Perceraian Merebak Ko Bisa?


Oleh : Epi Lisnawati
(Pemerhati Masalah Keluarga dan Sosial)


Tren perceraian beberapa pekan terakhir terus mengalami peningkatan. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa perceraian kini kian marak dalam kehidupan sosial masyarakat. Kasus perceraian terjadi di berbagai kalangan baik pada pasangan muda maupun mereka yang telah lama menikah bahkan di usia senja.

Melansir data dari BPS sepanjang 2024 terdapat 399.921 kasus perceraian, sedikit menurun dibanding 2023 yang mencapai 408.347 kasus. 
Sementara itu, jumlah pernikahan justru terus merosot. Dari 1,78 juta pernikahan pada 2020, angka tersebut menyusut menjadi hanya 1,47 juta pada 2024.

Menariknya, struktur perceraian di Indonesia masih didominasi oleh cerai gugat, yakni gugatan yang diajukan oleh pihak istri. Pada 2024, cerai gugat mencapai 308.956 kasus, atau sekitar 77% dari total perceraian, jauh di atas cerai talak oleh pihak suami yang berjumlah 85.652 kasus. Angka menunjukan bahwa perempuan semakin berani mengambil keputusan hukum untuk mengakhiri hubungan pernikahan yang tidak sehat.

Perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi penyebab utama perceraian, dengan 251.125 kasus, setara 63% dari total perceraian nasional 2024. Faktor ekonomi menempati urutan kedua dengan 100.198 kasus, menggambarkan masih rapuhnya fondasi finansial dalam rumah tangga. Sementara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tercatat 7.243 kasus.
(cnbc.indonesia.com, 26 Oktober 2025)

Tingginya angka perceraian di Indonesia bukan sekedar persoalan rumah tangga, melainkan cerminan rapuhnya bangunan sosial yang berdiri di atas pondasi yang salah. Beragam faktor yang memicu perceraian mulai dari pertengkaran, tekanan ekonomi, KDRT hingga perselingkuhan dan judi online. 

Semua ini berpangkal pada satu hal, yakni lemahnya pemahaman masyarakat tentang hakikat pernikahan. Saat ini masyarakat memandang pernikahan hanya sebagai urusan pribadi atau bahkan sebagai sarana pemenuhan hasrat dan kenyamanan semata, maka tak heran jika sedikit konflik langsung berujung pada perceraian.

Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah mitsaqon gholidzon atau perjanjian yang kuat, bukan sekedar kontrak sosial atau hubungan emosional semata. Pernikahan adalah institusi yang dibangun atas dasar ketakwaan dengan tujuan menjaga kehormatan, melanjutkan keturunan, dan mewujudkan ketentraman hidup dalam rida Allah Swt. 

Dalam sistem kapitalisme sekuler, kebebasan individu dan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Hubungan antar individu diukur dari manfaat dan kepuasan yang diperoleh, bukan lagi sebagai kewajiban dari Allah untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. 

Masalah ekonomi yang menjadi pemicu perceraian juga menunjukkan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan negara saat ini gagal menyejahterakan rakyatnya. Sistem ekonomi ini meniscayakan kekayaan berputar pada segelintir elit dan penguasa. Sedangkan mayoritas rakyat dibebani pajak, komersialisasi layanan publik hingga mahalnya harga kebutuhan pokok.  

Sistem Kapitalisme sekuler juga telah menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan publik. Agama dipisahkan dari pendidikan, media, dan kebijakan negara. sehingga cara pandang menjadi liberal, bebas mencintai, bebas menikah, dan bebas pula berpisah. 

Kapitalisme juga mendorong perempuan keluar dari peran utamanya sebagai pendidik generasi dengan dalih kemandirian. Padahal sistem ini hanya menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja murah demi kepentingan pasar. Tekanan ekonomi dan peran ganda membuat banyak perempuan akhirnya memilih perceraian sebagai bentuk kebebasan. 

Dalam Islam, persoalan perceraian tidak bisa diselesaikan hanya melalui bimbingan konseling atau nasehat moral semata, tetapi harus dengan perubahan sistemik yang menyentuh akar penyebabnya. 

Dalam Islam, ketahanan keluarga dibangun di atas tiga pilar utama, yakni kepribadian Islam yang kokoh pada individu, masyarakat islami, dan jaminan kesejahteraan dan perlindungan oleh negara melalui sistem politik dan ekonomi Islam. 

Sistem pendidikan Islam memiliki peran sentral dalam membentuk kepribadian islami atau syakhsiyah islamiah. Sejak dini, individu dibina agar memiliki pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan akidah Islam. Pendidikan bukan sekedar transfer pengetahuan, melainkan proses pembentukan iman, takwa, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah.

Rasulullah saw bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR Al-Bukhari dan Muslim). 

Dengan pendidikan seperti ini, laki-laki disiapkan menjadi qawam atau pemimpin dan penanggung jawab keluarga. Sementara perempuan disiapkan menjadi ummun warobatul bait atau ibu dan pengatur rumah tangga. Keduanya memahami bahwa pernikahan bukan karena mengejar kenikmatan dunia, melainkan ibadah untuk mewujudkan ketenangan dan ketaatan kepada Allah Swt. 

Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS Ar-Rum ayat 21 “Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS Ar-Rum ayat 21).

Dalam Islam, kesejahteraan keluarga akan tercapai dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam oleh Negara. Kemudian negara juga wajib menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, menyediakan lapangan kerja, dan menjaga harga kebutuhan pokok agar terjangkau. 

Alhasil dalam sistem Islam ini, suami tidak terbebani oleh tekanan ekonomi yang berlebihan. Istri tidak harus menanggung peran ganda dan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang stabil. Maka hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, ketahanan keluarga dapat ditegakkan dan perceraian niscaya dapat diminimalisir.
Wallahu’alam Bissawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak