Bunuh Diri Anak Makin Meingkat, Ada Apa ini?

Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)



Pada Oktober 2025, terdapat tiga kasus bunuh diri yang dilakukan remaja belasan tahun. Di Sukabumi, Jawa Barat, seorang remaja perempuan berusia 14 tahun mengakhiri hidupnya diduga gara-gara mendapat kekerasan verbal dari teman-temannya. Dua kasus bunuh diri lainnya terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat.

Pemerhati anak menyebut kasus bunuh diri pada remaja di Indonesia sudah mengkhawatirkan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 25 anak di Indonesia bunuh diri sepanjang tahun 2025.

Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyebut sebagian besar kasus bunuh diri itu dilatari oleh bullying atau perundungan, termasuk yang terjadi di lingkungan sekolah.

Jumlah itu memang turun dibandingkan tahun 2023 yakni 46 kasus, dan pada 2024 sebanyak 43 kasus(BBC.News,3/11/25).

Kasus bunuh diri pada anak tidak bisa dianggap remeh. Setiap elemen perlu memberikan perhatian khusus pada masalah ini. Pasalnya, mereka—yang dianggap masih kecil—adalah calon pemimpin bangsa. Kalau fenomena seperti ini menggejala, apa yang dapat diharapkan?

Anak-anak merupakan fase penting dalam pertumbuhan. Hal-hal yang ia konsumsi selama fase ini akan memengaruhi segala keputusannya. Oleh karenanya, peristiwa memilukan ini harusnya menjadi tamparan keras bagi semua pihak.

Di rumah, , orang tua perlu menyadari bahayanya membiarkan anak kecanduan gawai. Ketika penggunaannya tidak terkontrol, anak tentu akan bebas menjelajahi segala informasi, apalagi saat ini banyak sekali gim tidak mendidik yang dapat memengaruhi pola pikir anak.

Selain gawai, lingkungan juga memiliki pengaruh besar. Semua pihak perlu mengetahui kondisi anak ketika bergaul di sekolah atau luar sekolah, siapa saja temannya, apa saja circle-nya, dan sebagainya. Sedangkan negara, seyogianya wajib mengusut detail penyebab maraknya bunuh diri pada anak. Semua ini dilakukan agar ada solusi tepat dan kejadian serupa tidak terulang.

Hal ini tentu menunjukkan ada sesuatu yang salah, bisa pada lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan negara.

Apabila kita mau merenung lebih dalam, semua ini akibat pola pikir dan hidup yang mengikuti Barat. Fungsi negara yang semestinya berperan sebagai tameng pertama pemikiran dan budaya Barat agar tidak masuk, ternyata tidak berjalan. Parahnya, negara malah menjadi pionir dalam menerapkan sistem kehidupan Barat (kapitalisme). 

Negara juga menerapkan sistem demokrasi liberalisme yang mengafirmasi segala kebebasan, mulai dari kepemilikan, beragama, berpendapat, hingga bertingkah laku. Kebebasan inilah yang memengaruhi pola pikir dan sikap generasi saat ini.

Tidak sampai di situ, sistem pendidikan yang berlandaskan sekularisme juga ikut mewarnai pembentukan kepribadian generasi. Mereka menjadi generasi yang jauh dari agama. Akibatnya, mereka menilai bahwa kebahagiaan itu hanya bicara masalah kesenangan dunia, seperti gawai, uang, makan-makan, musik, percintaan, ingin serba instan, dan lain-lain.

Semua itu membuat mereka manja, terlena, menjadi generasi stroberi yang bagus di luar, tetapi lembek di dalam. Apabila keinginannya tidak terpenuhi, dunia sudah terasa runtuh. Pemikiran yang pendek inilah yang membuat mereka mencari jalan keluar yang salah, ujung-ujungnya memutuskan untuk bunuh diri.

Sedangkan keluarga sendiri kehilangan fungsinya. Ayah dan ibu tidak mampu memberikan pemahaman yang benar kepada anaknya karena mereka sendiri juga sibuk bekerja. Masyarakat dengan berbagai masalahnya juga tidak menjalankan peran menjaga generasi, yakni dengan membiarkan kemaksiatan di sekelilingnya. Hasilnya, generasi terdidik dengan kondisi salah dan berakhir pada penyelesaian yang salah pula.

Islam sejatinya memberi perhatian besar pada generasi. Negara yang mengambil Islam sebagai landasan akan mengutamakan pembentukan generasi yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Dengan begitu mereka akan menjadi pribadi yang kuat dan tidak gampang depresi.

Sistem pendidikan Islam diterapkan mulai dari tingkat dasar hingga tinggi. Sekolah dasar akan menanamkan akidah Islam dan segala pemahaman Islam lainnya yang dapat menjadikan mereka punya pola pikir dan pola sikap islami. Saat pendidikan tinggi, mereka baru bisa diajarkan tsaqafah asing agar tahu mana yang benar dan salah.

Akidah Islam inilah yang akan menjaga kewarasan mental generasi. Mereka akan lebih berpikir realistis, dapat menempatkan mana yang berada di wilayah yang dikuasai manusia dan mana yang tidak. Mereka juga akan paham bahwa kebahagiaan tertinggi adalah meraih rida Allah, bukan sebatas kesenangan dunia. Jika Islam dapat diterapkan secara sempurna, tidak akan ada lagi generasi lembek bermental stroberi, apalagi mudah merasa depresi(Muslimahnews,30/11/23).
Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak