PINJOL KIAN MELESAT, TANDA RAKYAT MAKIN TERJERAT



 
                      Ummu Aqeela
 
Pertumbuhan bisnis penyaluran pinjaman berbasis aplikasi online (pinjol) kian melesat. Ketika sulit mendapat kredit dari bank, masyarakat pun lari ke penyedia pinjol. Walhasil, angka kenaikan penyaluran pinjol selalu lebih tinggi dari pertumbuhan kredit perbankan.
 
Inilah yang tergambar dalam data Otoritas Jasa Keuangan. Pada periode September 2024-September 2025, OJK mencatat penyaluran kredit perbankan tumbuh 7,7 persen dari Rp 7.579 triliun menjadi Rp 8.162,8 triliun. Sedangkan pinjaman daring (pindar)—sebutan OJK untuk pinjol yang memiliki izin—naik 22,2 persen dari Rp 74,4 triliun menjadi Rp 90,00 triliun.
 
Dengan kata lain, pertumbuhan penyaluran pindar selalu dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat lebih tinggi dari kenaikan kredit perbankan, meski secara nilai hanya seperseratus dari dana yang disalurkan oleh bank. (Tempo, 13 November 2025)
 
Fakta diatas membuktikan bahwa saat ini pinjol menjadi jalan instan bagi masyarakat yang terhimpit masalah ekonomi, namun tak sedikit pula yang terjerat pinjol karena tuntutan gaya hidup tinggi. Masyarakat banyak tergiur dengan kemasan penawaran pinjaman tanpa agunan dan proses berbelit. Karakter khas skema ribawi, pencairannya cepat namun menjerat tidak hanya dunia namun sampai akhirat. Seringkali penagihannya pun dilakukan dengan tidak manusiawi dan tak beradab.
 
Tentu kita paham karena ini adalah lahan basah para kapitalis  penyelenggara fintech lending atau perusahan pinjol. Angka fantastis dari data diatas menunjukkan bisnis riba telah menggurita di Indonesia. Bahkan tidak hanya rakyatnya, pengatur negaranya pun justru telah menggawangai utang luar negeri ribawi yang tak kalah fantastis jumlahnya, lalu siapa yang bertanggung jawab? Tentu rakyat lagi yang akan diperah.
 
Ini menjadi bukti buruknya dampak transaksi ribawi. Selayaknya negara hadir tidak hanya sebagai regulasi dengan menyetop sementara dan mengeluarkan himbauan belaka, namun negara harus menghapus segala akar yang membuat masyarakat atau rakyatnya terjerat pinjol, tidak lain karena kemiskinan, gaya hidup konsumtif yang dipampangkan di medsos, dan menjamurnya lembaga keuangan ribawi.
 
Hakikatnya, kesempitan hidup yang dialami sebagian masyarakat saat ini tidak lepas dari penerapan sistem sekuler kapitalis di negeri ini. Bagaimana tidak, faktanya sistem yang diterapkan saat ini telah melegalisasikan liberalisasi ekonomi yang akhirnya kapitalisasi atau membisniskan segala komoditas, mulai dari pendidikan, perdagangan, hingga kesehatan. Akibatnya, rakyat kesusahan mengakses kebutuhan asasiyah-nya karena terbilang mahal.
 
Dalam islam, hukum riba adalah mutlak haram. Keharamannya berdasarkan nas-nas al-Quran dan as-Sunnah. Allah Swt. berfirman,
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” 
(TQS Al-Baqarah [2]: 275).

Keharaman riba dan besarnya dosa riba juga terlihat dari ancaman Allah Swt. dan Rasulullah saw. kepada pelakunya. Di antaranya, pertama, sebagian ulama tafsir menjelaskan pelaku riba akan dibangkitkan dari alam kubur seperti orang kerasukan setan karena gila. Allah SWT berfirman:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” 
(TQS al-Baqarah [2]: 275).
 
Dalam Islam, memberikan utang adalah bagian dari amal saleh untuk menolong sesama, bukan investasi untuk mendapatkan keuntungan, apalagi dijadikan alat untuk mengeksploitasi orang lain yang sedang membutuhkan. Nabi saw. bersabda,
“Siapa saja yang meringankan suatu kesusahan (kesedihan) seorang Mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberi dia kemudahan di dunia dan akhirat.”
 (HR Muslim).
 
Untuk mewujudkan masyarakat bersih dari aktivitas ribawi, membutuhkan peran sentral negara dalam menjauhi aktivitas haram tersebut dengan segala bentuknya. Khilafah sebagai sistem kepemimpinan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak akan membiarkan praktik ribawi berlangsung. Penerapan syariat Islam secara kaffah sejatinya akan menghapuskan praktik ribawi.
 
Mencegah fenomena pinjam-meminjam ribawi, Khilafah akan berupaya memenuhi kebutuhan asasiyah setiap individu masyarakatnya melalui penerapan sistem ekonomi Islam dengan mekanisme secara langsung maupun mekanisme secara tidak langsung.
 
Mekanisme secara tidak langsung yakni kepala keluarga sebagai pencari nafkah akan dipermudah dan difasilitasi untuk bekerja, baik akses modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya. Lapangan kerja dalam Khilafah akan terbuka lebar sebab seluruh kepemilikan rakyat hanya boleh dikelola oleh negara. Pengelolaan SDA dalam jumlah yang besar akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar pula.
 
Mekanisme secara langsung yakni negara akan melakukan pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis ke setiap individu masyarakatnya, sehingga harta yang dimiliki masyarakat benar-benar fokus dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan ditambah dengan kebutuhan sekunder dan tersiernya. Bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan keuangan -misalnya modal, mahar, dll.- maka negara melalui Baitulmal akan memberikan pinjaman tanpa ribawi, karena Islam mengharamkan secara mutlak aktivitas ribawi apapun bentuknya.
 
Merupakan suatu tugas negara melarang pendirian lembaga pinjol dengan ribawi atau aktivitas sejenisnya. Di sisi lain, penerapan sistem pendidikan Islam akan mencetak masyarakat agar memiliki ikatan akidah Islam yang kuat dan hanya berorientasi akhirat. Sehingga segala amalnya tidak hanya berputar pada pemenang kesenangan duniawi semata, tetapi justru dihiasi dengan amal saleh sesuai standar ahsanul-amal. Demikianlah, Islam mewujudkan masyarakat tanpa aktivitas ribawi dan inilah indahnya hidup dalam sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah.

Wallahu a’lam bishshawab.
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak