Oleh: Annisa Fauziah
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kini menjadi salah satu momok yang menakutkan di dalam kehidupan berumah tangga. Sebab, fenomena ini kini dianggap lumrah terjadi di sekitar kita. Kasus KDRT di Indonesia pada periode Januari hingga awal September 2025 ternyata cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas). Pada Januari terdapat 1.146 perkara dan terus mengalami peningkatan bertahap hingga mencapai 1.316 perkara pada bulan Mei (Goodstats.id, 14/09/2025).
Salah satu kasus yang sangat keji, yaitu suami membunuh istri dengan menganiaya terlebih dahulu lalu membakarnya untuk menghilangkan jejak. Jasad istrinya tersebut kemudian di kubur di lahan tebu. Kejadian ini terjadi di daerah Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang (Beritasatu.com, 16/10/2025).
KDRT tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga bisa berupa kekerasan seksual, psikis, dan ekonomi. Dilansir dari Kompas.com (18/10/2025), seorang ayah di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara melakukan kekerasan seksual sekitar 30 kali kepada anaknya sendiri yang berusia 15 tahun. Perbuatan tersebut berlangsung dari tahun 2022 sampai 2025. Itu baru sekadar angka yang tercatat. Tentu bisa kita bayangkan, berapa banyak kasus KDRT di lapangan?
Selain KDRT, kenakalan remaja juga menjadi permasalahan yang harus menjadi perhatian. Mulai dari kasus bullying, kekerasan seksual, hingga pembunuhan bisa dilakukan oleh remaja bahkan anak di bawah umur. Contohnya, yaitu remaja berusia 16 tahun diduga mencabuli dan membunuh anak perempuan berusia 11 tahun. Kejadian ini terjadi di daerah Cilincing, Jakarta Utara (Beritasatu.com, 15/10/2025).
Ibarat fenomena gunung es, berbagai kasus KDRT dan kekerasan remaja tidak bisa merepresentasikan secara riil efek kerusakan yang sudah terjadi di tengah masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata. Fakta ini menunjukkan rapuhnya ketahanan keluarga. Institusi keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi pasangan maupun anak untuk merasakan kasih sayang, pendidikan, dan keteladanan justru menjadi tempat yang menakutkan bahkan membahayakan.
Padahal seharusnya dari dalam keluargalah fondasi kepribadian anak-anak dibentuk. Di dalam keluarga seharusnya anak-anak akan mendapatkan profil keteladanan, pendidikan, adab, dan yang lebih penting lagi, yaitu fondasi iman. Keretakan dalam keluarga tentu akan berdampak langsung kepada perilaku anak-anak, khususnya usia remaja.
Ibarat lingkaran setan, KDRT yang dialami oleh orang tua akan memicu juga kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Sebab, mereka mencari pelarian dan rasa nyaman di lingkungan luar yang belum tentu baik. Mereka tidak lagi menjadikan orang tua sebagai profil teladan, tetapi justru menjadi sumber pertengkaran. Apa yang anak-anak saksikan dalam keseharian kehidupan rumah tangga orang tuanya tanpa sadar akan menjadi referensi mereka dalam berperilaku.
Emosi yang tidak terkontrol, kata-kata kasar, bullying, hingga kekerasan fisik pada akhirnya dinormalisasi. Semua tindakan tersebut dijadikan ajang pelampiasan dan pelarian karena anak kehilangan cinta dan kasih sayang di dalam rumah. Jika pada awalnya anak-anak ini adalah korban, selanjutnya tidak sedikit yang justru menjadi pelaku kekerasan.
Penerapan Sistem Kapitalis Sekuler Sumber Kerusakan
Semua fenomena ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menyingkirkan nilai agama dari kehidupan. Orang tua tidak lagi membangun ikatan pernikahan dengan dasar iman dan takwa, tetapi sekadar relasi yang berdasarkan kepada asas manfaat belaka.
Agama hanya dijadikan syarat saat mengucapkan ijab dan kabul pada akad pernikahan. Lalu bagaimana kehidupan setelahnya? Nyatanya, banyak pasangan yang justru membangun keluarga jauh dari aturan syariat.
Dalam mendidik anak, yang dijadikan pedoman bukan lagi berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah, tetapi berdasarkan pendidikan ala Barat yang jauh dari nilai-nilai Islam. Proses pendidikannya dibangun atas asas kebebasan tanpa batas. Bahkan bisa dibilang kebebasan yang kebablasan. Sikap individualistik semakin dikokohkan. Wajar jika akhirnya bisa merusak keharmonisan rumah tangga serta menimbulkan berbagai kenakalan remaja.
Masyarakat didorong untuk menjadikan standar kebahagiaan hanya pada sesuatu yang duniawi. Gaya hidup hedonis dan permisif membuat generasi muda menghalalkan berbagai cara agar terlihat eksis. Berbagai ujian kehidupan pada akhirnya dianggap sebagai beban yang bisa memicu keretakan dan kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi seperti ini sulit diselesaikan karena negara abai dalam menjalankan fungsinya. Jikalau menawarkan solusi, ternyata hanya sekadar solusi tambal sulam yang justru menghasilkan masalah yang baru.
Sebut saja Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Ternyata produk undang-undang buatan manusia ini terbukti tidak menyentuh akar masalah. Undang-undang ini hanya menindak secara hukum tanpa mengubah sistem yang rusak.
Islam Kafah, Solusi Tuntas Permasalahan KDRT dan Kenakalan Remaja
KDRT dan kenakalan remaja adalah permasalahan sistemis yang membutuhkan solusi sistemis. Kedua fenomena ini bukan terjadi hanya karena faktor personal yang gagal dalam membangun keluarga. Akan tetapi, ada kontribusi besar dari disfungsi peran negara dalam mengurusi berbagai permasalahan rakyatnya. Lalu, kemana kita harus mencari solusi tuntasnya? Bukankah kita tidak mau keluarga dan generasi penerus kita semakin rapuh?
Dengan demikian, perlu dihadirkan sistem yang mampu mengurusi berbagai permasalahan kehidupan sesuai dengan aturan yang berasal dari pencipta kita, yaitu Allah SWT. Sebab, aturan yang berasal dari manusia justru melahirkan banyak kerusakan. Adapun ideologi Islam yang diterapkan oleh negara akan menjadikan akidah Islam sebagai fondasi dalam perundang-undangan, pengaturan politik, pendidikan, hingga pembinaan masyarakat.
Pendidikan Islam akan menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian bertakwa dan berakhlak mulia. Tujuan pendidikan tidak hanya diarahkan untuk orientasi duniawi. Akan tetapi, visi pendidikan senantiasa dikaitkan dengan visi akhirat yang abadi.
Penerapan syariat Islam oleh negara akan melahirkan individu-individu yang bertakwa yang paham dengan aturan syariat. Mereka akan senantiasa menjadikan syariat Islam sebagai acuan dalam membangun keluarga. Baik ketika menjalankan peran sebagai suami-istri maupun orang tua. Hal ini menjadi langkah preventif munculnya KDRT.
Negara sebagai pelindung (raa’in) akan menjamin kesejahteraan dan keadilan sehingga keluarga tidak mengalami tekanan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja ataupun upah yang minim. Orang tua pada akhirnya akan memiliki waktu yang berkualitas dan energi positif untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anak di rumah. Tindakan kuratif juga sudah disiapkan oleh negara dengan memberlakukan sistem sanksi yang tegas untuk menindak perilaku KDRT dan kenakalan pada remaja. Hal ini akan menimbulkan efek jera supaya kejahatan di masyarakat tidak semakin merajalela.
Semua itu bisa terjadi karena sistem hukum di dalam Islam bisa berperan sebagai zawajir (pencegah) dan juga jawabir (penebus). Maksudnya, yaitu mencegah untuk munculnya berbagai tindak kejahatan dan sanksi yang diberikan akan menghapus dosa pelakunya di akhirat kelak. Dengan demikian, tidak akan pernah ada kejahatan yang dibiarkan begitu saja. Negara akan mendidik masyarakat agar hidup sesuai dengan syariat Islam.
Semoga tegaknya syariat Islam secara kafah dalam institusi negara bukan sekadar impian. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua permasalahan yang ada di tengah masyarakat mendorong kita untuk terus berjuang agar Islam benar-benar bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebab, hanya dengan penerapan Islam secara total, kita bisa menemukan solusi tuntas atas setiap permasalahan.
Tags
Opini