Oleh : Ade Irma
Lagi, derita kaum Muslim di negeri lain kian terdengar. Akhir-akhir ini media diberitakan terkait konflik Sudan yang kian membara. Konflik tersebut sudah dimulai sejak satu setengah tahun yang lalu. Konflik Sudan ini telah memakan korban lebih dari 14.000 warga sipil akibat kelaparan dan pengeboman, dan eksekusi di luar jalur hukum (Republika, 31/10/2025).
Konflik ini bermula pada bulan April 2023. Saat itu terjadi pertempuran antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan milisi Rapid Support Forces (RSF). Sejak saat itu Kondisi Sudan ini semakin diperparah oleh kelaparan yang ada di beberapa wilayah utama Sudan. Ditambah lagi dengan adanya blokade dan kekerasan pada akses bantuan kemanusiaan. Hal ini sebagaimana yang ada dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) (Jawa Pos, 4/11/2025).
Sebenarnya apa yang terjadi dengan Sudan, hingga banyak derita terjadi disana dan terjadi peperangan. Ternyata Sudan adalah negara terbesar ketiga di Afrika, mayoritas penduduknya Muslim. Negeri ini memiliki piramida lebih banyak dari Mesir, Sungai Nil yang lebih panjang, serta kekayaan alam melimpah: cadangan minyak lebih dari 3 miliar barel, emas 1.550 ton, getah Arab (gum arabic), dan uranium di Pegunungan Nuba. Ironisnya, di tengah limpahan sumber daya itu, Sudan justru tenggelam dalam krisis kemanusiaan panjang dan tak berkesudahan.
Krisis Sudan bukan sekadar konflik etnis atau perebutan kekuasaan dua jenderal. Ini adalah pertarungan geopolitik antara dua kekuatan kolonial lama—Amerika Serikat dan Inggris—yang memperebutkan pengaruh di negeri Muslim kaya SDA.
Sejak abad ke-19, Inggris menjajah Sudan dengan politik divide et impera—memecah antara utara yang Arab-Muslim dan selatan yang animis dan Kristen. Inggris bahkan membuka jalan bagi misionaris untuk menanamkan ideologi Barat. Setelah Sudan merdeka tahun 1956, dominasi Inggris perlahan digeser oleh Amerika Serikat yang menggunakan kedok “demokrasi” dan “bantuan kemanusiaan” untuk menancapkan hegemoninya.
Sudan memiliki minyak, emas, gas alam, dan banyak mineral strategis. Selain itu Sudan memiliki tanah yang subur serta energi terbarukan. Hal ini tentu menggiurkan bagi negara-negara besar tersebut.
Selain itu Sudan memiliki letak geografis yang strategis karena berbatasan dengan tujuh negara dan adanya akses langsung ke Laut Merah. Sudan juga berfungsi sebagai penghubung antara Afrika Utara dan Timur. Yang akhirnya jadi incaran negara-negara besar itu.
Di sisi lain konflik ini justru melibatkan kaum muslimin sebagai korban terbanyak. Sudan adalah salah satu negeri Islam. Keberadaan Inggris dan Amerika sebagai kampium dari negara Kapitalis harusnya bisa membuka mata kita bahwa ada pertarungan ideologi disana.
Jalan keluar dari krisis yang menimpa Sudan dan negeri-negeri Muslim lainnya bukanlah intervensi Barat, bukan pula konferensi damai yang hanya menjadi alat tawar-menawar kepentingan asing. Solusi sejati hanya ketika umat kembali kepada sistem Islam yang paripurna.
Khilafah sebagai institusi politik Islam akan mengelola kekayaan alam dengan amanah dan keadilan, memastikan hasilnya dinikmati rakyat, bukan korporasi asing. Negara ini akan menyatukan potensi umat dalam satu kepemimpinan yang independen dari Barat, serta melindungi darah, kehormatan, dan harta kaum Muslimin dari serangan musuh.
Oleh karenanya penting bagi negeri-negeri kaum muslimin untuk bersatu dalam satu negara. Sehingga mampu bersanding dan bersaing dengan negara adidaya Kapitalis saat ini. Negara kesatuan ini sebagaimana yang telah ada dan berjalan selama berabad-abad yaitu Khilafah Islamiyah.
Dengannya maka kaum muslimin akan bisa bersatu dalam komando satu pemimpin yaitu Khalifah. Keberadaan Khalifah ini akan menyatukan potensi besar yang ada pada negeri-negeri kaum muslimin. Baik potensi sumber daya alam, kekuatan militer, kekayaan intelektual dan lain sebagainya. Dan akhirnya mampu menghilangkan derita kaum Muslim bukan hanya di Sudan, Palestina tapi juga di negeri-negeri Islam lainnya.
Wallahu a'lam
Tags
opini
