ini, upaya penjajahan yang seharusnya dikutuk oleh dunia internasional justru dibungkus dengan narasi diplomasi dan perdamaian, padahal hakikatnya hanya memperkuat posisi Israel sebagai pihak penindas.
Sementara itu, para pemimpin di negeri-negeri Muslim menunjukkan sikap yang dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Gaza. Banyak di antara mereka hanya sebatas mengeluarkan kecaman tanpa disertai langkah nyata untuk menghentikan penderitaan rakyat Palestina. Termasuk Turki, yang meskipun lantang menyuarakan protes, namun tindakannya belum menunjukkan komitmen konkret dalam membela Palestina dari agresi militer Israel. Selama keputusan politik terkait Palestina masih dikendalikan oleh kepentingan Barat dan para penguasa Muslim tetap terkungkung dalam semangat nasionalisme sempit, maka penjajahan terhadap Palestina akan terus berlangsung. Ketiadaan kesatuan sikap dan ketergantungan pada kekuatan asing membuat perjuangan kemerdekaan Palestina berjalan di tempat.
Jika kita melihat bersama fakta tragis akibat penjajahan oleh zionis kepada Masyarakat Palestina, tentu setiap dari kita tak ada terlontar kata perdamaian begitu saja, seperti yang disepakati oleh Palestina sendiri, yang menilai langkah itu sebagai bentuk pembenaran terhadap tindakan Israel, yang telah menewaskan lebih dari 68.800 warga Palestina sejak 7 Oktober 2023. Bahkan, penjajahan ini telah dilakukan selama bertahun-tahaun lamanya. Dampak serangan tersebut dirasakan dari segala aspek, terutama aspek Kesehatan. Laporan WHO (2024) mencatat 417 serangan terhadap fasilitas medis di Gaza, menyebabkan kerusakan berat pada rumah sakit utama seperti Al-Shifa dan Al-Nasser, serta membuat hampir 70% rumah sakit tidak berfungsi. Studi BMJ Global Health (Abi-Rached et al., 2025) menegaskan temuan ini dengan mencatat lebih dari 986 tenaga kesehatan tewas dan ribuan pasien kehilangan akses layanan darurat. Selain kekerasan fisik, laporan OCHA (2024) menunjukkan adanya serangan administratif, di mana 44% permohonan izin pasien dari Tepi Barat untuk dirujuk ke luar wilayah ditolak atau tertunda, disertai pembatasan terhadap tenaga medis, logistik, dan pasokan obat. Laporan WHO (2025) juga mengonfirmasi adanya hambatan sistemik berupa penolakan izin, penundaan di pos pemeriksaan, dan fragmentasi wilayah yang mengganggu operasional kesehatan di Gaza.
Dampak sosial dan psikologis akibat konflik di Gaza juga sangat luas. Penelitian Veronese et al. (2022) menunjukkan bahwa anak-anak Palestina tumbuh dalam lingkungan penuh ketakutan dan kehilangan, memicu gangguan kronis seperti kecemasan dan stres pascatrauma. Minimnya dukungan psikososial, runtuhnya sistem pendidikan, serta hilangnya rasa aman memperparah kondisi tersebut. Tekanan terhadap keluarga terutama para ibu juga meningkat karena harus menjaga anak-anak di tengah kelaparan, kekurangan medis, dan kekerasan berulang. Krisis ini tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga meruntuhkan kesejahteraan sosial dan mental masyarakat Palestina, mencerminkan krisis kemanusiaan yang sistemik dan berlapis.
Hanya dengan melepaskan diri dari tekanan dan pengaruh Barat serta membangun solidaritas umat yang sejati, harapan untuk mengakhiri penjajahan atas tanah Palestina dapat terwujud. Penerapan sebuah sistem dengan aturan Islam yang menjunjung tinggi keadilan, martabat manusia, dan perlindungan terhadap kaum tertindas diharapkan mampu menghapus akar-akar penjajahan dan ketidakadilan di Palestina. Sistem ini menjamin hak asasi, sertamenempatkan perlindungan warga sipil sebagai prioritas. Hal ini dapat terwujud dengan adanya kesadaran ummat. Umat perlu menyadari pentingnya perjuangan yang selaras dengan metode dakwah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam demi tercapainya kehidupan Islam secara menyeluruh.
Tags
opini