Oleh. Irohima
(Pegiat Literasi)
Tidak ada tanda atau firasat apapun, mushala pondok Pesantren Al Khoziny yang biasanya sibuk dengan aktivitas sehari-hari, tiba-tiba ambruk menghantam lantai dan menelan korban jiwa dalam hitungan detik.
Teriakan panik memecah keheningan. Susana yang awalnya tenang lalu berubah mencekam. Tragedi ini tak hanya meruntuhkan bangunan tapi juga meninggalkan luka yang mendalam dan pertanyaan tentang keselamatan yang harusnya diutamakan.
Bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur ambruk pada Senin (29-9-2025). Menurut info, bangunan ambruk sekitar pukul 15.00 WIB, dan pada saat yang sama ada ratusan santri tengah melaksanakan shalat Ashar berjamaah di lantai 2, jatuhnya korban tidak terelakkan, mulai dari yang selamat, yang terjebak di reruntuhan, luka-luka hingga yang meninggal. Terdapat 66 santri yang dinyatakan tewas hingga pencarian hari ke-8 oleh tim SAR.
Tragedi ambruknya bangunan ponpes diduga karena fondasi yang tidak kuat menyebabkan bangunan dari lantai atas runtuh hingga ke lantai dasar. Menurut pengakuan salah satu santri yang bernama Wahid, bangunan mushala ponpes sempat goyang sebelum ambruk, pada saat shalat ashar di rakaat kedua, bagian ujung mushala ambruk dan merembet ke bagian lain gedung. Wahid juga mengatakan bahwa bangunan mushala tengah mengalami renovasi untuk membangun ruang di lantai 3 (Tempo, 29-09-2025).
Pengurus ponpes sendiri menyebutkan bahwa sebelum ambruk bangunan ponpes sedang dalam tahap pengecoran terakhir.
Buruknya konstruksi pembangunan gedung kini kembali menjadi sorotan masyarakat, bukan tanpa alasan, peristiwa ambruknya Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur telah menyita perhatian publik, apalagi ambruknya Ponpes ini menelan korban jiwa yang tak sedikit.
Banyaknya bangunan infrastruktur seperti bangunan gedung, terutama gedung sekolah atau gedung Pondok Pesantren yang konstruksinya tidak sesuai standar telah lama menjadi persoalan di negeri ini. Begitu juga dengan kasus ponpes Al khonizy, pakar tekhnik sipil struktur Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Mudji Irmawan menilai bahwa ambruknya bangunan ponpes karena keadaan bangunan yang tidak stabil dan labil. Konstruksi bangunan yang awalnya direncanakan untuk satu lantai tapi kemudian dibangun tiga lantai. Pembangunan ini tidak sesuai kondisi teknis, karena beban yang terus ditambah hingga lantai tiga tidak dihitung dan direncanakan.
Terlepas dari berbagai spekulasi penyebab runtuhnya bangunan pesantren Al-Khonizy, satu hal yang pasti bahwa bangunan gedung pondok pesantren ataupun gedung sekolah biasa yang tidak memiliki standar konstruksi merupakan persoalan sedari dulu yang tak pernah sembuh.
Jangankan konstruksi yang tidak stabil, sekolah yang jelas-jelas rusak saja banyak yang belum diperbaiki, dan berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada solusi yang pasti. Bahkan yang lebih miris lagi, masih banyak sekolah yang tidak memiliki bangunan hingga terpaksa belajar di tempat seadanya.
Situasi ini menunjukkan kegagalan negara dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang layak, memadai dan berkualitas, negara banyak melakukan pengabaian atas kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Terbukti banyak lembaga pendidikan yang berdiri atas sumbangsih masyarakat atau juga bantuan pribadi, dan karena banyaknya keterbatasan, lembaga pendidikan yang dibangun oleh masyarakat kemudian menjadi sekolah yang tak memiliki fasilitas yang layak apalagi berkualitas.
Semua permasalahan ini bermuara pada satu sebab yaitu sistem kapitalisme, sistem ini melemahkan ekonomi negara dan membuat anggaran pendidikan yang begitu minim. Tata kelola sumber daya alam ala kapitalisme membuat mayoritas SDA dikuasai swasta juga asing. Ini menyebabkan negara tak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk membiayai pendidikan karena keuntungan dari pengelolaan tentu akan masuk ke kantong-kantong swasta atau asing bukan ke dalam kas negara.
Sementara itu, pembiayaan APBN yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah yang mencakup pendapatan negara dan belanja negara, salah satunya justru berasal dari pajak dan utang. Ini berarti rakyat sendirilah yang membiayai pendidikan lewat berbagai pajak yang dibebankan. Tak cukup sampai di sini, rakyat pun masih harus memikul hutang luar negeri akibat pengelolaan APBN ala kapitalisme yang selalu bersandar pada hutang.
Telah terbukti dengan jelas bahwa tata kelola ekonomi dan anggaran ala kapitalisme telah gagal dalam menyelesaikan segala urusan rakyat termasuk urusan pendidikan, Dalam sistem ini, negara berlepas tangan dan cenderung menyerahkan kepada swasta , tak heran jika terjadi persoalan, semisal gedung sekolah/pesantren rusak tidak ditanggapi dengan cepat.
Berbeda jauh dengan Islam, tata kelola pendidikan dalam Islam mewajibkan negara untuk menyediakan pendidikan, karena pendidikan merupakan salah satu hak dasar rakyat. Negara wajib menyediakan sarana dan prasarana pendidikan secara optimal, seperti menyediakan perpustakaan, laboratorium dan memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin membuat riset berbagai cabang ilmu.
Negara dalam Islam akan membangun infrastruktur untuk memberi kemudahan akses bagi siswa atau santri seperti jalan dan alat transportasi. Negara juga akan mengelola sendiri SDA secara mandiri tanpa intervensi swasta dan asing, dan dari hasil pengelolaannya akan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara optimal. Bagi masyarakat yang memiliki kelebihan harta akan dipersilahkan untuk memberi kontribusi untuk pendidikan.
Hanya dalam Islam, sektor pendidikan akan mendapat cukup perhatian. Hanya dalam Islam pula, permasalahan sarana seperti gedung, dalam proses pembangunannya akan diawasi secara detail kelayakannya, dan segala sesuatu yang terkait dengan pembangunan sarana pendidikan akan diberikan yang terbaik. Sehingga tak perlu lagi khawatir akan bahaya ambruknya bangunan sekolah.
Wallahu a'lam bishawab
