Oleh. Lilik Yani (Muslimah Peduli Umat)
Bencana kelaparan mencengkeram warga Sudan. Mereka kesusahan mendapatkan pasokan makanan. Pakan ternak menjadi salah satu pilihan. Logiskah, sementara Sudan memiliki tambang emas berlimpah yang seharusnya untuk kesejahteraan warganya. Perang berkepanjangan justru dimanfaatkan negara lain memanfaatkan komoditas emas di Sudan dengan ditukar senjata.
Di mana PBB yang katanya memiliki misi perdamaian? Negara mana yang bisa diandalkan untuk mengatasi konflik di Sudan? Kini umat Sudan diserang bencana kelaparan, siapa yang peduli mereka?
Dilansir dari Kompas.id - Menurut Integrated Food Security Phase Classification (IPC), Senin (3/11/2025), bencana kelaparan terjadi di dua wilayah Sudan, yaitu Kota Al-Fashir di North Darfur dan Kota Kadugli di Kordofan Selatan. Sekitar 375.000 orang mengalami bencana kelaparan itu di dua wilayah itu per September 2025. Bencana kelaparan berpotensi menyebar ke wilayah lain. Sekitar 6,3 juta orang lainnya di seluruh Sudan sudah menghadapi tingkat kelaparan ekstrem.
Di seluruh Sudan, IPC menyatakan lebih dari 21 juta orang atau 45 persen dari populasi menghadapi kerawanan pangan akut hingga September 2025. Data ini menandai sedikit perbaikan, yaitu penurunan sebesar 6 persen, dari laporan periode Desember 2024-Mei 2025.
”Bencana kelaparan dan risiko bencana kelaparan merupakan prioritas mendesak, tetapi dua hal ini hanyalah gejala paling parah dari krisis yang jauh lebih luas dan mendalam yang memengaruhi jutaan orang di seluruh Sudan,” bunyi laporan IPC. (3/11/2025)
IPC melanjutkan, situasi saat ini adalah keadaan darurat yang disebabkan oleh manusia. Oleh karena itu, semua langkah diperlukan guna mencegah bencana lebih lanjut.
Akibat Perang Berkepanjangan di Sudan
Sejak 2023, perang yang memecah belah Sudan antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) tak kunjung usai. Lebih dari 40.000 orang telah tewas, tetapi kelompok kemanusiaan menduga angka sebenarnya lebih tinggi.
Perang juga memaksa lebih dari 14 juta orang meninggalkan rumah. Kelaparan dan wabah penyakit menimpa mereka. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, krisis di Sudan menjadi krisis kemanusiaan terburuk di dunia. SAF dan RSF terus bersaing sengit untuk merebut wilayah-wilayah di Sudan.
Pekan lalu, RSF akhirnya merebut Kota Al-Fashir dari SAF. RSF mengepung kota itu selama 18 bulan sehingga sebagian besar pasokan makanan terputus bagi puluhan ribu orang. Data korban jiwa dan kerusakan belum jelas karena akses komunikasi buruk. RSF juga telah menduduki Kota Kadugli selama berbulan-bulan. Al-Fashir dan Kadugli telah mengalami runtuhnya mata pencarian total, kelaparan, tingkat malanutrisi dan kematian yang sangat tinggi.
Bencana Kelaparan di Sudan
Lebih dari separuh penduduk Sudan Selatan diperkirakan akan menghadapi krisis pangan atau kondisi kelaparan pada musim paceklik tahun 2026, menurut laporan Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (Integrated Food Security Phase Classification/IPC).
Laporan tersebut memperkirakan sekitar 7,56 juta orang akan mengalami kerawanan pangan antara April hingga Juli 2026, sementara lebih dari 2 juta anak diproyeksikan menderita gizi buruk akut.
Tingkat kerawanan pangan dan malnutrisi di Sudan Selatan masih sangat tinggi, dipicu oleh konflik lokal dan ketidakamanan sipil yang menyebabkan jutaan orang mengungsi, serta banjir besar yang mengganggu mata pencaharian dan produksi pertanian.
Menurut laporan gabungan badan-badan PBB dan pemerintah Sudan Selatan, sekitar 5,97 juta orang, atau 42% populasi, tengah menghadapi krisis pangan serius antara September dan November 2025. Dari jumlah itu, 1,3 juta orang berada dalam kondisi darurat (Fase 4 IPC) dan 28.000 orang berada dalam kondisi bencana (Fase 5 IPC). Kabupaten Luakpiny/Nasir di negara bagian Upper Nile bahkan berisiko mengalami kelaparan pada skenario terburuk.
Kelaparan yang kita saksikan di Sudan Selatan sebagian besar disebabkan terganggunya musim pertanian dan sistem pangan yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan nasional. Mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan dan memulihkan sistem pangan menjadi kunci untuk mengakhiri kelaparan. Ketika lahan kembali bisa ditanami dan pasar berfungsi normal, keluarga akan kembali mendapatkan kembali sejahtera.
Laporan tersebut juga menyoroti terbatasnya akses kemanusiaan sebagai salah satu tantangan paling serius. Di banyak wilayah, ketidakamanan, penjarahan, infrastruktur jalan yang buruk, dan banjir telah mengisolasi komunitas selama berbulan-bulan, sehingga bantuan penyelamatan jiwa sulit disalurkan dan memperburuk kerentanan masyarakat
Respon Negara Lain terhadap Sudan
Respons dari negara-negara Muslim terhadap krisis di Sudan beragam, mencakup upaya mediasi oleh beberapa negara, penyaluran bantuan kemanusiaan oleh organisasi Islam, dan pernyataan politik yang mengecam kekerasan, meskipun koordinasi terpadu kadang terhambat oleh kepentingan politik yang berbeda.
Berikut adalah rincian respon tersebut:
1. Upaya Mediasi dan Politik
Negara-negara Teluk dan Mesir: Beberapa negara, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir, terlibat dalam upaya mediasi bersama Amerika Serikat (dikenal sebagai "Quad") untuk mencapai gencatan senjata dan solusi politik. Mesir secara khusus meluncurkan KTT regional untuk mencegah perang saudara berlanjut.
Usulan Mediasi Alternatif Pemerintah Sudan sendiri sempat mengusulkan agar Turki dan Qatar dilibatkan sebagai mediator tambahan, menunjukkan keinginan untuk mediasi yang lebih inklusif dengan negara-negara Muslim berpengaruh.
Namun lima negara Arab secara terbuka mengecam aksi-aksi pemberontak Pasukan Pendukung Cepat (RSF) setelah laporan pembantaian 2.000 orang di Sudan.
Organisasi regional Afrika, IGAD (Otoritas Antarpemerintah untuk Pembangunan), yang beranggotakan beberapa negara Muslim, telah lama terlibat dalam upaya penyelesaian konflik di Sudan, termasuk melalui Perjanjian Perdamaian Komprehensif (Comprehensive Peace Agreement) di masa lalu.
2. Bantuan Kemanusiaan
Organisasi kemanusiaan seperti Islamic Relief Worldwide dan yayasan lainnya aktif menggalang dana dan menyalurkan bantuan darurat untuk jutaan warga sipil Sudan yang membutuhkan.
Berbagai kelompok dan tokoh Muslim, termasuk di Indonesia, menyerukan umat Islam untuk bersatu dan bertindak membantu krisis kemanusiaan di Sudan, yang sering kali disebut sebagai "krisis yang terlupakan" di tengah perhatian global terhadap konflik lain seperti di Gaza.
3. Dinamika Internal
Kepentingan Berbeda: Meskipun solidaritas keagamaan, kepentingan geopolitik yang berbeda terkadang memengaruhi tingkat dan sifat keterlibatan masing-masing negara Muslim. Ada pandangan kritis dari beberapa pihak yang menyoroti kurangnya persatuan di antara para pemimpin Muslim dalam menghadapi krisis Sudan.
Pada awal konflik yang memburuk, banyak negara, termasuk negara-negara Muslim, fokus utama pada evakuasi warga negara mereka sendiri dari zona pertempuran. Secara keseluruhan, respon negara-negara Muslim mencakup spektrum penuh dari diplomasi tingkat tinggi dan upaya perdamaian hingga bantuan kemanusiaan di lapangan, meskipun tantangan politik dan logistik tetap ada.
Solusi Terbaik untuk Kasus Sudan
Menurut pandangan Islam, akar masalah krisis Sudan terletak pada campur tangan Barat yang bertujuan menguras kekayaan alam Sudan, dan solusinya adalah penerapan sistem pemerintahan Islam global (Khilafah) yang mempersatukan umat Islam.
Beberapa poin kunci dari solusi yang bisa diusulkan antara lain:
- Menghentikan Campur Tangan Asing: Krisis di Sudan dipandang sebagai akibat dari hegemoni kekuatan Barat yang menggunakan proksi (pihak-pihak lokal) untuk memelihara kepentingan mereka, sehingga solusi pertama adalah menolak segala bentuk intervensi asing yang memperburuk konflik.
- Penerapan Syariat Islam Secara Komprehensif: Pandangan ini menekankan bahwa Sudan, yang mayoritas penduduknya Muslim, sebelumnya telah mencoba menerapkan syariat Islam sebagai dasar negara, namun praktik bernegara saat itu dianggap masih belum sesuai dengan prinsip Islam yang komprehensif, sehingga perlunya penerapan syariat secara penuh.
- Urgensi Kepemimpinan Islam Global: Solusi mendasar yang ditawarkan adalah mengembalikan kepemimpinan Islam global (Khilafah) yang dianggap mampu mempersatukan negeri-negeri Muslim, termasuk Sudan, dan melindungi mereka dari eksploitasi dan perpecahan politik.
- Persatuan Umat Islam: Kaum Muslimin di Sudan dan di seluruh dunia didorong untuk bersatu dan menolak perpecahan yang didorong oleh kepentingan geopolitik.
Secara ringkas, solusi Islam kaffah untuk Sudan bersifat ideologis dan sistemik, berfokus pada penolakan pengaruh Barat dan penerapan sistem pemerintahan Islam yang utuh untuk mencapai stabilitas dan kemakmuran.
Wallahualam bissawab
Tags
opini
