Lonjakan Perceraian: Saat Keluarga Runtuh, Generasi Terancam Rapuh



Oleh Suhartini


Tingginya angka perceraian di Indonesia menunjukkan masih tingginya tantangan dalam stabilitas rumah tangga, dan sementara jumlah pernikahan justru menurun secara signifikan. Tahun 2023 tercatat sebanyak 463.654 kasus perceraian, namun jumlah pernikahan dalam beberapa tahun terakhir terus melemah, dari lebih dari 1,7 juta pada tahun 2021 menjadi sekitar 1,48 juta pada tahun 2024. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun semakin sedikit pasangan yang menikah, kebutuhan akan kesiapan sosial-ekonomi dan dukungan keluarga semakin penting agar rumah tangga yang terbentuk dapat bertahan.

Tren perceraian di Indonesia terjadi peningkatan baik itu antara pasangan yang menikah di usia muda namun juga di kalangan usia senja, fenomena yang dikenal dengan “grey divorce”. Pasangan yang menikah terlalu dini tanpa kesiapan emosional dan finansial sering kali menghadapi risiko perceraian yang lebih tinggi. Sementara itu banyak perceraian terjadi di usia lanjut, pasangan yang menikah lama kemudian memutuskan berpisah setelah usia 50 tahun ke atas, menjadi gejala yang makin umum, didorong oleh perubahan nilai, kemandirian finansial, dan ekspektasi hidup baru. 

Penyebab Utama Perceraian

Penyebab perceraian dipicu oleh berbagai factor, mulai dari pertengkaran rutin yang tak kunjung terselesaikan, tekanan ekonomi yang membebani rumah tangga, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan yang menghancurkan kepercayaan, hingga fenomena gaya hidup seperti judi atau judol yang mengganggu stabilitas keluarga. Sebuah kajian menemukan bahwa disfungsi rumah tangga seperti “tidak ada keharmonisan” mencakup 37,6 % dari penyebab perceraian di satu wilayah Indonesia, diikuti faktor ekonomi 25,8 % dan tanggung-jawab yang tidak dipenuhi 22,1 %. Semua ini menunjukkan bahwa di balik lonjakan angka perceraian, terdapat kelemahan mendasar dalam pemahaman masyarakat tentang makna dan komitmen pernikahan, bahwa menikah bukan sekadar upacara atau status sosial, melainkan tanggung-jawab emosional, moral, dan ekonomi yang membutuhkan kesiapan penuh.
Perceraian memiliki dampak yang sangat serius terhadap ketahanan keluarga, ketika rumah tangga yang seharusnya menjadi benteng perlindungan runtuh, maka generasi penerus juga ikut terdampak dan menjadi rapuh. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai lebih besar kemungkinan mengalami penurunan prestasi akademik, masalah emosional seperti kecemasan dan rendahnya kepercayaan diri, bahkan meningkat risiko terlibat perilaku berisiko. Selain itu, adanya perceraian seringkali disertai dengan penurunan pendapatan dan perubahan tempat tinggal, yang memperlemah fondasi ekonomi keluarga sehingga anak-anak kehilangan stabilitas sosial dan ekonomi dasar. Pada akhirnya, bukan hanya dampak langsung terhadap orang tua dan anak-anak, tetapi juga muncul pola warisan keluarga yang kurang stabil, karena anak dari keluarga yang terpecah cenderung memiliki peluang lebih tinggi untuk mengalami ketidakstabilan rumah tangga sendiri di masa depan. 

Sumber dari permasalah tersebut merupakan buah dari sistem sekuler-kapitalis yang mengubah pola sistem pendidikan, pergaulan sosial, dan politik-ekonomi modern telah melemahkan ketahanan keluarga dan membuat generasi menjadi rapuh. Dalam sistem pendidikan-sekuler, nilai-spiritualitas, tanggung jawab keluarga, dan kolektivitas sosial sering digeser oleh logika kompetisi individual dan orientasi karier semata, sehingga pendidikan berubah lebih sebagai alat mobilitas ekonomi bukannya pembentukan karakter dan ikatan sosial. Misalnya, studi menunjukkan bahwa proses sekularisasi dan diferensiasi institusi sosial mengakibatkan keluarga tidak lagi menjadi unit produktif dan sosial utama sebagaimana pada era tradisional. 

Sementara itu, sistem pergaulan yang disfokus pada konsumsi, kebebasan personal tanpa batas, dan gaya hidup materialistik membuat hubungan antar-anggota keluarga melemah, waktu bersama menipis, dan rasa solidaritas antar-generasi usang menjadi tantangan. Dalam ranah politik-ekonomi, kapitalisme telah mengubah keluarga menjadi unit konsumsi dan produksi yang rentan tekanan pasar: jam kerja panjang, tekanan finansial, kebutuhan konsumerisme, semuanya menyisakan sedikit ruang untuk pembinaan keluarga dan pengasuhan bermakna Akibatnya, ketika pondasi keluarga rapuh, generasi muda tumbuh dalam ketidakstabilan emosional, sosial, dan ekonomi membawa dampak jangka panjang pada harmoni rumah tangga dan kualitas regenerasi masyarakat.

Solusi Islam

Point Pertama sistem pendidikan Islam berperan penting dalam mengantarkan generasi muda menuju pembinaan kepribadian Islam yang kokoh dan siap membangun keluarga samara dengan nilai-nilai Islam sebagai fondasi. Melalui integrasi nilai-nilai akhlak seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin dan kepedulian sosial dalam kurikulum dan lingkungan pembelajaran, peserta didik dibentuk untuk tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga matang secara karakter. Selanjutnya akan melahirkan kepribadian yang kuat dan berlandaskan ajaran Islam, mereka terbentuk menjadi individu yang siap memasuki kehidupan berkeluarga untuk menjalin rumah tangga dengan prinsip samara (kebahagiaan dan ketentraman), bukan sekadar memenuhi ritual atau norma sosial semata.

Point 2 Sistem pergaulan Islam menjaga hubungan dalam keluarga dan sosial masyarakat tetap harmonis berlandaskan ketakwaan yaitu kesadaran dan ketaatan kepada Allah sebagai dasar interaksi antar-anggota keluarga dan komunitas. Dalam ranah keluarga, Islam menekankan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), saling menghormati dan komunikasi yang baik sebagai pondasi keharmonisan rumah tangga. Di level sosial, hubungan antar-tetangga, teman, dan masyarakat luas dibentuk oleh etika seperti jujur, amanah, sopan santun, serta saling tolong-menolong dalam kebaikan, sebagaimana firman Allah: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…”. Ketika individu-individu hidup dengan kesadaran takwa, maka sistem pergaulannya menumbuhkan lingkungan yang aman, erat, dan produktif, sehingga keluarga tidak hanya menjadi unit individual, melainkan bagian integral dari masyarakat yang rukun dan beradab.

Point 3 Sistem politik-ekonomi Islam meyakini bahwa kesejahteraan keluarga dan masyarakat dapat dijamin secara menyeluruh melalui kerangka yang berlandaskan prinsip syariah yakni keadilan, pemerataan, dan tanggung jawab bersama. Misalnya, dalam konsep ekonomi Islam disebutkan bahwa sistem ini tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan pendapatan atau akumulasi barang, melainkan menekankan pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu dan menjaga agar distribusi sumber-daya tetap adil bagi semua lapisan masyarakat. Lebih jauh lagi, negara dalam kerangka politik ekonomi Islam memiliki tanggung jawab untuk menjamin pendidikan, kesehatan, dan keamanan sosial sebagai bagian dari pemenuhannya terhadap maqāṣid al-syarīʿah: agama (dīn), nyawa (nafs), akal (ʿaql), keturunan (nasl), dan harta (māl). Melalui mekanisme seperti zakāt, waqf, infak, dan regulasi ekonomi yang menghindari riba atau eksploitasi, sistem ini ingin memastikan bahwa keluarga-keluarga tidak mengalami keruntuhan ekonomi, dan masyarakat luas memiliki fondasi ekonomi sosial yang kuat untuk berkembang secara harmonis.
Wallahu a'lam Bish Shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak