Remaja SMP Terjebak Judol dan Pinjol Merebak, Bukti Hilangnya Peran Negara dalam Sistem Sekuler-Kapitalisme

Oleh Dwi March Trisnawaty S.Ei



Maraknya pelajar SMP terjerat aplikasi judol dan pinjol, menunjukkan bahwasannya negara telah gagal memenuhi perannya sebagai pelindung bagi generasi muda bangsa.  Aktivitas judol dan pinjol yang ditemukan banyak menyasar kalangan siswa pelajar tentu saja menjadi ancaman serius bagi tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Bahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengumpulkan data dalam kuartal tahun 2025 menunjukkan usia pemain judol sekitar 10-16 tahun jumlah depositnya lebih dari Rp2,2 miliar. Pada usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar, kemudian posisi tertinggi diraih usia 31-40 tahun sebanyak Rp2,5 triliun. Lebih mirisnya lagi sekitar 71,6 persen masyarakat yang terlibat judol memiliki penghasilan di bawah Rp5 juta serta memiliki pinjaman di berbagai lembaga keuangan (tirto.id, 19/10/2025). 

Dari fenomena ini menunjukkan bahwa kecanggihan teknologi dan informasi era modern ini tidak diimbangi dengan pendidikan serta pengawasan yang ketat baik negara maupun orang tua. Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti dalam tuturnya kasus siswa SMP terjebak pinjol dan judol disebabkan kekeliruan dalam sistem pendidikan saat ini. Ditemukannya kasus siswa SMP Kulon Progo Yogyakarta, terpaksa membolos selama sebulan terakhir akibat dari jeratan judol dan utang pinjol. Siswa tersebut menanggung rasa malu, karena ia tidak sanggup membayar utang pada teman-temannya untuk utang pinjol mencapai Rp 4 juta rupiah (nasional.kompas.com, 29/10/2025).

Kegagalan Negara dalam Sistem Kapitalisme

Paparan iklan dan konten judi online dengan bebasnya beredar hingga merambah ke situs-situs pendidikan dan game online, membuat siswa sangat rentan tergiur. Pinjol dan judol merupakan lingkaran setan yang tidak pernah ada habisnya. Ketika pelajar kalah judi dan kehabisan dana maka akan mencari pinjaman online yang diketahui sangat mudah mengaksesnya, hanya memerlukan indentitas diri (KTP). Fenomena yang terjadi membuktikan adanya kelalaian pengawasan orang tua dan sekolah terhadap aktivitas gadget anak. Selain itu, peran negara sangat lemah dalam memblokir maupun memberantas situs-situs judol ini.

Sedangkan pendidikan karakter dan pemberian literasi digital belum tentu mampu menyelesaikan persoalan ini. Biang kerok lingkaran setan judol dan pinjol adalah dari rusaknya pemikiran kapitalisme yang menginginkan materi agar kaya dengan instan tanpa adanya kerja keras. Mudahnya akses dan iming-iming modal kecil, menjadikan keuntungan materi sebagai standart kebahagiaan dalam sistem sekuler kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme peran negara hanyalah sebagai regulator, bukan sebagai pelindung dan pengurus rakyat.

Islam Berantas Tuntas Judol dan Pinjol

Sangat berbeda dengan paradigma Islam, bahwasannya dalam Islam menggunakan standart halal-haram dalam melakukan suatu perbuatan. Aktivitas judol dan pinjol jelas haram hukumnya, karena keduanya mengadung riba. Dalam hal ini sangat penting diterapkannya sistem pendidikan belandaskan akidah Islam, pelajar akan memiliki pandangan (tsaqafah) Islam. Pelajar akan semakin tearah dalam bertindak, tidak mencukupkan pada pendidikan karakter saja. 

Peran negara sangat dibutuhkan dalam membentuk generasi muda yang saleh dan berkepribadian Islami. Khalifah memiliki peran ra’in dan riayah yang memiliki tanggung jawab atas memutus akses konten judol dan pinjol dalam wilayah Daulah. Jika ada yang terlibat maka akan diberi sanksi secara tegas agar jera. Tidak hanya sistem pendidikan, orang tua juga turut menjaga akidah anak-anaknya dengan membangun akidah, ketaqwaan, dan berakhlak mulia. Maka suasana yang dibangun pada kalangan pelajar bukan lagi kebahagiaan hanya di dunia saja, namun aktivitasnya akan disibukkan dengan menjadi hamba terbaik di hadapan Allah SWT. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak