Bencana Kembali Melanda, Butuh Penanganan Segera!




Fathimah
 (Aktivis Dakwah Kampus)


 
Lima wilayah Rukun Tetangga (RT) di Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, terendam banjir rob hingga Ahad siang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mengerahkan personel untuk memonitor kondisi genangan di setiap wilayah. Menurut BMKG, kondisi ini terjadi karena adanya fenomena pasang maksimum air laut bersamaan dengan fenomena fase bulan baru yang berpotensi meningkatkan ketinggian pasang air laut maksimum berupa banjir pesisir atau rob di wilayah pesisir utara Jakarta (antaranews.com, 23/11/2025).

Selain Jakarta, tiga daerah di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) juga dikepung banjir hingga angin puting beliung selama dua hari terakhir akibat cuaca ekstrem. Angin puting beliung, banjir, dan abrasi pantai dilaporkan terjadi di Kabupaten Tolitoli, Morowali Utara, dan Buol. Menurut Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Sulawesi Tengah, seluruh laporan dari Tolitoli, Morowali Utara, dan Buol sedang proses ditangani (cnnindonesia.com, 23/11/2025)

Mitigasi Bencana: Perkara Penting! 

Banjir merupakan bencana yang kompleks. Penyebabnya merupakan akumulasi dari berbagai hal. Ada faktor alam, ada juga faktor manusia. Bila dilihat dari segi faktor alam, banjir kerap kali disebabkan curah hujan yang tinggi. Akan tetapi, tentu kita tidak dapat serta-merta menyalahkan alam saja, bukan? Faktanya, memang ada faktor manusia disana. Mulai dari tingginya deforestasi, alih fungsi lahan tak terkendali, daerah resapan air tertutup bangunan tinggi, hingga sungai yang tak dapat membendung lagi. 

Maka, alih-alih menyalahkan alam, sudah saatnya negeri ini berbenah dan mulai menata mitigasi bencana, baik berupa kebijakan preventif maupun kuratif. Ketika mitigasi bencana baik, maka pasti dampaknya bisa diminimalisir. Dengan begitu, harta, jiwa, maupun infrastruktur dapat selamat. 

Mitigasi bencana tidak dimulai ketika terjadi bencana, melainkan dimulai dari jauh-jauh hari sebelum bencana terjadi. Maka, mitigasi bencana memerlukan perencanaan yang matang. Mulai pra-bencana (preventif), seperti dari pembangunan tata kota yang berwawasan lingkungan, pengelolaan sistem drainase dan pengerukan sedimentasi sungai, pembuatan jalur evakuasi bencana, sistem prediksi dan deteksi bencana, serta simulasi bencana. 

Mitigasi juga dilakukan saat terjadi bencana, seperti lokasi pengungsian yang dapat dijangkau masyarakat, komunikasi yang mumpuni, bantuan makanan serta obat-obatan yang mencukupi, serta teknologi untuk mengalihkan material bencana. Mitigasi pasca bencana (kuratif), seperti penguatan ruhiyah dan mental bagi korban bencana, perbaikan rumah dan infrastruktur, serta revitalisasi dampak bencana. 

Buruknya Mitigasi 

Namun sayang, negeri ini belum menerapkan mitigasi bencana yang baik. Sering kali, selalu gagap ketika terjadi bencana. Padahal, bencana banjir merupakan perkara yang terus berulang, akan tetapi penanganannya belum maksimal. Keterbatasan dana selalu menjadi alasannya. Entah memang seperti itu, atau memang kesadaran akan mitigasi bencana masih minim sehingga pengalokasiannya tidak begitu besar. 

Alhasil, korban terdampak bencana hanya dapat merasakan penderitaan. Mereka harus kehilangan harta benda, rumah, bahkan nyawa. Pasca bencana mereka juga harus mengeluarkan dana cukup besar agar dapat memperbaiki kondisinya seperti sedia kala. Sering kali, mereka harus tinggal lama di pengungsian, dengan makanan, pakaian, tempat tinggal yang seadanya. Mereka tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah. Bahkan tidak sedikit yang terkena diare dan sakit kulit akibat minimnya ketersediaan air bersih.

Dalam kondisi seperti ini, pihak yang banyak membantu justru para sukarelawan bencana dan swadaya masyarakat sendiri. Sementara, pemerintah justru tidak menjamin kebutuhan para pengungsi. Sungguh, inilah yang terjadi dalam sekulerisme kapitalisme. Di hari ini, peran sebagai penguasa, yaitu ri’ayah su’unil ummah (pengurus urusan umat) minim dijalankan.

Islam Memperhatikan Mitigasi Bencana 

Tentu berbeda jauh dengan Islam. Sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, Islam telah mengatur bahwa peran negara adalah sebagai ri’ayah su’unil ummah (pengurus urusan umat). Negara wajib menjalankan perannya sebagai pelaksana syariat dan mencukupi kebutuhan rakyat. Maka, negara yang menerapkan islam akan bersungguh-sungguh melakukan mitigasi bencana, mulai dari pra-bencana, saat terjadi bencana, hingga pasca-bencana. Meski membutuhkan biaya yang besar, pembangunan dan teknologi mutakhir yang diperlukan untuk meminimalisir risiko bencana akan dikembangkan. 

Islam memiliki 2 dimensi dalam pegurusan terkait bencana, yaitu dimensi ruhiyah dan siyasiyah. Pada dimensi ruhiyah, Islam mengajarkan bahwa pemaknaan bencana sebagai tanda kekuasaan Allah. Bencana merupakan qadla (ketetapan) Allah. Sementara pada dimensi siyasiyah, Islam mengatur pentingnya kebijakan tata kelola ruang dan mitigasi bencana.

Edukasi ruhiyah dilakukan dengan memahamkan ayat-ayat dan hadits terkait bencana. Bisa jadi bencana terjadi akibat ulah manusia yang merusak alam. Perbuatan tersebut merupakan dosa dan membahayakan kehidupan. 

Negara dalam Islam akan melakukan mitigasi bencana secara serius dan komprehensif dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak, pendampingan, hingga para penyitas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana.

Ini semua dapat dilakukan karena peradaban islam memiliki sumber dana yang stabil dan beragam. Hal ini dapat diketahui dari pengaturan Islam terkait Baitul Mal (pendanaan negara). Terdapat pos pendanaan yang bersumber dari fai’ dan kharaj serta harta kepemilikan umum. Didalamnya, pengalokasian untuk kondisi darurat seperti bencana selalu ada. Kemudian, apabila tidak mencukupi, maka kaum muslim dapat membantu secara sukarela. Sungguh, demikianlah keunggulan Islam dalam mengatasi bencana. Wallahu A’lam bi Shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak