MBG: Janji Populis di Tengah Krisis Sistemik

Oleh: Susi


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan. Dengan dalih pemerataan gizi dan kepedulian sosial, program ini diklaim sebagai langkah besar untuk menyejahterakan rakyat kecil. Namun, di lapangan, banyak yang menilai MBG tak lebih dari kebijakan populis yang penuh janji, tapi minim solusi jangka panjang.

Secara konsep, memberi makan rakyat memang terlihat baik. Tapi jika ditelisik lebih dalam, MBG justru memperlihatkan cacat struktural dalam sistem ekonomi saat ini.
Pertama, dari sisi pembiayaan, program ini membutuhkan dana besar dan berulang. Di tengah defisit anggaran dan utang negara yang menumpuk, kebijakan seperti MBG hanya akan menambah beban fiskal. Pemerintah terpaksa menutup kekurangan dengan pajak baru atau pinjaman luar negeri — yang pada akhirnya justru membebani rakyat sendiri.

Kedua, program populis seperti ini sering dijalankan untuk pencitraan politik. Rakyat dijadikan objek promosi, bukan subjek pemberdayaan. Bantuan diberikan bukan untuk menumbuhkan kemandirian, melainkan untuk membeli simpati.

Ketiga, rawan korupsi dan penyimpangan. Pengadaan bahan makanan, kontrak distribusi, hingga penentuan penerima manfaat sering kali menjadi lahan empuk bagi praktik tidak amanah. Banyak laporan di masa lalu membuktikan bahwa program bantuan serupa sering bocor di jalan.


Islam Menawarkan Solusi Sistemik

Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah kewajiban negara, bukan alat politik. Bedanya, Islam menanganinya bukan dengan pendekatan proyek populis, melainkan dengan sistem yang adil, produktif, dan berkelanjutan.

1. Negara sebagai penanggung jawab kesejahteraan
Dalam Islam, penguasa wajib menjamin kebutuhan dasar setiap individu — makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan — terpenuhi secara layak. Rasulullah ﷺ bersabda:
Imam adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Pendanaan dari sumber halal dan stabil
Islam memiliki mekanisme ekonomi yang kokoh: pemasukan negara berasal dari zakat, kharaj, fai’, jizyah, dan hasil pengelolaan sumber daya alam yang menjadi milik umum seperti tambang dan energi. Dengan sumber-sumber itu, negara dapat membiayai kebutuhan rakyat tanpa bergantung pada utang ribawi.

3. Distribusi kekayaan yang adil dan pemberdayaan rakyat
Islam melarang penumpukan harta dan memerintahkan distribusi yang adil. Negara tidak hanya memberi bantuan, tetapi juga membuka lapangan kerja, mendorong produktivitas, dan memastikan rakyat memiliki akses terhadap sumber ekonomi.

4. Kepemimpinan amanah dan sistem bersih dari korupsi
Dalam sistem Islam, penguasa bukan penguasa korporat, melainkan pelayan rakyat. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang termasuk dosa besar. Negara wajib memiliki lembaga pengawas (hisbah) yang memastikan semua kebijakan dijalankan dengan jujur dan sesuai syariat.


Penutup

Program MBG hanyalah tambal sulam dari sistem yang rusak. Ia menyentuh gejala, tapi mengabaikan akar masalah: ketimpangan ekonomi dan lemahnya tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Islam menawarkan solusi menyeluruh dan berkeadilan. Bukan sekadar memberi makan gratis, tapi membangun tatanan yang menjamin kesejahteraan semua orang — melalui kepemimpinan amanah, ekonomi halal, dan distribusi kekayaan yang merata.
Selama sistem ekonomi dan politik masih berpijak pada kepentingan pragmatis, program seperti MBG akan terus menjadi janji populis tanpa hasil nyata. Hanya dengan kembali pada nilai dan sistem Islam yang kaffah, kesejahteraan sejati bisa terwujud — bukan sebagai pencitraan, tapi sebagai tanggung jawab dan amanah dari Allah SWT.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak