Darurat Perceraian, Butuh Solusi Tuntas




Oleh: Hamnah B. Lin

Dilansir oleh DCNBCIndonesia, 30/10/2025, bahwa Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2024 terjadi 399.921 kasus perceraian di Indonesia. Angka ini memang sedikit menurun dibanding 2023, namun masih jauh lebih tinggi dibanding masa pra-pandemi. Dari kasus perceraian, sekitar 77% di antaranya merupakan cerai gugat, yakni perceraian yang diajukan oleh istri.

Dari data yang dihimpun Kemenag pun, pada 2024 angka perceraian mencapai 466.359 kasus dan pernikahan mencapai 1.478.424 kejadian. Dibandingkan dengan 2023, angka perceraian mengalami kenaikan dari 463.654 kasus dan pernikahan justru berkurang dari 1.577.255 kejadian. Mirisnya lagi, sebagian besar perceraian terjadi karena istri yang menggugat cerai suami.

Berdasarkan data-data ini, Menag memandang menjadi lampu merah bagi ketahanan keluarga di Indonesia. Apalagi mayoritas mereka yang bercerai adalah pasangan muda di bawah lima tahun. Oleh sebab itu, peran BP4 bersama Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi sangat krusial dalam membentuk ketahanan keluarga.

Kemenag kemudian mencanangkan 11 langkah strategis mediasi yang dapat dilakukan oleh BP4. Menag menegaskan bahwa BP4 harus terjun melakukan mediasi rumah tangga, penyelesaian konflik, deteksi dini kekerasan dalam rumah tangga, edukasi pranikah kepada remaja, hingga bimbingan perkawinan yang berkelanjutan. (Antara News, 25-4-2025).

Tidak dimungkiri memang telah banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak. Akan tetapi, mengapa kasus perceraian ini tidak kunjung menurun, namun justru terus meningkat?

Jika kita amati, sesungguhnya berbagai upaya yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar masalah. Pernikahan tidaklah berdiri sendiri, namun aspek lain akan turut berkelindan mengitari bahtera pernikahan. Mulai dari aspek ekonomi, pergaulan, sosial, budaya bahkan perbedaan adat bisa menjadi pemicu perceraian.

Namun apabila kita dalami penyebab maraknya perceraian di Indonesia, semua bermuara pada satu hal, yaitu penerapan sistem kehidupan kapitalistik beserta turunannya, yakni liberalisme, sekularisme, dan feminisme. Sistem hidup dalam kapitalisme menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Sekularisme meniadakan peran agama dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam keluarga dan menjauhkan motivasi ibadah dalam keluarga.

Adapun liberalisme, paham yang mengedepankan kebebasan individu, penampakannya sudah begitu nyata di masyarakat. Perempuan yang tidak menutup aurat, berkhalwat, dan pergaulan yang tidak mengenal batas, menjadikan perselingkuhan marak di tengah masyarakat. Tidak hanya suami berselingkuh, istri juga sering kebablasan, terlebih dengan menjamurnya media sosial menyebabkan peluang berselingkuh makin terbuka lebar. Dalam liberalisme, masalah perselingkuhan dianggap masalah pribadi yang tidak layak dicampuri orang lain. 

Inilah sejatinya akar masalah meningkatnya kasus perceraian. Maka saatnya kita tengok kembali Islam sebagai dien, dimana Islam bukan sekedar agama yang mengatur aspek ibadah kepada Sang Pencipta, namun juga mengatur berbagai permasalahan antara dirinya sendiri dan sesama manusia.

Kondisi ini akan jauh berbeda tatkala Sistem Islam yang diterapkan. Dalam Islam, pernikahan bukan hanya berkaitan dengan dua orang yang menikah, melainkan terkait kualitas generasi mendatang. Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dari pelaksana syariat Islam. Dari keluargalah akan lahir generasi yang kuat akidah dan akhlaknya untuk mewujudkan kembali Islam sebagai sebuah negara, yang mampu mencetak keluarga - keluarga tangguh dan generasi kuat.

Khilafah berkewajiban memastikan setiap individu, keluarga, dan masyarakat bisa memenuhi tanggung jawabnya memenuhi kesejahteraan. Negara memastikan setiap anggota keluarga mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

Islam mewajibkan suami atau para wali untuk mencari nafkah (lihat QS Al-Baqarah ayat 233, QS An-Nisa ayat 34). Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memenuhi nafkah pada keluarga, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal usaha. Melalui khalifah, Islam akan menindak suami yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik.

Islam menetapkan bahwa pergaulan suami istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketenteraman dan ketenangan. Di pihak lain, anak-anak pun bisa menikmati tumbuh kembang yang sempurna dalam binaan penuh sang ibu yang cerdas dan terdidik dengan Islam. Keberlangsungan pemenuhan hak-hak mendasarnya dijamin oleh sistem, baik kebutuhan ekonominya, pendidikan, kesehatan maupun keselamatan diri dan jiwanya. Jaminan ini terus berlangsung hingga anak tumbuh dewasa.

Para ibu bisa menikmati karunia Allah berupa kemuliaan menjadi ibu tanpa harus dipusingkan dengan kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan, hingga pengaruh buruk lingkungan yang merusak keimanan dan akhlak diri dan anak-anaknya. Telah sangat jelas bahwa sakinah, kebahagiaan, dan kesejahteraan, hanya bisa diraih dalam keluarga yang menerapkan aturan Islam. Setiap suami istri harus berkomitmen melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Islam untuknya. Keluarga yang terikat syariat dalam menjalani biduk rumah tangganya akan menjadi keluarga muslim pembangun peradaban.

Saatnya kembali kepada aturan Allah, yakni hidup sejahtera dan tenang dalam naungan khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam bishhowab..

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak