Oleh : Sri Setyowati
Aliansi Penulis Rindu Islam
Sungguh sebuah ironi ketika siswa yang identik dengan belajar justru terjerat judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol). Berawal dari bermain game online, seorang siswa SMP di Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terjerat judol dan kemudian melakukan pinjol. Untuk membayar pinjol yang mencapai Rp4 juta, ia pun meminjam uang kepada temannya dan tak bisa membayar hingga tidak masuk sekolah selama satu bulan karena malu.
Dari data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), pada November 2024 tercatat sekitar 200 ribu pelajar berusia di bawah 19 tahun dan 80 ribu pelajar di bawah usia 10 tahun terpapar aktivitas judol. Menanggapi masalah tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti menyatakan ada yang salah dalam pendidikan hari ini. Fokus sekolah hanya menyiapkan anak untuk ujian hingga melupakan pendidikan karakter. (kompas.com, 29/10/2025)
Fenomena judol sangat memprihatinkan apalagi hingga menyasar pada anak-anak. Banyak pelajar yang tidak menyadari adanya praktek judol yang mereka akses, karena dikemas dalam bentuk game online. Hal ini terjadi karena rendahnya pengawasan platform digital, literasi digital, literasi keuangan digital dan manajemen keuangan bagi pelajar.
Di samping itu, masifnya iklan judol dan pinjol di media sosial seperti YouTube, TikTok, X, dan lainnya serta bebasnya tayangan-tayangan yang tidak mendidik menjadi pemicu rasa penasaran anak-anak untuk mencoba. Hal ini didukung oleh ponsel pintar yang mereka miliki sehingga makin memberi jalan yang mudah bagi anak-anak untuk mengakses situs atau aplikasi judol.
Kondisi mental anak cenderung belum stabil. Anak belum bisa berpikir panjang dan tidak mempertimbangkan akibat dari tindakannya. Anak juga mudah tertarik pada situs-situs baru tanpa berpikir apakah itu akan menjerumuskan ke hal negatif atau tidak.
Dalam sistem kapitalisme saat ini keberhasilan dinilai dari pencapaian materi sehingga setiap orang berusaha memperoleh materi dengan cara yang cepat tanpa harus bekerja keras. Mirisnya, cara pandang tersebut sudah merasuki pemikiran anak-anak dan pelajar. Di samping itu, sistem sekuler juga telah memisahkan agama dari kehidupan sehingga halal dan haram bukan lagi menjadi tolok ukur dalam setiap perbuatan. Apa pun dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tanpa melihat benar atau salah.
Perbuatan anak-anak tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor. Di antaranya, kurangnya pengawasan dari orangtua. Gagap teknologi (gaptek) dari orang tua juga menjadikan anak terlepas dari kontrol sehingga mengakses media yang salah. Faktor lain adalah minimnya edukasi digital dari sekolah.
Faktor paling utama tentu karena peran negara yang belum maksimal dalam memblokir dan memberantas pelaku bandar judol maupun pinjol. Meski sudah ribuan situs judol dan pinjol diblokir, tetap akan muncul kembali ribuan situs baru karena dunia digital bergerak dengan cepat.
Berbeda dengan sistem Islam yang memiliki pendidikan dengan landasan akidah Islam sehingga akan terbentuk iman yang kuat. Dengan iman yang kuat akan terbentuk karakter berkepribadian Islam, yaitu berpikir dan bersikap sesuai syariat. Anak akan mampu membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan dilarang oleh syariat. Arah hidupnya pun menjadi jelas.
Di samping itu, negara akan menutup seluruh akses terhadap situs-situs yang tidak bermanfaat termasuk situs judol dan pinjol yang sudah jelas keharamannya. Hanya situs-situs yang mengajak pada kebaikan yang bisa diakses sehingga kemungkaran tidak bisa berkembang seperti saat ini.
Penegakan hukum dalam sistem Islam juga tegas dan jelas sehingga akan memberikan efek jera baik kepada bandar maupun pelaku judol dan pinjol. Dengan diterapkannya sistem Islam, kemajuan era digital akan dimanfaatkan hanya untuk memperluas wawasan dan ilmu demi kemaslahatan umat.
Sudah selayaknya kita meninggalkan sistem yang nyata-nyata tidak bisa memberikan solusi atas setiap persoalan dengan sistem yang telah terbukti selama 130 tahun mampu mengatasi setiap persoalan hidup.
Wallahu a'lam bishshawab
Tags
opini
