Oleh : Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Kasus kekerasan, tidak pernah berhenti terjadi. Salah satunya di dunia pendidikan. Belum lama, dilaporkan adanya ledakan di SMAN 72 Jakarta. Ledakan terjadi saat berlangsungnya khutbah Jumat, 7 November 2025 lalu. Puluhan pelajar dilaporkan mengalami luka-luka. Setelah dilakukan penyelidikan, polisi mengamankan seorang siswa yang membawa sejumlah bahan peledak rakitan (kompas.com, 8-11-2025). Setelah dilakukan penyelidikan mendalam, pelaku terindikasi sebagai korban perundungan.
Usai insiden ledakan, Dinas Pendidikan Jakarta menerbitkan Surat Edaran Keamanan Sekolah No.38/SE/2025 tentang Peningkatan Kewaspadaan terhadap Keamanan Sekolah di Satuan Pendidikan Provinsi Jakarta. Surat Edaran tersebut diterbitkan sebagai upaya menciptakan kebijakan belajar mengajar yang aman, tertib, nyaman dan kondusif. Pendampingan fisik dan mental pun disebutkan sebagai salah satu upaya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan belajar.
Insiden serupa juga terjadi di sebuah pondok pesantren di Aceh Besar. Latar belakang insiden ini pun hampir sama. Pelaku pembakaran pondok pesantren diduga sebagai korban perundungan (detiknews.com, 1-11-2025). Tekanan yang dirasakan pelaku karena terlalu sering dibully menjadikan pelaku nekat membakar asrama tempatnya mengenyam pendidikan.
Dampak Pendidikan Sekuler
Kasus peledakan sekolah di Jakarta dan pembakaran asrama di Aceh Besar menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Kedua insiden tersebut tidak hanya sekedar masalah kriminal biasa. Namun menyangkut pendidikan dan konsepnya yang jauh dari norma agama.
Aturan agama ditinggalkan demi meluapkan emosi yang tidak terkendali. Sistem pendidikan yang diadopsi saat ini hanya difokuskan pada prestasi dan nilai akademis. Tanpa membekali para pelajar dengan nilai kualitatif melalui konsep yang shahih. Alhasil, keimanan menjadi satu hal yang mustahil terbentuk ideal. Kepribadian pun diabaikan karena semuanya diaruskan untuk aspek kognitif semata tanpa dikaitkan dengan aturan agama. Konsep inilah yang dikenal dengan konsep sekuler yang memisahkan aturan kehidupan dari aturan agama. Pelajar menjadi hilang arah dan tidak mampu mengendalikan emosi dalam diri. Di satu sisi, para pelajar dibebani dengan beban akademis yang berat. Di sisi lain, para pelajar juga tidak dibekali dengan keimanan yang cukup. Wajar saja, saat kesehatan mental menjadi satu hal yang sulit terjaga dengan baik.
Budaya barat yang berporos pada arah pandang kompetitif, liberalistik dan materialistik, secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir dan pola sikap yang dimiliki generasi saat ini. Konsep inilah yang merusak fungsi sekolah. Sekolah bukan lagi tempat menimba ilmu yang menumbuhkan empati dan akhlak yang baik. Namun sebaliknya, sekolah menjadi tempat yang tidak nyaman untuk tumbuh generasi. Dalam sistem rusak ini, sekolah justru dijadikan sebagai wadah untuk menunjukkan kekuatan dan superioritas.
Parahnya lagi, sekolah dalam sistem kapitalisme hanya dijadikan lahan bisnis yang menghasilkan materi. Pendidikan tidak mampu ditempatkan sebagai bentuk layanan yang harus diberikan negara. Keadaan ini sangat memprihatinkan. Keadaan ini pula telah melahirkan generasi yang lalai dalam perannya sebagai agen perubahan untuk mencapai kemajuan. Sekolah dalam tatanan sistem rusak ini akhirnya hanya berfungsi sebagai mesin penghasil tenaga kerja yang dibutuhkan industri guna menggenjot perekonomian negara. Akhlak dan kepribadian karimah ditinggalkan begitu saja demi tujuan dunia yang hanya sementara. Generasi hilang arah dan tidak mampu menetapkan tujuan utama kehidupan.
Islam Menuntun Generasi
Pendidikan dalam Islam merupakan salah satu layanan yang wajib dijamin negara. Pendidikan tidak diposisikan sebagai objek bisnis. Sehingga kurikulum yang ditetapkan memiliki fokus utama untuk mencerdaskan generasi.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Seorang pemimpin adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.”
(HR. Bukhari Muslim)
Konsep pendidikan Islam memiliki tujuan dan strategi jelas yakni membentuk individu berkepribadian Islam yang senantiasa menerapkan hukum syarak secara utuh dan menyeluruh. Kurikulum pendidikan ditetapkan atas dasar akidah Islam. Tuntunan halal haram dan konsep benar salah menjadi satu-satunya panduan yang mampu mendidik generasi agar memililki pola pikir dan pola sikap sesuai hukum syarak.
Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat tumbuh kembang generasi yang nyaman dan aman. Negara pun memiliki seperangkat regulasi untuk menjamin keberadaan sekolah sebagai wadah untuk meningkatkan berbagai bidang ilmu, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sekolah tidak lagi sebagai tempat yang menonjolkan superioritas. Namun, sekolah menjadi tempat belajar generasi agar mampu memadukan dan menempatkan setiap ilmu sebagai sarana ketundukan dan ketaatan pada Sang Khalik.
Masa kekhilafahan Abbasiyyah (750-1258 M) merupakan salah satu masa keemasan sistem pendidikan Islam. Strategi pendidikan dengan menanamkan tazkiyah an nafs (pembinaan akhlak dan adab) sejak pendidikan dasar. Tujuannya agar generasi mampu tumbuh dengan jiwa lembut penuh kasih sayang dan memiliki sifat penyabar. Dalam sistem pendidikan Islam juga diajarkan agar saling menghormati antar madzhab, tidak berbicara kasar, menghindari penghinaan dan santun dalam menyampaikan pendapat. Sekolah menjadi satu lembaga yang tertib, ramah dan tenang sehingga mampu meminimalisir pertikaian.
Generasi Abbasiyah lahir dan tumbuh menjadi cendekiawan muslim yang berilmu tinggi dengan mengedepankan adab dan akhlak. Diantaranya, Imam al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu al Kindi dan al Farobi yang terkenal dalam dunia pendidikan.
Inilah konsep yang diusung sistem Islam dalam wadah khilafah. Dengannya generasi mampu menjadi kekuatan peradaban. Rahmat lil 'alamiin tercurah untuk alam semesta.
Wallahu alam bisshowwab.
Tags
Opini