Oleh : Isna
Dugaan bahan bakar minyak BBM Oplosan atau tercampur air yang menyebabkan motor mogok massal di 13 kabupaten atau kota di Jawa Timur, termasuk Bojonegoro, Lamongan dan Sidoarjo, pada akhir Oktober 2025 adalah fakta yang tidak terbantahkan mengenai krisis mutu layanan publik. (iNews.ID 14/11/2025)
Total 162 laporan kendaraan yang terdampak didominasi sepeda motor menandakan bahwa masalah ini bukan insiden lokal, melainkan persoalan sistemik yang meluas. kejadian ini kian memperburuk citra dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Pertamina sebuah BUMN yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan energi negara. Kepercayaan ini telah terkikis sejak terungkapnya kasus Mega korupsi BBM oplosan sebelumnya, yang kerugiannya bagi negara diperkirakan mencapai angka fantastis, mendekati 1 kuadriliun. (Tempo.co 14/11/2025)
Krisis BBM oplosan dan kasus korupsi yang melilit Pertamina berakar pada tata kelola yang salah di bawah paradigma ekonomi kapitalistik. Sedangkan, dalam pandangan Islam BBM tergolong sebagai Milkiyah Ammah (milik umum) karena jumlahnya melimpah dan sangat dibutuhkan masyarakat. Sehingga pengelolaannya seharusnya mutlak di bawah kendali negara untuk kepentingan rakyat, bukan swasta.
Namun, sistem kapitalisme mengubah peran negara dari pengelola langsung menjadi regulator yang memprioritaskan keuntungan profit oriented. Akibatnya, terjadi liberalisasi pada sektor hulu migas sementara di sektor hilir, meski Pertamina masih mendominasi, sistem pengawasan menjadi lemah. Kelemahan ini membuka peluang masif bagi praktik kecurangan, seperti pengoplosan BBM, yang semata-mata bertujuan meraup keuntungan pribadi. Rakyat kecil dipaksa menggunakan BBM bersubsidi dengan kualitas lebih rendah, sementara BBM berkualitas tinggi menjadi barang mahal yang hanya dinikmati kelompok mampu.
Krisis ini menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi perilaku individu, melaikan tanda kemerosotan moral dan lemahnya fungsi pengawasan dalam lembaga negara. Negara terbukti gagal menjalankan fungsi Ra'in, di mana kepentingan rakyat justru dikorbankan demi mekanisme pasar dan celah-celah kecurangan. Adanya Initial public offering (IPO) pada anak perusahaan Pertamina seperti PT Pertamina Geothermal Energi Tbk, menjadi indikasi bahwa sumber daya alam telah mengalami liberalisasi, membuat rakyat sebagai pemilik sahnya kehilangan penguasaan.
Untuk mengakhiri krisis mutu kecurangan dan korupsi energi secara fundamental diperlukan perubahan total pada tata kelola energi sesuai dengan syariat Islam, pengelolaan BBM dalam Islam didasarkan pada tiga pilar utama.
Negara sebagai pengelola mutlak di wajib mengambil alih pengelolaan seluruh tambang, termasuk minyak bumi dan gas. Sumber daya ini tidak boleh diserahkan kepada swasta korporasi atau asing.
Negara Khilafah melalui Baitul Mal akan mengelola dan mendistribusikan hasil BBM secara adil dan merata kepada seluruh rakyat, menjamin tidak ada lagi mekanisme harga yang mendiskriminasi rakyat miskin.
Penegakan hukum tegas dan sanksi takzir. Negara wajib menjamin tidak terjadi kecurangan. Jika ada praktik tidak jujur seperti pengoplosan BBM, negara akan mengusut tuntas dan memberi sanksi yang tegas dan berefek jera terhadap pelakunya karena tindakan tersebut merupakan kerusakan terhadap harta milik umum.
Kontrol sosial dan ketakwaan individu sistem Islam menekankan pentingnya ketakwaan individu agar setiap orang memiliki kesadaran moral untuk tidak berbuat curang, serta peran aktif masyarakat melalui kontrol sosial dakwah (Amar ma'ruf nahi munkar) masyarakat harus berpartisipasi aktif mengawasi dan menasehati untuk mencegah penyimpangan.
Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, kepentingan publik akan terjamin, pengelolaan BBM tidak akan dikendalikan oleh mekanisme kapitalisme yang berorientasi laba, melainkan oleh syariat Islam yang mengutamakan kemaslahatan dan keadilan distributif bagi seluruh umat.
