Oleh : Annisa A
Kasus bunuh diri yang kembali terjadi di kalangan pelajar Indonesia dalam beberapa pekan terakhir harus menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan kita. Dalam satu minggu saja, dua anak ditemukan meninggal diduga akibat bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat. Tak lama berselang, dua siswa SMP di Kota Sawahlunto, Bagindo dan Arif juga ditemukan bunuh diri di lingkungan sekolah, bahkan setelah penyelidikan polisi tidak menemukan adanya tindak bullying. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa persoalan bunuh diri pada pelajar jauh lebih kompleks dan tidak selalu berakar pada kekerasan teman sebaya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono (30/10/2025) mengungkap temuan besar dari program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis: lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental, dari total 20 juta jiwa yang diperiksa. Angka ini bukan hanya data, tetapi gambaran jelas tentang rapuhnya kondisi psikologis generasi muda rapuh yang tidak lahir dari ruang hampa.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa sistem pendidikan sekuler gagal membangun kepribadian yang kuat pada anak. Pendidikan hari ini hanya mengejar prestasi akademik, rangking, dan kompetisi tanpa henti, sementara fondasi akidah dan spiritualitas hanya diajarkan sebatas teori, tidak membekas dalam sikap dan cara berpikir. Anak tumbuh mengejar nilai, bukan makna. Saat tekanan datang, mereka tidak memiliki pegangan emosional dan spiritual untuk bertahan.
Di sisi lain, paradigma pendidikan Barat yang menetapkan anak “dewasa” pada usia 18 tahun membuat banyak remaja yang sudah balig tetap diperlakukan sebagai anak kecil. Mereka tidak diarahkan untuk menjadi aqil mampu membedakan dan menyikapi persoalan hidup secara matang. Akibatnya, remaja kehilangan arah dan mudah terjatuh pada keputusan ekstrem.
Bunuh diri adalah puncak dari runtuhnya kesehatan mental, dan gangguan mental sendiri adalah buah dari berbagai tekanan hidup: kesulitan ekonomi, konflik keluarga, perceraian, pergaulan bebas, dan tuntutan gaya hidup yang dibentuk oleh sistem kapitalisme. Belum lagi paparan media sosial, termasuk tren komunitas “curhat bunuh diri” dan glorifikasi self-harm, yang tanpa disadari mendorong anak-anak makin rentan meniru perilaku berbahaya tersebut.
Di sinilah pentingnya melihat kembali pendidikan berbasis akidah Islam. Dalam Islam, keluarga dan sekolah menjadikan akidah sebagai dasar utama pembentukan kepribadian. Anak dibimbing bukan hanya untuk mengetahui benar atau salah, tapi menjadikannya pola pikir dan pola sikap yang melekat dalam keseharian. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islami: cara berpikir yang lurus, cara bersikap yang terarah, dan keteguhan menghadapi ujian hidup.
Selain itu, Islam mengarahkan anak balig untuk menjadi aqil, bukan sekadar “dewasa secara umur”. Pendidikan sebelum balig justru menjadi masa terpenting untuk mematangkan akhlak, spiritualitas, dan ketangguhan mental. Inilah pondasi yang mencegah anak terjerembap dalam tekanan hidup.
Sistem Islam juga menghadirkan solusi tuntas di aspek non klinis: jaminan kebutuhan pokok, stabilitas keluarga, lingkungan sosial yang sehat, hingga arah hidup yang jelas sesuai tujuan penciptaan. Semua ini menjadi benteng kokoh bagi kesehatan mental masyarakat.
Kurikulum pendidikan dalam sistem Islam seperti dalam Khilafah mengombinasikan penguatan kepribadian Islami dengan penguasaan kompetensi ilmu, sehingga murid bukan hanya cerdas, tetapi juga mampu menyikapi persoalan hidup dengan cara yang syar’i, dewasa, dan penuh kesadaran.
Lonjakan bunuh diri pelajar bukan sekadar tragedi. Ia adalah cermin dari sistem pendidikan sekuler yang gagal mendidik manusia secara utuh. Jika akar persoalan tidak diselesaikan, maka angka ini akan terus bertambah. Sudah saatnya kita membangun sistem pendidikan yang benar-benar menjaga akal, jiwa, dan masa depan anak-anak kita.
Tags
opini