Fenomena Bunuh Diri, Potret Generasi yang Lelah, Butuh Negara yang Melindungi

 _Oleh: Tsaqifa Farhana

Tahun 2025 akan segera berakhir, namun wajah negeri ini justru semakin muram. Hampir setiap hari, media memberitakan tragedi yang membuat hati hancur. Dan salah satu yang paling menyayat adalah berita mengenai anak-anak yang memilih mengakhiri hidup mereka sendiri.

Dalam rentang waktu sepekan di akhir Oktober, dua kasus bunuh diri anak mengguncang Jawa Barat. Di Kabupaten Cianjur, Rabu (22/10/2025) sore, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun siswa kelas V SD, ditemukan tewas tergantung di kusen pintu kamar rumah neneknya menggunakan tali sepatu. Beberapa hari kemudian, di Kabupaten Sukabumi, Selasa (28/10/2025) malam, seorang siswi kelas dua SMP berusia 14 tahun ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Kecamatan Cikembar. Surat yang ditinggalkannya mengungkap alasan tragis, ia diduga mengakhiri hidup karena dirundung di sekolah.

Tragedi serupa juga terjadi di Sumatera Barat. Siswi kelas dua SMP 2 Sawahlunto ditemukan tergantung tak bernyawa di ruang kelas saat jam pelajaran berlangsung. Ironisnya, ini bukan kasus pertama di kota tambang tersebut. Tiga pekan sebelumnya, seorang siswa SMP 7 Sawahlunto juga ditemukan meninggal dengan dugaan bunuh diri di rumahnya.

Kasus-kasus ini bukan sekadar angka di laporan kesehatan. Ini adalah alarm keras yang menjadi tanda bahaya yang seharusnya mengguncang kesadaran kita. Generasi muda yang seharusnya menjadi penerus bangsa justru tengah terperangkap dalam krisis eksistensial.

 *Bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika generasinya rapuh secara mental dan spiritual?* 

Inilah peringatan nyata bagi negara untuk berhenti abai. Pendidikan, kebijakan sosial, hingga sistem kehidupan yang membentuk anak-anak hari ini harus benar-benar dievaluasi secara menyeluruh. Karena masa depan Indonesia terletak pada kesehatan akal, jiwa, dan iman generasinya

 Islam Menyembuhkan Jiwa dan Akal 

Islam hadir dengan paradigma berbeda. Ia tidak memandang manusia hanya sebagai makhluk fisik, tetapi sebagai makhluk ruhiyah dan ‘aqliyah yang memiliki misi hidup. Karena itu, pendidikan dalam Islam berakar pada akidah, bukan sekadar capaian akademik.

Dalam sistem Islam, keluarga, sekolah, dan masyarakat memiliki arah pendidikan yang sama, yakni membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), yaitu kesatuan pola pikir dan pola sikap berdasarkan akidah. Tujuan pendidikan bukan hanya mencetak generasi berilmu, tetapi juga berjiwa kokoh dan berorientasi akhirat.

Ketika seorang anak telah baligh, Islam mengarahkan agar ia juga menjadi aqil. yakni memiliki akal matang yang memahami realitas dan menimbangnya dengan syariat. Karena itu, pendidikan sebelum balig diarahkan untuk mematangkan akal dan kepribadian, bukan sekadar mengejar prestasi.

Lebih jauh, penerapan Islam secara sistemik mencegah munculnya faktor-faktor gangguan mental dari akarnya. Islam menjamin kebutuhan pokok rakyat, menegakkan keadilan ekonomi, menjaga keharmonisan keluarga melalui sistem pernikahan dan tanggung jawab sosial yang kuat, serta memberikan arah hidup yang jelas, yakni hidup untuk beribadah kepada Allah SWT.

Kurikulum pendidikan dalam Khilafah juga memadukan antara penguatan akidah, pembentukan karakter Islami, dan penguasaan ilmu. Hasilnya adalah generasi yang cerdas sekaligus berjiwa tangguh yang mampu menghadapi tekanan dengan kesabaran dan kesadaran spiritual, bukan dengan keputusasaan.

Kita sedang menyaksikan generasi yang tumbuh dalam pusaran sistem yang merusak dan membuat kita kehilangan arah. Sistem yang memuja kebebasan tapi menelantarkan makna hidup. Sistem yang sibuk menyembuhkan gejala saja tapi menutup mata dari akar penyakit.

Maka, solusi bagi krisis kesehatan mental bukan hanya layanan konseling, kampanye mental health, atau seminar tentang self love. Semua itu baik, tapi tidak akan pernah cukup selama sistem yang membentuk manusia masih rusak secara ideologis.

Islam datang bukan sekadar memberi ketenangan spiritual, tapi menghadirkan sistem hidup yang menyeluruh (kaffah), yang menyehatkan individu, keluarga, dan masyarakat sekaligus. Dalam sistem Islam, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar, keluarga dibangun di atas ketakwaan, pendidikan berorientasi pada pembentukan akidah dan akal, dan masyarakat saling menasihati dalam kebenaran.
Inilah jalan yang benar-benar menyelamatkan manusia bukan hanya dari gangguan mental, tapi dari keputusasaan hidup tanpa arah. 

Karena di tengah dunia yang kian kehilangan makna, hanya Islam kaffah yang mampu mengembalikan manusia pada fitrahnya. Menjalani hidup dengan iman, berpikir dengan akal, dan tenang karena tahu untuk siapa ia hidup dan kepada siapa ia akan kembali.

Terakhir, pesan penulis untuk semua generasi yang tumbuh di tengah kerusakan sistem hari ini. Kita, generasi yang katanya paling bebas, justru tumbuh di tengah tekanan paling berat. Tiap hari dijejali tuntutan sukses, dibombardir citra palsu dari media, dipaksa kuat padahal rapuh.

Cukup sudah. Tak perlu ada lagi teman-teman kita yang menjadi korban akibat beracunnya sistem hari ini. Generasi muda bukan sekadar statistik kesehatan mental. Kita adalah generasi yang memiliki kesadaran politik, menyadari bahwa sistem sekuler-kapitalis hari inilah yang telah mencabut makna hidup dari manusia.

Saatnya anak muda berhenti sibuk mencari validasi, dan mulai bergerak membawa misi Islam ke seluruh dunia dengan dakwah. Dakwah bukan beban, tapi jalan penyembuhan paling hakiki. Karena hanya dengan mendakwahkan Islam kaffah, kita bisa bangkit, menegakkan arah, dan menyelamatkan generasi ini dari jurang keputusasaan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak