Maraknya Fatherless, Buah Penerapan Sistem Kapitalisme Sekulerisme



Oleh Pastri Sokma Sari



Indonesia memiliki setidaknya seperlima anak tumbuh dalam kondisi fatherless dan menjadikannya berada di peringkat ketiga dengan angka fatherless tertinggi di dunia, sebagaimana dilansir oleh (voi.id, 11/10/2025). Fenomena fatherless, ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun psikologis tidak bisa dianggap sebagai masalah sepele. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena fatherless, salah satunya kesibukan ayah dengan tuntutan pekerjaannya yang menjauhkan ayah dan anak, membuat peran pengasuhan menjadi terbatas. Budaya patriarki yang masih kental di Indonesia mengakibatkan pandangan bahwa pengasuhan anak hanya berada di tangan ibu juga membuat angka fatherless di Indonesia tinggi. Analisis Tim Data Harian Kompas merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS pada Maret 2024 mengungkapkan setidaknya 15,9 juta dari total 79,4 juta anak di Indonesia berpotensi mengalami fatherless. Hilangnya sosok ayah dalam pengasuhan mempengaruhi pembentukan karakter, daya tahan, daya tarung, dan hal lainnya yang berkaitan dengan leadership.

Dilansir oleh (tagar.co, 8/10/2025) menyebutkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya fenomena fatherless di Indonesia adalah kentalnya budaya patriarki dan besarnya tekanan ekonomi. Ini sejalan dengan faktor yang disebutkan sebelumnya. Budaya patriarki membuat definisi “ayah sejati” adalah sebatas mampu bekerja keras, menghasilkan uang, dan menafkahi keluarga. Definisi dan penanaman pandangan tersebut membuat makna tanggung jawab pengasuhan anak terabaikan atau tergeser menjadi sebatas tanggung jawab finansial saja. 

Akibatnya tidak terjadi upaya pendekatan hubungan ayah dan anak seperti melalui dialog, menemani anak belajar, atau sekadar bermain bersama. Struktur ekonomi yang tidak berpihak pada keseimbangan keluarga menyebabkan adanya tekanan ekonomi yang marak terjadi di kota-kota besar. Hal yang demikian mendesak sosok ayah untuk bekerja sampai lembur bahkan harus merantau ke luar daerah. Akibatnya, hubungan emosional antara ayah dan anak menipis karena waktu sang ayah yang habis di jalan dan/atau di tempat kerja. Bahkan, tidak jarang ayah menjadi sosok yang asing dalam keluarganya sendiri.

Masih dilansir oleh media yang sama juga diterangkan bahwa kemajuan teknologi dan media digital membuat peran ayah semakin menantang. Banyak anak lebih dekat dengan gawai dan media sosial daripada dengan orang tuanya, sementara sebagian ayah juga terjebak dalam budaya digital yang sama. Padahal, kehadiran ayah yang bijak dan aktif berinteraksi, meski lewat hal sederhana seperti mendengarkan cerita anak, sangat penting untuk membantu anak mengarahkan dunia digital secara sehat serta membentuk karakter dan kepercayaan dirinya. 

Muncul respon dari berbagai kalangan untuk menanggapi fenomena fatherless ini, baik dari yang mengalami maupun pandangan dari para ahli. Dilansir oleh (www.kompas.id, 10/10/2025), menurut temuan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas berdasarkan analisis 1.996 konten media sosial yang memuat kata “ayah” dan sinonimnya sepanjang Juni 2025, warganet mengekspresikan beragam emosi terhadap sosok ayah. Emosi yang paling dominan adalah senang (31 persen), diikuti sedih (21 persen), risi (13 persen), percaya (12 persen), berharap (11 persen), dan marah (6 persen). Secara keseluruhan, Kompas mengelompokkan konten tersebut ke dalam sepuluh kategori emosi, yaitu marah, antisipatif, kecewa, risi, takut, berharap, senang, sedih, terkejut, dan percaya. Ada juga data media sosial Litbang Kompas yang menunjukkan bahwa dari 2.968 konten terkait fatherless, peran ayah, dan Hari Ayah, mayoritas bernada netral (51,7 persen), disusul sentimen negatif (32,3 persen), dan positif (16,04 persen). 
Kemudian, dilansir juga dari (www.kompas.id, 10/10/2025) dengan judul berita yang berbeda dituliskan bahwa sebagai respon dari fenomena fatherless yaitu dibentuknya komunitas Satu Meja Makan, komunitas pendukung tanpa figure ayah, yang dimotori oleh pengalaman personal dan profesional dua psikolog, Irish dan Fadhilah. Dhila menuturkan bahwa dibentuknya kelompok tersebut terinspirasi dari kelompok luar negeri yang disebut Calling Home yang didirikan oleh seorang terapis keluarga Whitney Gotman.

Apabila diperhatikan dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa fenomena fatherless dilatarbelakangi secara dominan oleh sebab kesibukan mencari nafkah dan ketidakhadiran sosok ayah sebagai pendidik. Tidak bisa dinafikan bahwa kondisi ini lahir dari sistem hidup kapitalistik, sosok ayah tersita waktunya untuk memenuhi kebutuhan nafkah sehingga waktu untuk membersamai anak minim. Saat ini, banyak anak yang kehilangan kebanggaan terhadap sosok ayahnya. Fenomena fatherless menjadi persoalan serius yang menghantui keluarga, ketika sejumlah laki-laki tidak mampu menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. Akibatnya, anak tumbuh tanpa bimbingan jiwa yang memadai dan mudah terpengaruh oleh nilai-nilai liberal serta sekuler. Di sisi lain, kemampuan ayah menafkahi keluarga juga bergantung pada tersedianya lapangan kerja dan dukungan negara bagi mereka yang tidak mampu bekerja karena sakit atau cacat. Sayangnya, dalam sistem kapitalis, negara justru melepaskan tanggung jawabnya, sehingga beban pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan sepenuhnya ditanggung keluarga.

Adanya penerapan sistem kapitalisme sekulerisme yang mengakibatkan hilangnya fungsi qawwam dalam diri ayah, baik sebagai pemberi nafkah dan pemberi rasa aman bagi anak juga menjadikan fenomena fatherless semakin marak. Sistem kapitalisme yang berlaku saat ini justru memperparah kesulitan hidup rakyat. Aturan negara dinilai tidak berpihak pada masyarakat miskin, sehingga mereka harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup, sementara keuntungan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal. Pengaruh sekularisme membuat sosok ayah kehilangan pegangan spiritual; agama dan Tuhan tersingkir dari kehidupan, menyebabkan kekosongan jiwa dan hilangnya kemuliannya. Sehingga ayah tidak memahami fungsinya sebagai qawwam, baik pemberi nafkah maupun tempat aman bagi anak-anaknya.

Dalam pandangan Islam, ayah dan ibu memiliki peran yang sama pentingnya. Ayah berfungsi sebagai pencari nafkah sekaligus teladan dalam mendidik anak, sebagaimana dicontohkan dalam kisah Lukman. Sementara itu, ibu berperan besar dalam mengasuh, menyusui, mendidik anak, serta mengelola urusan rumah tangga. Selain itu, sistem perwalian di dalam Islam juga akan memastikan bahwa setiap anak akan tetap memiliki figur ayah.

Dalam Islam, tanggung jawab utama pengasuhan (hadanah) berada di tangan ibu. Kitab Muqaddimah ad-Dustur menjelaskan bahwa hadanah merupakan kewajiban sekaligus hak bagi perempuan, baik muslim maupun nonmuslim, selama anak masih membutuhkan pengasuhan. Rasulullah saw. juga menegaskan bahwa hak pengasuhan tetap dipegang ibu selama ia belum menikah lagi, menandakan pentingnya peran ibu dalam tumbuh kembang anak. 

Namun, Islam juga menempatkan ayah sebagai pemimpin keluarga (QS An-Nisa: 34) yang wajib menafkahi dan memastikan anak mendapat pengasuhan yang benar (QS Al-Baqarah: 233). Ayah bertanggung jawab menjaga jiwa anak agar terhindar dari kebinasaan, sekaligus hadir memberikan kasih sayang, perhatian, dan keteladanan. Rasulullah saw. menjadi teladan utama, meski sibuk mengurus umat, beliau tetap perhatian dan penuh kasih terhadap keluarga tanpa mengambil alih peran ibu atau membebankan tanggung jawab nafkah kepada perempuan. 

Selain peran ayah dan ibu, Islam juga menekankan pentingnya peran negara dalam memastikan pengasuhan anak berjalan sesuai syariat. Melalui penerapan sistem Islam secara kaffah, negara mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, membuka lapangan kerja bagi laki-laki, dan menjamin ayah mampu menafkahi keluarganya. Dengan demikian, ibu dapat fokus pada peran utamanya dalam hadanah tanpa terbebani kewajiban ekonomi sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalis. Negara juga berwenang menasihati, mengingatkan, hingga memberi sanksi kepada orang tua yang lalai menjalankan tanggung jawabnya.

Sistem ekonomi Islam menyeimbangkan kerja dan kehidupan keluarga, ayah bekerja sewajarnya tanpa eksploitasi, bebas dari beban pajak tinggi, dan memiliki waktu cukup untuk keluarga. Infrastruktur yang tertata baik juga memudahkan akses kerja tanpa harus terjebak macet. Dalam bidang pendidikan, negara menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam yang sejalan dengan peran ayah dalam menanamkan nilai tauhid dan ketaatan beragama. Sejak dini, calon ayah dibekali ilmu agama dan pendidikan anak, baik melalui sistem formal maupun pengajaran di masjid, dengan biaya yang sepenuhnya ditanggung baitulmal.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak