Ibu Benteng Pancasila, Akankah Mampu Memperbaiki Moral Bangsa?



Oleh. Novi Aulia Sari, S.Pd.
(Guru dan Aktivis Muslimah)


Peran ibu kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, bukan hanya dalam urusan domestik rumah tangga, tetapi juga dalam menjaga ideologi bangsa. DPRD Kalimantan Selatan menggagas program “Ibu Benteng Pancasila”, menggandeng berbagai komunitas perempuan untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan di lingkungan keluarga.


Dilansir dari Tribunnews (15-10-2025), program ini menyasar para ibu rumah tangga di berbagai daerah dengan harapan nilai-nilai Pancasila dapat tertanam kuat dalam kehidupan sehari-hari. DPRD Kalsel meyakini bahwa jika para ibu kuat dalam menanamkan nilai Pancasila di rumah, maka generasi muda akan terhindar dari pengaruh ideologi yang dianggap menyimpang.


Sekilas, program ini tampak mulia, seolah-olah menjadi bentuk kepedulian negara terhadap ketahanan ideologi. Namun, bila dikaji lebih mendalam, terdapat persoalan mendasar yang kerap luput dari perhatian. Gagasan ini sejatinya lahir dari paradigma sekuler-kapitalis, yakni cara pandang yang memisahkan agama dari kehidupan. 


Dalam paradigma ini, ideologi negara seperti pancasila lebih diposisikan sebagai alat integrasi sosial dan politik, bukan pedoman spiritual yang membentuk kesadaran iman masyarakat. Akibatnya, negara justru kerap melepaskan tanggung jawabnya sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan mengalihkan beban itu kepada keluarga, terutama kepada para ibu. Karena Ibu didorong menjadi pelindung ideologi, tanpa disertai sistem pendidikan, sosial, dan ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan mereka. Padahal, bagaimana mungkin seorang ibu bisa fokus mendidik dan menjaga ideologi jika kebutuhan dasar hidup saja belum terpenuhi dengan layak?


Kampanye seperti “Ibu Benteng Pancasila” secara tidak langsung menggeser fungsi utama ibu menjadi instrumen ideologisasi rumah tangga. Melalui figur ibu yang lekat dengan kasih sayang dan pengasuhan, pesan ideologis negara disebarkan ke ruang privat. Ini tampak halus, tetapi menunjukkan bahwa negara menggunakan figur ibu untuk memperkuat kendali ideologi tanpa menyentuh akar persoalan masyarakat meliputi ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan rendahnya mutu pendidikan.


Jika ditelaah, akar kerentanan ideologis bangsa bukanlah karena kurangnya nilai-nilai Pancasila di rumah, tetapi karena sistem yang berlaku tidak memberi ruang bagi nilai ketuhanan menjadi landasan dalam setiap aspek kehidupan. Ketika agama hanya dijadikan ornamen moral, sementara hukum dan kebijakan berjalan berdasarkan logika untung-rugi kapitalisme, maka ideologi bangsa pasti rapuh.


Islam menawarkan perspektif yang jauh lebih menyeluruh. Dalam pandangan Islam, ketahanan ideologi tidak dibangun di atas dasar nasionalisme atau slogan kebangsaan, tetapi di atas pondasi akidah Islam. Akidah Islam menjadi sumber seluruh aturan dari politik, ekonomi, pendidikan, hingga sosial. Ia bukan sekadar simbol spiritual, melainkan ideologi hidup yang menyatukan umat dan menuntun arah kehidupan.

Dalam Islam, peran ibu sangat strategis. Ia dimuliakan sebagai ummun wa rabbatul bait pengatur urusan rumah tangga dan pendidik utama generasi. 


Ibu adalah madrasah ula, sekolah pertama bagi anak-anak yang akan menentukan arah peradaban umat. Namun, kemuliaan itu tidak dibebani dengan tanggung jawab berat untuk menopang ekonomi atau menjaga ideologi buatan manusia. Islam menetapkan peran suami sebagai qawwam, yakni pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab nafkah keluarga. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat An-Nisa: 34, yang artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan...”


Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa tanggung jawab menjaga akidah dan arah ideologi umat bukan hanya milik individu atau keluarga, tetapi juga menjadi kewajiban pemimpin negara.


 Dalam sistem Islam, negara berperan memastikan seluruh kebijakan publik berpijak pada hukum Allah  termasuk pendidikan yang menanamkan akidah Islam sejak dini, ekonomi yang adil tanpa riba, dan media yang mendidik, bukan menyesatkan.


Oleh karena itu, ketahanan ideologi sejati tidak bisa dibangun melalui kampanye moral atau semboyan nasionalistik. Ia harus lahir dari sistem yang kafah, sistem yang menjadikan akidah Islam sebagai sumber hukum dan arah kebijakan. Dalam sistem seperti inilah, perempuan tidak dijadikan alat propaganda, tetapi dimuliakan sesuai fitrahnya sebagai penjaga peradaban.


Ibu yang dididik dengan akidah Islam akan melahirkan generasi yang tidak hanya hafal sila-sila Pancasila, tetapi memahami makna hidupnya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Generasi seperti inilah yang mampu menjaga negeri dari infiltrasi ideologi asing, bukan karena dogma nasionalisme, tetapi karena kesadaran iman.


Maka jelas, tanpa akidah, bangsa ini akan rapuh. Slogan “Ibu Benteng Pancasila” hanya akan menjadi seruan kosong jika tidak dibarengi perubahan sistemik yang mengembalikan seluruh aspek kehidupan kepada aturan Allah Swt.


Hanya dengan kembali pada Islam secara kafah, perempuan akan benar-benar dimuliakan, keluarga akan kokoh, masyarakat akan sejahtera, dan negara akan memiliki ketahanan ideologi yang sejati  ketahanan yang bersumber dari iman, bukan sekadar semboyan.



Wallahu a‘lam bishawab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak