Hari Sumpah Pemuda, Jangan Hanya Seremonial (Lagi)

 


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Hari ini, 28 Oktober 2025, akan digelar Puncak Peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) Ke-97 Tahun 2025 di Hall Basket, Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Peringatan tahun ini mengangkat tema “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu”, acara ini akan dimeriahkan penampilan musisi kenamaan nasional Vierratale dan Idgitaf (kemenpora.go.id, 27-10-2025). 


Menpora RI Erick Thohir menjelaskan tema peringatan mengandung pesan bahwa kejayaan Indonesia di masa depan harus diwujudkan melalui kolaborasi lintas elemen bangsa. Diharapkan pula, melalui peringatan ini muncul para pemuda-pemudi Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai patriotik, gigih, serta penuh empati.


Kita berharap, peringatan tahun ini segera diikuti oleh perubahan pasti agar tidak lagi-lagi berlalu sebatas seremonial peringatan saja. Terlebih melihat fakta anak muda hari ini yang semakin berat menanggung beban. Diimpit dengan tuntutan berjaya, mandiri namun di sisi lain, tak mendapatkan akses yang adil dan merata terhadap berbagai kebutuhan pokok dan sekunder.


Terlebih jika mengingat pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan Visi Indonesia Maju 2045, tepatnya saat peringatan HUT Indonesia ke-100 nanti, Indonesia sudah menjadi bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur. Bahkan Presiden Jokowi menargetkan Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat atau kelima di dunia pada 2045. Sungguh target yang luar biasa!


Staf Khusus Menpora Bidang Komunikasi dan Hubungan Internasional Alia Noorayu Laksono menambahkan, “Sebagai pemimpin masa depan, pemuda adalah kekuatan yang tak tergantikan dalam mewujudkan visi besar ini. Indonesia Maju 2045 adalah visi kita bersama untuk menciptakan negara yang lebih maju, sejahtera, dan berdaya saing di tingkat global.” (Kemenpora.go.id, 4-19-2023).


Mungkinkah Target Terpenuhi dengan Sistem Kapitalisme di Tangan?


Menjadi pertanyaan besar, mungkinkah target sebesar itu terpenuhi sedangkan di saat yang sama pemerintah kita menerapkan Sistem Kapitalisme di semua aspek kehidupan? Sistem Kapitalisme memang secara istilah mengarah pada kekuasaan modal, dimana siapa yang memiliki modal maka ia yang punya kuasa. Dalam tataran negara, maka akan fokus pada peningkatan PDB (Produk Domestik Bruto). PDB adalah ukuran utama aktivitas ekonomi suatu negara dan tidak mempertimbangkan kewarganegaraan produsen, selama produksi dilakukan di dalam negeri. 


Di sinilah letak krusialnya, dengan fokus itu otomatis pemerintah akan menjalankan prinsip-prinsip ekonomi kapitalis, yaitu memperbanyak produksi dan bukan meratakan distribusi. Salah satunya dengan membuka keran investasi selebar-lebarnya, jika perlu dengan memangkas berbagai regulasi. Hal ini sekaligus ssbagai konsekwensi kepesertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama bilateral maupun multilateral yang memang tujuannya membentuk pasar bebas sekaligus jaminan barang dan jasa hasil produksi masing-masing anggota agar terus laku. 


Dampaknya, kemakmuran hanya dirasakan oleh segelintir pihak yang bermodal besar saja, apalagi Indonesia sejatinya lemah di sisi industrialisasi pendukung ketahanan pangan nasional. Demikian juga telah kehilangan kedaulatan atas sumber daya alam yang berlimpah. Dengan sadar, melakui berbagai UU, MOu, dan berbagai kerjasama lainnya, penguasaan terhadap kekayaan alam diserahkan kepada swasta sehingga mereka leluasa melarikan SDA keluar negara, sedangkan Indonesia hanya mendapatkan pajak yang tidak seberapa. Upaya hilirisasi yang katanya menjadi kunci kemajuan juga malah senjata makan tuan. 


Rakyatlah yang makin merasakan kerusakan alam akibat eksploitasi alam secara serampangan. Ketimpangan ekonomi pun makin parah, kemakmuran rakyat tidak terwujud. Janji pembukaan lapangan pekerjaan sebagai ikutan investasi zonk, pemerintah tak berdaya membatasi para investor yang datang bukan hanya dengan modal dan teknologi, tapi juga tenaga kerjanya. 


Demikian juga janji penguatan ekspor, nyatanya hahya retorika belaka, faktanya pemerintah justru melakukan impor besar-besaran pada banyak komoditas strategis, termasuk pangan (beras, gula, daging, bawang putih dan lainnya). Beras menumpuk berjamur dan berkutu di BULOG menjadi saksi, betapa pemerintah kita lemah di hadapan para investor. Dan mirisnya, para pejabat negeri ini juga tak sedikit yang menjadi pelaku impor. 


Dari sisi pendidikan lebih miris, pemerintah malah membuka sekolah rakyat dan sekolah unggulan, padahal pendidikan sedang carut marut. Mengapa bukan memperbaiki sekolah yang ada, menguatkan SDM pendidikan dan membangun sarana prasarana yang berkaitan dengan pendidikan jika sama-sama dananya berasal dari APBN? 


Ya, karena pendidikan adalah komoditas, kita bisa lihat dari Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) yang pada praktiknya mengerdilkan para lulusan kampus, semestinya menjadi SDM berkualitas tinggi kini sekadar pengisi dunia kerja. Biaya pendidikan makin mahal karena sekolah maupun universitas dibiarkan mengadakan pembiayaan mandiri. Meski banyak program beasiswa baik dari pemerintah maupun swasta, tetap tak bisa menutup banyaknya kebutuhan masyarakat akan pemerrataan pendidikan. 


Dampak lain dari derasnya barang impor masuk ke Indonesia juga yaitu memunculkan perilaku konsumtif pada generasi, mengejar FOMO, YOLO dan FOPO sehingga berapa pun uang yang mereka miliki tidak akan cukup untuk membiayai gaya hidupnya. Akhiranya terjerat pinjol atau paylater. Lebih sadis ada yang memilih prostitusi baik online maupun offline. Mereka tampak seolah baik meskipun apa yang mereka lakukan terlarang, memunculkan sikap insecure, depresi, selfharm hingga bunuh diri menghadapi kesenjangan sosiap ekonomi menganga. 


Islam Bentuk Kepribadian Pemuda Tangguh


Jelas yang nampak adalah kegagalan negara meriayah (mengurusi) rakyat, terutama pemuda. Proyeksi untuk mereka sebatas misi dunia, sebatas menitikberatkan makna bahagia hanya pada banyaknya materi. Ini yang harus disadari para pemuda, sebab Allah telah menyediakan surga seluas langit dan bumi bagi siapa saja yang berlomba-lomba dalam kebaikan, dalam memaksimalkan potensi terbaiknya, sebagaimana firman Allah swt. yang artinya, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (TQS Ali Imran:133). 


Sejarah pun mencatat bagaimana Islam datang dan kemudian, saat para sahabat memahami betapa Makkah sebenarnya rudak karena sistem jahiliah sebagai bentuk kekuasaan Kaum Quraisy yang kafir. Para sahabat banyak yang berusia muda, sebut saja Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan Abdullah bin Mas'ud, Mush'ab bin Umair dan Zaid bin Tsabit. 


Mereka menjadi mutiara umat, berjuang dan berdakwah di garis terdepan hanya untuk meninggikan kalimat Allah dan Islam. Kesadaran yang demikian bukan muncul begitu saja, melainkan dari hasil pembinaan Rasulullah. Dalam diri mereka ditanamkan akidah yang kuat menghujam dalam hati. Sehingga mereka tumbuh menjadi insan yang cerdas, bertakwa dan penjaga Islam. 


Itulah kebangkitan pemuda yang hakiki, pemuda yang paham ke arah mana memegang estafet pembangunan. Bukan sekadar itungan angka pertumbuhan ekonomi yang menciptakan penjajahan baru. Namun seharusnya menuju pada pembangunan peradaban mulia dan cemerlang. Dan itu hanya bisa ditempuh dengan jalan Islam, bukan yang lain.  


Kebangkitan, dalam arti yang sahih hanya akan terwujud melalui dakwah sebagaimana yang Rasulullah saw. contohkan. Allah swt. pun telah mensifati bahwa umat Islam adalah umat terbaik, " Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (TQS Ali Imran: 110). Wallahualam bissawab.

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak