Krisis Kemanusiaan Sudan: Konflik yang Terlupakan di Tengah Sorotan Gaza

Oleh: Nahra Arhan

Belum terhenti darah tertumpah di Gaza, dunia dikejutkan oleh berita genosida di Sudan. Pada 26 Oktober 2025, Al-Fasher, ibu kota negara bagian Darfour Utara daerah barat Sudan, menjadi saksi pembantaian 2.227 rakyat sipil tidak berdosa dan pengusiran 393 ribu warganya oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Pasukan yang dikomandoi Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo ini berhasil memukul mundur tentara Sudan dan merebut ibu kota setelah pengepungan selama lebih 18 bulan.

Peristiwa ini adalah puncak krisis yang sudah berlangsung lama. Beritanya baru viral karena tertutup isu Gaza, padahal situasinya tidak kalah mengerikan. Cara-cara yang dilakukan RSF dalam upaya genosida bahkan lebih brutal. Selama pengepungan, 1,2 juta penduduk kota dibiarkan lapar dan bertahan hanya dengan memakan pakan hewan. Tidak sedikit kaum perempuan yang dirudapaksa sebelum dibunuh bersama anak-anak mereka. Kaum laki-lakinya, tua maupun muda, disiksa dengan kejam, digantung di tempat-tempat umum, lalu ditembak secara massal. Semua itu sengaja mereka rekam dan videonya disebar ke seluruh dunia.

Fenomena menurunnya perhatian terhadap Sudan menunjukkan bagaimana isu kemanusiaan bersaing dalam ruang informasi global. Sejak serangan besar-besaran Israel ke Gaza pada akhir 2023, liputan media dan fokus politik internasional bergeser ke Timur Tengah. Akibatnya, konflik Sudan yang tidak kalah parah dalam jumlah korban dan skala penderitaan menjadi “krisis yang sunyi”. Banyak pihak baru mengetahui perkembangan Sudan ketika laporan tentang kelaparan dan eksodus besar-besaran muncul di media beberapa bulan terakhir.

Padahal, krisis ini bukan sekadar konflik lokal. Ada dimensi global yang turut memperburuk keadaan, seperti kepentingan politik luar negeri, perdagangan senjata, dan perebutan sumber daya alam. Sudan dikenal kaya akan emas dan minyak, dua komoditas yang sering menjadi sumber perebutan kekuasaan. Ketika kepentingan ekonomi dan geopolitik mendominasi, nasib rakyat sipil justru terpinggirkan. Sistem dunia yang berlandaskan keuntungan material semata tidak mampu memberikan perlindungan yang adil bagi masyarakat yang tertindas.

Krisis Sudan memperlihatkan kegagalan mendasar dari sistem politik dan ekonomi global saat ini. Ketika kekuasaan digunakan untuk mempertahankan kepentingan kelompok, bukan untuk melayani rakyat, maka kehancuran menjadi konsekuensinya. 

Dalam perspektif Islam, kepemimpinan adalah amanah besar yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat, menegakkan keadilan, serta menjaga kehidupan dan kehormatan manusia.

Islam menolak segala bentuk penindasan dan perebutan kekuasaan yang menimbulkan kerusakan. Al-Qur’an menegaskan bahwa pemimpin harus menegakkan hukum dengan adil dan tidak mengikuti hawa nafsu (QS. An-Nisa: 58–59). Ketika prinsip ini diabaikan, muncul kekacauan, korupsi, dan penderitaan massal seperti yang terjadi di Sudan. Melalui penerapan sistem Islam melalui tegaknya Khilafah, negara akan menjadi pelindung bagi rakyatnya, bukan seperti sistem sekarang yang menjadi sumber ketakutan dan penderitaan banyak manusia. 

Tentu saja Khilafah ini tidak akan tegak dengan sendirinya, meski keberadaannya telah dijanjikan. Khilafah harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan, sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya telah mencontohkan. Caranya adalah dengan menapaki jalan dakwah ilal Islam. Caranya dengan membangun kesadaran di tengah umat tanpa kekerasan, baik tentang kesempurnaan Islam mulai dari konsep keimanannya dan hukum-hukumnya, serta tentang bagaimana hukum-hukum itu bisa diterapkan dan menyolusi berbagai persoalan kehidupan hingga terwujud rahmat bagi seluruh alam.

Dakwah menegakkan Khilafah ini tentu tidak bisa dilakukan sendirian, melainkan harus berjamaah sebagaimana yang juga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam contohkan. Jamaah ini harus dipastikan hanya berkhidmat demi Islam, yang anggota-anggotanya diikat hanya oleh pemikiran Islam, serta bergerak secara politik di seluruh negeri untuk mempersatukan umat Islam. Jadi, bukan jamaah yang menyeru pada nasionalisme dan hanya berorientasi pada kekuasaan meski berkompromi dengan kebatilan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak