Oleh Butsainah, S.Pd.
(Guru dan Aktivis Dakwah)
Polemik tentang perusahaan besar yang menguasai sumber air kembali menjadi perbincangan. Perusahaan air minum kemasan ternama ini menimbulkan debat di masyarakat tentang siapa sebenarnya yang benar-benar memiliki hak atas air — rakyat atau koporasi. Beberapa laporan investigatif, seperti dari Tempo.co (24 Oktober 2025) dan Media Indonesia (26 Oktober 2025), menjelaskan bagaimana perusahaan ini mengebor sumur dalam di berbagai wilayah dan mengambil air tanah dalam volume yang besar untuk dijual kembali dalam bentuk air kemasan. Di balik tampilan bisnis yang terlihat “segar” dan “alamiah”, terdapat ironi besar: air yang seharusnya menjadi milik bersama justru dijual kembali demi keuntungan sekelompok pemilik modal.
Di berbagai daerah, sumber air alami mulai kering. Penduduk di sekitar pabrik mengeluh karena sumur mereka semakin dangkal, bahkan ada yang sudah habis. Lahan pertanian kehilangan sumber irigasi, sementara perusahaan terus mengambil air tanpa henti. Dampaknya terasa jelas — permukaan air tanah turun, mata air menghilang, bahkan ada risiko tanah menggembung. Namun yang lebih menyedihkan adalah adanya ketimpangan dalam akses air. Di wilayah yang sama, orang miskin harus membeli air galon untuk minum, sementara pabrik besar menjual air bersih dalam botol dengan harga jauh lebih mahal. Kapitalisme benar-benar menampakkan sisi terburuknya.
Sistem kapitalis menjadikan air — sesuatu yang secara alami diberikan oleh Allah secara gratis — sebagai barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Dalam sistem pasar bebas, segala sesuatu yang bisa menghasilkan keuntungan harus dimiliki, dikendalikan, dan dijual. Tidak peduli apakah sumber daya itu penting bagi kehidupan manusia atau tidak. Kapitalisme tidak mengenal istilah "milik bersama"; yang ada hanyalah hak individu dan perusahaan untuk menguasai sumber daya sebanyak mungkin. Inilah yang disebut Adam Smith sebagai "invisible hand" pasar — tangan yang seharusnya bisa menyeimbangkan segala hal. Namun kenyataannya, tangan itu tidak pernah benar-benar menyeimbangkan, justru melukai masyarakat dan merusak lingkungan.
Ironisnya, negara yang seharusnya melindungi rakyat justru terlihat lemah, bahkan tunduk pada kepentingan korporasi. Regulasi pengelolaan air di Indonesia terlalu longgar dan mudah diganggu. Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah Kementerian PUPR masih belum bisa memastikan aturan yang membatasi penggunaan air secara berlebihan. Sebaliknya, aturan ini justru memberi ruang bagi perusahaan untuk memperluas pengelolaan sumber daya air. Ini adalah hasil dari sistem politik yang berorientasi pada kepentingan kapital — negara berperan sebagai pengatur demi keuntungan investor, bukan sebagai pengelola demi kesejahteraan rakyat.
Kelemahan dalam regulasi ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil alami dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan negara. Dalam sistem ini, kekuasaan politik dan ekonomi saling mendukung secara pragmatis: penguasa membutuhkan investasi untuk menggerakkan ekonomi, sedangkan pengusaha membutuhkan kekuasaan agar bisa mempertahankan izin dan monopoli mereka. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan perusahaan, mulai dari proses perizinan yang mudah, pengurangan pajak, hingga pembuatan izin untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Segala tindakan ini dilakukan dengan alasan "pembangunan" dan "pertumbuhan ekonomi", padahal yang sebenarnya tumbuh hanyalah keuntungan perusahaan dan kantong para oligarki.
Padahal, air bukanlah komoditas biasa. Dalam pandangan Islam, air termasuk dalam kategori milkiyyah ‘ammah — kepemilikan umum. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Hadis ini secara tegas melarang kepemilikan pribadi terhadap sumber daya vital yang menjadi kebutuhan bersama. Artinya, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan air kepada individu, apalagi korporasi asing atau swasta. Negara wajib mengelolanya langsung dan memastikan distribusinya adil bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi.
Dalam sistem Islam, pengelolaan sumber daya alam bukan hanya urusan administrasi atau izin, tapi sebuah amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pemimpin atau khalifah bertanggung jawab penuh untuk menjaga sumber daya alam yang merupakan hak rakyat. Hasil dari pengelolaan air, tambang, hutan, dan sumber daya alam lainnya digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, seperti membangun infrastruktur, memajukan pendidikan, dan menyediakan layanan sosial, bukan untuk menguntungkan segelintir orang saja. Ini adalah perbedaan utama antara sistem Islam dengan sistem kapitalis. Dalam Islam, air dianggap sebagai hak hidup rakyat, sedangkan dalam kapitalisme, air dianggap sebagai alat untuk menumpuk kekayaan.
Ketika sebuah negara dijalankan dengan sistem kapitalis, setiap aturan atau kebijakan yang dibuat pasti akan mempertimbangkan kepentingan perusahaan besar. Itulah sebabnya setiap kali ada keluhan dari masyarakat tentang penggunaan sumber daya air yang berlebihan, pemerintah selalu menjawab dengan membela “kesetabilan investasi” dan “manfaat ekonomi”. Narasi ini mempermainkan fakta bahwa penggunaan air secara berlebihan telah menyebabkan ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Seperti yang disampaikan oleh seorang ahli hidrogeologi dalam Media Indonesia (27 Oktober 2025), penggalian air tanah secara tak terukur akan menyebabkan kerusakan pada lapisan air tanah secara permanen. Namun dalam logika kapitalisme, kerusakan alam dianggap sebagai “biaya eksternalitas” yang bisa dibiarkan selama keuntungan tetap terus mengalir.
Oleh karena itu, masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara parsial, seperti merubah undang-undang, membatasi izin, atau program CSR. Selama sistem kapitalistik masih menjadi dasar pengelolaan sumber daya, eksploitasi akan terus terjadi. Diperlukan perubahan total dalam pola pikir, dari sistem yang mengagungkan pasar ke sistem yang menerapkan kekuasaan rakyat berdasarkan hukum Allah. Islam memberikan sistem ekonomi yang menjamin pembagian kekayaan secara adil, di mana sumber daya milik umum diurus oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat.
Firman Allah SWT menegaskan, “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya: 30). Ayat ini bukan sekadar pernyataan biologis, tetapi juga penegasan spiritual: air adalah sumber kehidupan yang tidak boleh diperjualbelikan. Ketika air dikomersialisasi, maka kehidupan itu sendiri tengah diperdagangkan. Saat kapitalisme menjadikan sumber kehidupan sebagai ladang laba, maka manusia kehilangan kemanusiaannya.
Sudah waktunya kita menolak penggunaan air sebagai alat kapitalis dan kembali membangun sistem Islam sebagai solusi yang benar. Hanya dalam sistem Islam yang lengkap, air akan kembali menjadi milik rakyat, lingkungan tetap terjaga, dan keseimbangan alam tetap terjaga. Tanpa itu, bangsa ini akan terus merasa haus — bukan karena air tidak cukup, tetapi karena keadilan sudah diambil oleh sistem yang salah.
Wallahu’alam biish shawab.
Tags
opini
